Profile

Baru 32 Tahun Jadi Bos Universitas Terkemuka, Ini Rahasia Irene Umar

Baru 32 Tahun Jadi Bos Universitas Terkemuka, Ini Rahasia Irene Umar

Jika melihat jejak kariernya, Irene Umar nampak berada di jalur cepat. Betapa tidak. Dalam usia yang masih cukup muda saat ini, perempuan kelahiran 1984 ini telah menduduki kursi direktur di President University. Selain itu, dirinya juga tengah merintis bisnis sendiri di bidang tisu. Irene pulang ke Indonesia setelah kurang-lebih lima tahun berkarier di luar negeri dengan jabatan terakhir sebagai wakil direktur di Standard Chartered Bank Singapura.

Irene Umar, Direktur President University

Irene Umar, Direktur President University

Lulusan Perbankan dan Keuangan President University ini sudah bekerja ketika masih di bangku kuliah. Ia menjajal profesi sebagai penyiar radio di Kiss FM, hingga kemudian juga dikenal sebagai pembawa acara (master of ceremony/MC) di berbagai acara off air. Kuliah di President University, Irene mendapat beasiswa penuh.

Wanita yang menghabiskan masa SMP dan SMA-nya di Malaysia ini sangat aktif kala masih jadi mahasiswa. “Masa muda saya sangat puas, tetapi tetap menjaga GPA di atas 3,5 agar tetap terus mendapat beasiswa penuh,” katanya mengenang. Saking aktifnya kala kuliah, Irene dikenal baik oleh pemilik President University, yang juga pemilik Jababeka, Darmono. “Saya pernah jadi MC di acara Woman International Club di Jakarta dan acaranya Jababeka,” ujarnya. Kemampuan bahasa Inggris Irene yang mumpuni membuat karier MC-nya, terutama di acara internasional, melejit.

Sebagai penyiar Kiss FM, Irene dikenal dengan nama udara Irene Xavier. Ia selama dua tahun membawakan lagu-lagu Love is In The Air (Jumat malam) dan Club Eighties (saban Sabtu). “Berkat jadi penyiar radio, saya bisa menjadi MC di acara besar internasional. yaitu UNFCC (United Nations for Climate Change), bukan saja MC, saya juga jadi moderator,” ujarnya. Menjadi penyiar sebenarnya ada alasannya. Selain ingin tambahan uang jajan, ia juga ingin mendobrak sifatnya yang sebelumnya sangat pemalu. Ia merasa, kalau tetap pemalu, tidak akan berkembang kelak.

Irene melihat sepanjang kariernya ia dipenuhi keberuntungan. Dan, kunci utama kariernya adalah pantang menyerah dan mau belajar hal-hal baru. “Apa pun kondisi buruk yang kita hadapi, ambil positifnya,” ujarnya tegas. Waktu acara UNFCC ia hanya didaulat sebagai MC. Namun karena moderator yang dipilih saat itu tiba-tiba tidak bisa datang, Irene juga diminta menjadi moderator diskusi soal lingkungan hidup. “Saya tidak mau dong terlihat bodoh, belajarlah dadakan dari pukul 1 dinihari sampai pukul 5 pagi,” katanya. Ternyata, peserta diskusi heran, ia yang moderator memiliki pengetahuan sangat mumpuni soal perubahan iklim dan isu lingkungan hidup lainnya. Acara itu dibawakan dalam bahasa Inggris tentunya. Beruntung, Irene bertemu orang-orang yang mau mengajarkannya tentang hal itu sebelum naik panggung.

Irene merasa hal-hal yang dipelajari sejak dulu sangat membantu kariernya. “Maka, setiap bertemu kondisi sulit, saya selalu berpikir, ini mungkin diatur Tuhan untuk jadi bekal saya kemudian hari,” katanya.

Irene Umar, Direktur President University

Irene Umar, Direktur President University

Irene juga merasa kariernya bagus karena ia beruntung bertemu dengan orang-orang yang bagus. Contohnya, ketika memulai karier serius, juga ketika masih kuliah akhir, ia masuk menjadi head-hunter di JAC, perusahaan head-hunting yang didirikan oleh Mariko Asmara. Ia pun bekerja sebagai head-hunter. Saat itu Mariko juga sebagai pembimbingnya di kuliah. Prinsip kerja kala itu di JAC, satu orang pemasar memegang banyak klien. “Saya sampaikan, bagaimana kalau saya ubah dikit, saya pegang beberapa yang gede saja, tetapi saya pegang beberapa yang JAC tidak bisa penetrasi ke perusahaan itu,” Irene mengusulkan ke Mariko. Ternyata, usulannya diterima dan Irene berhasil penetrasi ke Sigma Consultant IT. Bahkan, ia hingga kini berteman baik dengan mantan direktur Sigma itu, yang kini jadi direktur Vitraco. Waktu bertemu, temannya itu masih jadi Manajer Layanan Sigma.

“Sigma itu top client JAC, tetapi tidak bisa dimasuki. Saya penetrasi terus melalui teman saya itu, malah saya berhasil tembus ke owner Sigma, bahkan si owner buka HR mapping plan Sigma, beliau minta tolong dicarikan orang-orangnya,” katanya. Bahwa jalannya saat itu makin dilebarkan, Irene merasa itu soal keberuntungan saja. Kuncinya pada ketulusan dan fokus pada solusi yang mereka butuhkan.

Setelah di JAC selama beberapa bulan (tidak sampai 1 tahun), dan lulus dari President University, ia masuk ke Standard Chartered Bank. Dua tahun menjadi management trainee (MT) di Jakarta. Beberapa CEO Standard Chartered yang kebanyakan bule menurutnya tidak birokratis. Sebagai MT, ia mengikuti program International Graduate yang siap ditempatkan ke negara lain. “Saya pernah usul ke CEO meski masih MT, bahwa yang ambil CFA jangan hanya wholesale banking, tetapi juga yang commercial banking. Saya kebetulan di wholesale banking,” ujarnya. Menurut Irene, itu tidak adil, ia sudah mengupayakan ke HRD, tetapi tidak tembus. Lalu, ia mengambil langkah bicara langsung ke CEO, dengan terbuka diterima.

“Saya kemudian ditempatkan di Dubai, saya mendapat dukungan CEO saat itu, sempat di call ke orang di sana untuk menitipkan saya,” kata lajang yang hobi menyelam ini. Di Dubai pun, Irene terkenal sangat terbuka pada tantangan baru. Ia dimasukkan ke pekerjaan yang dinilai sulit. Di Dubai selama tiga tahun, ia diserahi klien shipping finance portofolio, yang menurutnya kliennya sulit. Orang yang sebelumnya menangani sudah keluar, jadi tidak ada senior yang membimbing dan mengajari. Saat itu yang dipegang pun banyak, satu orang (dia berdua, saat itu) memegang 15-18 account. Ada account yang ngadat. Di Dubai posisi pertama di sana sebagai analis banking. “Saya mau mengerjakan pekerjaan yang orang lain tidak mau kerjakan, malahan mencari,” katanya. Ia mengaku, karena itulah, kariernya melesat. Ia juga tidak merasa beda dengan ras lain. Menurutnya, orang hanya beda warna kulit. Selama mau belajar, pasti bisa diatasi.

“Kalau di luar negeri, saya frustasinya kalau lagi kangen keluarga, bukan karena pekerjaan. Malah bos saya bilang, saya orang yang sering cari ‘masalah’. Kalau pekerjaan sudah terkuasai, ia cari ‘pekerjaan sulit’ lainnya,” paparnya. Contohnya, saat menangani shipping finance itu, hanya dalam setahun, ia merasa sudah membosankan, sore kerjaannya sudah selesai. “Saya tanya ke bos, boleh tidak saya minta kerjaan yang lebih susah. Itu ada pekerjaan tim lain yang keteteran, saya tawarkan diri untuk membantu,” katanya. Beruntung bekerja di perusahaan asing tidak ada pikiran bahwa orang terlalu agresif dalam karier. Orang di luar negeri, katanya, lebih terus terang, ingin membantu dan maju. Jadi, sikap Irene itu dianggap sebagai uluran tangan untuk membantu.

Saat di Dubai itu Irene masih berusia 26 tahun (2010). Waktu dikirim ke India, jabatannya sudah dipromosi. Menurutnya, ia dikirim ke sana untuk membereskan beberapa account yang sangat besar. Disebutkan, sepertiga dari account klien corporate finance global Standard Chartered ada di Indonesia, nilainya US$ 5,8 miliar. Kebetulan, bos nomor dua yang mengurus itu cuti melahirkan setahun. “Tidak ada yang mau ke India saat itu juga,” ujarnya. Posisinya di Mumbai, India, saat itu associate director atau wakil direktur. Di sana Irene hanya setahun, lalu dipromosikan ke Singapura, posisinya juga sebagai wakil direktur. Selama di India, ia dipercaya menyelesaikan account di Rusia. Ini soal account yang diprotes NGO karena soal lingkungan. “Saya diver, saya paham serta mempelajari dan melihat langsung ke sana, tidak ada masalah itu,” katanya. Ini klien besar, dan Irene berhasil meyakinkan NGO dan menyelamatkan account itu.

Akhir 2015, Irene memutuskan kembali ke Indonesia, keluar dari Standard Chartered. “Saya ingin eksplor Indonesia,” ujarnya. Ia kembali bertemu dengan Direktur Vitraco yang ia kenal saat di JAC. Memiliki kesamaan pemikiran, keduanya mendirikan semacam hub yang menghubungkan NGO-NGO bagus dengan korporat. “Hub ini yang tujuannya memajukan Indonesia, namanya ONE, Our Nation Education,” ujarnya.

Kini Irene sedang menyiapkan platform TI yang membuat pelaporan pekerjaan NGO itu terbuka, sehingga korporat yang memercayakan dananya mengetahui secara jelas ke mana saja dananya itu. ONE dirintis sejak tahun lalu, sebelum ia kembali ke Indonesia. Diharapkan, tahun ini sudah selesai. Sebagai direktur dan pendiri ONE, Irene ingin semua data rapi dan jelas dulu.

Selain direktur di ONE, Irene juga Direktur Perencanaan Strategis President University. President University yang didirikan 14 tahun lalu adalah universitas pertama di Indonesia yang memakai bahasa Inggris secara penuh. Irene menerima tawaran Darmono, sebagai pendiri universitas ini dan Jababeka, karena ia merasa pendidikan jadi panggilannya saat ini. Ia ingin President University menjadi universitas yang benar-benar memahami kebutuhan industri. “Mata kuliah marketing di sini, kalau mau lulus, kita harus create product bagaimana pricing, promotion dan lainnya seperti kita pemilik usaha,” ujarnya. Teknik pun membuat produk yang aplikatif.

Selain direktur di ONE dan President University, ia juga pemilik dan direktur Raja Tissue. Ini perusahaan yang didirikan temannya beberapa tahun lalu yang kemudian diambil alih Irene tahun lalu. Raja Tissue bukan perusahaan penjual produk tisu semata. “Di luar negeri sudah biasa orang bagi-bagi tisu buat alat promosi. Jadi, Irene mendekati korporat untuk menggunakan ini,” katanya. Ia menyebut salah satu kliennya adalah Grab.

Menurut Irene, pihaknya secara eksklusif bekerja sama dengan perusahaan tisu besar, sehingga pasokan tisu untuk promo itu hanya untuk perusahaannya. “Kami bukan saja bikin kemasan promosi yang di dalamnya ada tisunya (jadi dompet tisu itu ditempeli nama perusahaan yang mau promosi, Red.), lalu dibagikan. Tetapi, kami juga buat aplikasi seberapa impact-nya promosi itu ke orang yang menerima. Saya tidak bisa detail kalau soal aplikasi ini,” ujarnya. Namun ia yakin akan besar, karena beberapa klien sudah dipegangnya.

Twitter @bungiskandar


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved