Profile Editor's Choice

Fazil Alfitri, Bangkitkan Medco Power sampai US$ 1 Miliar

Fazil Alfitri, Bangkitkan Medco Power sampai US$ 1 Miliar

Siapa di balik transformasi from zero to hero-nya Medco Power? Rupanya ada Fazil Erwin Alfitri, pria asli Rumbai, Pekanbaru yang pernah melejitkan karier sampai taraf General Manager GE Power Systems. Siapa sangka, ayah 4 anak ini punya nyali besar melepaskan top job-nya tahun 2003 silam kemudian membesut Medco Power, perusahaan dalam negeri yang belum teruji? Dibekali modal US$ 300.000 oleh Hilmi Panigoro, Fazil, demikian ia akrab disapa, terus meroketkan perusahaan pembangkit listrik ini sampai bernilai US$ 1 miliar dalam 3 tahun ke depan.

Meski sudah mengecap pendidikan luar negeri sampai S-2 Lehigh University, AS, jurusan Mechanical Engineering, kelahiran 12 Desember 1966 ini tak segan menerapkan metode perusahaan internasional agar perusahaan dalam negeri bisa sukses. Bagaimana gaya manajemen dan kepemimpinan Fazil? Simak diskusi panjangnya dengan SWA online.

Fazil Erwin Alfitri

Apa bidang Anda memang di perusahaan pembangkit sejak awal?

Sebelum masuk ke Medco Power, saya bekerja di GE Power Systems. Sebelumnya lagi, di Mobil Oil. Jadi dari dulu, saya memang orang energi. Di Mobil Oil, saya menangani LNG, masih insinyur junior. Saya muter-muter Arun, Princeton, Garut, kemudian Madura, Papua sebagai project engineer. Di Arun, kerapkali saya mengerjakan turbin. Maka sebagai insinyur, saya mengerti banyak sekali hal tentang turbin gas. Dan saya adalah salah satu dari 10 insinyur Mobil Oil di seluruh dunia yang benar-benar spesialis turbin.

Kemudian pada tahun 1997, saya dibajak GE Power Systems. Karena mereka berpikir bahwa penjual barang yang paling bagus sebenarnya adalah insinyur, yaitu orang yang memakai barang itu sendiri karena dia bicara apa adanya. Kami tidak seperti salesman, tetapi lebih memperhatikan solusinya. Nah, saya bekerja untuk GE 1997-2003. Saya tidak selalu di Indonesia karena terjadi krisis moneter waktu itu. Saya ditempatkan di luar negeri selama selama 1998-2001, di kantor pusat di AS. Saya jadi penjual turbin untuk pasar pembangkit listrik swasta. Istilahnya independent power producer (IPP).

Waktu itulah saya belajar bahwa di AS, tidak ada BUMN macam PLN. Semua pembangkit justru milik swasta, sebutlah Florida Light and Power, PGNE, Ford Edison. Tahun 2000, yaitu jamannya Bubble Economy, saya banyak berurusan dengan pengembang listrik semacam itu di pantai barat AS. Ada prediksi bahwa persediaan listrik akan berkurang pada tahun 2001. Para pengembang listrik buru-buru membeli pembangkit. Seperti beli ponsel. Karena membutuhkan slot di pabriknya, perusahaan sudah beli lebih dulu sebelum ada proyek. Padahal pembangkit listrik bisa mencapai miliaran dolar. Dalam hati saya, “Gila juga.”

Tahun 2001, saya pegang Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia. Menjual pembangkit di Indonesia susah banget pada jaman krisis moneter seperti itu. Tidak ada bank yang mampu mendanai proyek-proyek kelistrikan sebab country risk Indonesia tak terukur. Tak satu pun pemain swasta berinvestasi, sementara PLN sedang kacau-balau. Nilai tukar dolar mencapai Rp15.000-Rp16.000, sedangkan tarif listrik hanya sekitar Rp700.

Sebagian besar waktu justru saya habiskan untuk bicara dengan perbankan, mencari pendanaan. Solusinya, menjual produk dengan pembiayaannya sekalian. Pembeli tahu bayar saja. Bisa dibilang, pelanggan saya bos semua. Jadi, kiatnya adalah mencari kepuasan pelanggan yang sebesar-besarnya dulu. Soalnya, harga tiap mesin minimal U$S 10 juta. Untuk beli barang itu, pembeli butuh capital intensive besar. Jadi, saya tidak bisa jual barang kalau tidak bawa pendanaan.

Lalu kok bisa masuk Medco Power?

Sebetulnya ini crucible experience. Akhir tahun 2003, Medco Energy sedang dalam proses mengakuisisi sebuah ladang gas di Sumatera. Timbullah pertanyaan, bagaimana memonetisasi gas itu? Di Indonesia, gas tidak bisa dijual begitu saja, harus lewat pipa gas, LNG, atau PGN. Pada jaman itu, gas masih susah dijual karena BBM masih disubsidi. Orang lebih gampang berinvestasi pada BBM ketimbang gas. Karena itu, saya tunjukkan pada Hilmi Panigoro ketika saya bertemu beliau dengan niat untuk menjual mesin-mesin saya. Saya bilang, “Pak Hilmi, begini saja caranya. Anda harus mendirikan perusahaan pembangkit listrik.” Gas berarti kalau di bawah tanah terus. Supaya ada artinya, gas harus disalurkan ke end customer, baik dalam bentuk gas maupun listrik.

“Pak Hilmi, Anda harus berpikir, bagaimana gas Medco Energy tersebar di mana-mana bisa dimonetisasi jadi dolar oleh sebuah perusahaan pembangkit,” saya bilang begitu. Saya tunjukkan konsep yang biasa saya kenal di AS. Buat tim kecil hanya dari 3 orang, beri modal sekian. Dari modal itu, mereka membuat portofolio perusahaan, mengembangkan proyek, mulai diversifikasi. Saya juga tunjukkan bagaimana meminimalisasi ekuitas yang harus disuntikkan.

Tiga menit, Pak Hilmi bengong. Beliau berpikir. Lalu dia bilang, “Begini saja, kenapa Anda tidak bekerja untuk saya saja?”

Sebagai apa? Saya kan, Country Manager GE Power Systems. Sudah top job di Indonesia pada saat itu. “Kalau Pak Hilmi mau, kita sama-sama membangun ini. Jadi, anggap saya mitra Anda, jangan sebagai pegawai Anda” jawab saya.

Pertimbangan saya, proyek-proyek saya di GE jadi juga. Kenapa tidak mulai sendiri? Usia saya masih 37 tahun juga saat itu. Jadi, saya berani ambil risiko. Tapi, saya ribut juga dengan keluarga.

Konsep yang saya tawarkan, Pak Hilmi berkomitmen dengan saya setahun sajalah. Pastikan saya bisa terima gaji setahun. Kalau setahun tidak berhasil, dia tinggal jabat tangan dengan saya dan selesai.

Buat saya sendiri, buat apa mengabdi begitu saja untuk orang? Saya pernah bekerja di perusahaan multinasional. Saya mau, beri saya suatu tantangan. Karena itu, saya bilang juga pada Pak Hilmi, “Biarkan saya yang mengerjakan.” Dan awal tahun 2004 itu, komitmen beliau dibarengi dengan modal US$ 300.000. Cukuplah membuka perusahaan pembangkit dan menjalankannya selama 1 tahun. Gaji saya juga tidak sebesar waktu di GE. Saya harus bisa bertahan dengan uang itu, termasuk menggaji orang.

Debut Medco Power cukup kencang?

Saya masuk Medco Power dari nol. Belum 6 bulan, saya bisa mengakuisisi sebuah proyek, yaitu pembangkit Mitra Energy Batam milik PT Menamas yang dipimpin Bakti Luddin. Saat itu, Menamas sedang membangun PLTG. Sayangnya, mereka kesulitan pendanaan. Maka, saya buat struktur baru. Saya ambil alih proyek pembangkit berdaya 55 megawatt itu menjadi PT Medco Energi Menamas. Proyek ini jadi PLTG pertama di Batam.

Selain restrukturisasi, saya juga melakukan kampanye ke bank, jual konsep bahwa bisnis pembangkit listrik bagus untuk menghidupkan deposito. Risikonya rendah karena terukur dan kontraknya sudah ada sampai 20 tahun. Tapi, tak ada bank yang mau mendanai proyek. Bank Indonesia pun belum menyediakan fasilitas pendanaan, hanya consumer bank. Saya menunggu sampai 6 bulan. Akhirnya, yang pertama menyetujui adalah BCA. Saya berhasil menggalang hampir Rp 200 miliar pada tahun 2004. Medco Power dan PLN Batam tinggal menyetor sisanya. Dan sekarang dengan PLN Batam, Medco Power berhasil menaikkan dayanya menjadi 200 megawatt.

Kapan Anda yakin bahwa Medco Power akan sukses?

Sebenarnya kita harus eling, tidak selamanya perusahaan berada di atas terus. Terus terang, perasaan saya belum sampai ke tahap bahwa Medco Power sukses. Bahwa perusahaan ini akan bertahan, saya tahu. Sekarang memang sudah lumayan. Tapi, tetap saja masih baru.

Apa saja pembangkit yang dioperasikan di bawah Medco Power?

Keseluruhan pembangkit yang committed dalam pembangunan tahun ini berdaya 600 megawatt.

Ada 3 pembangkit termal di Batam dan 2 di Sumatera Selatan. Selain Batam dan Sumatera Selatan, Medco Power mengoperasikan pembangkit termal juga di Sulawesi Selatan.

Saya punya pembangkit Sarula Geotermal 330 megawatt di Sumatera Utara. Selain Sarula, Medco Power juga memenangi proyek Ijen TBA Geotermal belum lama ini, letaknya di Jawa Timur, berdaya 100 megawatt.

Run of river hydro project, singkatnya proyek mini hydro, milik Medco Power dimulai pada tahun 2010. Menjadi intensif pada 2011. Satu proyek mulai konstruksi pada 2012. Dan akhir 2013, sudah selesai 1 proyek mini hydro 10 megawatt di Sukabumi, tepatnya di Sungai Cibalapulang. Dalam roadmap kami 5 tahun ke depan, ada total 17 proyek mini hydro yang akan dibangun, berdaya total 110 megawatt.

Berapa karyawan yang Anda miliki?

Karyawan Medco Power, baik di kantor maupun lapangan, berjumlah total 500 orang. Dari jumlah itu, ada 40 karyawan yang bertugas di kantor pusat.

Siapa saja yang melanggani listrik Medco Power?

Hampir 100% listrik produksi Medco Power dijual ke PLN. Sekarang perusahaan sedang melihat peluang menciptakan basis pelanggan selain PLN. Maka, sebagian produksi dijual ke Medco E&P Indonesia juga, dengan daya 7 megawatt di Singa, Sumatera Selatan.

Memang proyek selalu dikerjakan secara join dengan perusahaan lain karena konsep Medco Power adalah berkembang bersama. Di samping itu, untuk mitigasi bisnis juga. Portofolio perusahaan tidak 100% untuk pembangkit (power company) saja. Dengan selalu adanya mitra, kami bisa mengelola modal (equity) dan saya dapat suatu premium yang bisa dimanfaatkan untuk proyek lain.

Sebaik apa kinerja perusahaan?

Hari ini, nilai Medco Power pada balance sheet adalah US$ 350 juta. Entreprise value juga hampir senilai itu. Waktu Saratoga masuk, mereka pasang US$ 250 juta.

Meninjau kinerja 2012 lalu, pendapatan Medco Power senilai Rp 950 miliar. Ebitda mendekati Rp 250 miliar. Tahun lalu juga, keuntungan mencapai Rp 60 miliar.

Bisnis listrik bukan untuk menghasilkan keuntungan cepat. Maka, value jadi lebih penting ketimbang sales. Selama 7-8 tahun pertama, yang pegang uang pertama-tama adalah bank dulu. Perusahaan pembangkit masih kering kerontang. Lalu bagaimana perusahaan bisa hidup? Ya, harus punya prospek usaha jangka pendek, yaitu mengoperasikan pembangkit milik orang lain (O&M) dan membangun pembangkit (EPC). Contoh O&M adalah Tanjung Jati B yang di-lease oleh konsorsium Sumitomo. Tahun 2005, saya memenangkan tender proyek O&M-nya. Proyek semacam ini bisa puluhan tahun. Itulah yang sebenarnya menghidupi perusahaan dan membantu mengembangkan program lain.

Bagaimana posisi Medco Power kini jika dilihat dari cara kerjanya?

Medco Power adalah perusahaan listrik yang mengarah ke energi bersih. Kami bisa-bisa saja mengoperasikan pembangkit berbahan bakar batubara. Tapi, saya ingin Medco Power dikenang karena cara kerjanya hijau (green). Soalnya, masyarakat akan lebih memilih perusahaan yang bisa diasosiasikan dengan bisnis hijau. Pembangkit yang ramah lingkungan justru bisa jadi paling mahal. Tapi, coba lihat Medco Energi. Sebagai produsen minyak, mereka harus membangun pembangkit 5000 megawatt yang bersih untuk menghapus jejak karbon mereka pelan-pelan.

Ada sangat banyak perkampungan yang belum kenal listrik. Jadi, Medco Power membangun pembangkit listrik kecil-kecil berupa mini hydro dengan memanfaatkan aliran sungai. Yang harus diyakinkan pada penduduk perkampungan adalah kami tidak akan ambil air sungai lebih dari 15%-20%.

Bagaimana cara Anda membangun tim?

Konsep saya adalah membangun tim bermodalkan entrepreneurship. Saya selalu cari orang-orang yang bersemangat wirausaha. Mereka berani menerima risiko. Sejak dulu, saya juga seperti itu.

Medco Power punya semboyan Peti, yakni singkatan dari profesional, etis, terbuka, dan inovatif. Pembangkit listrik bukan bisnis gampang. Anggota tim mesti bisa berpikir dari A sampai Z secara inovatif.

Tapi ujung-ujungnya, saya selalu kehilangan orang karena kebanyakan dari mereka langsung jadi general manager di proyek.

Anda pernah melakukan pembaharuan dalam manajemen?

Setiap tahun saya merotasi SDM. Perusahaan kan, punya Leadership Development Program sejak 2009. Di situ, karyawan “dikocok-kocok” untuk mengerjakan 12 proyek. Saya lihat bagaimana mereka bekerja di bawah tekanan. Sisi mobilizing people itu penting. Di samping itu, program ini berguna untuk succession planning. Saya buktikan bahwa orang yang terpilih memang sanggup perform. Hasilnya, perusahaan mengidentifikasi 20 orang calon pimpnan baru tiap selesai program. Tapi, sekali lagi, tidak semuanya bertahan bersama kami.

Bagaimana pengalaman Anda membangun jejaring dengan mitra?

Yang paling sulit adalah menjalin hubungan dengan PLN sendiri. Kami adalah investor listrik yang sebenarnya membantu PLN untuk menjual lebih banyak listrik. Target untuk memenuhi 100% kebutuhan listrik sendiri pun dicanangkan untuk tahun 2025 ke depan. Tapi, PLN masih memperlakukan kami macam pemasok, bukan mitra. Padahal bisnis listrik semestinya menerapkan win-win solution. Kalau kami rugi, PLN akan rugi juga, dan pembangkit listrik pasti mati. Pertimbangan itu seharusnya dijaga. Bayangkan, 70% listrik di Batam diproduksi dari Medco Power.

Sampai sekarang, apa tantangan terberat yang Anda alami?

Mengelola hubungan dengan PLN. Tak dapat dipungkiri, pelanggan saya adalah BUMN yang rentan tuduhan. Dampaknya kan, bisa mengenai saya. Itulah yang membuat saya susah tidur di malam hari. Buat saya, lebih baik perusahaan tidak dapat peroyek, namun bersih, daripada “macam-macam”. Governance Medco Power sangat tinggi. Salah satu contoh, saya tidak bisa keluarkan dana melebihi US$ 250.000 tanpa izin direksi.

Pasang target apa buat Medco Power tahun ini?

Target pertama, perusahaan mencapai nominal US$ 1 miliar dulu pada tahun 2016 nanti. Tapi, peningkatan dari US$ 1 miliar menjadi US$ 3 miliar nantinya harus cepat. Kami juga sedang menjajaki peluang memperluas basis pelanggan Medco Power tidak hanya di luar PLN, tetapi sampai ke luar Indonesia. Kami mencoba merambah Asia Tenggara.

Target saya hari ini adalah menyelesaikan proyek yang PPA-nya sudah saya tandatangani. Saya sudah tanda tangan proyek pembangkit 110 megawatt Ijen TBA Geotermal. Lalu ada Universal Batam Energy (UBE). Ini proyek di Batam yang mendapat gas domestik dari Premier. Di samping Ijen dan UBE, Sarula akan jadi pembangkit geotermal terbesar di dunia, berdaya 330 megawatt, dibangun di Sumatera Utara.

Mimpi saya, ini jadi perusahaan listrik yang mendunia dan bisa bernilai US$ 10 miliar. Karena itu, target immediate untuk tahun 2016 adalah mencapai nilai US$ 1 miliar dulu. Untuk jadi perusahaan yang dari US$ 300.000 sampai US$ 1 miliar, dibutuhkan investasi terus-menerus. Nah, yang susah adalah memecahkan US$ 1 miliar pertama.

Kapan Medco Power akan go public?

Saya punya rencana menawarkan saham perdana (IPO) pada tahun 2016 yang akan datang. Namun saya khawatir, kalau nilai Medco Power kurang dari US$ 500 juta, yang tertarik bukan pemain jangka panjang, tapi justru menggoreng-goreng saham.

Dengan masuknya Saratoga ke dalam Medco Power, manajemen diberi peluang employee stock option (ESOP). Kalau nanti perusahaan menawarkan saham perdana atau melakukan penjualan strategis, kerja keras karyawan akan diperhitungkan untuk bisa punya saham. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved