Profile

Harry Surjanto, CTI dan Cita-cita Go Regional

Harry Surjanto, CTI dan Cita-cita Go Regional

Pengalaman panjangnya sebagai profesional di bidang system integrator, membuat Harry Surjanto dipercaya oleh Multipolar menjadi direktur di salah satu anak perusahaan Multipolar, Compu Trade Indonesia (CTI), yang bergerak di bidang distribusi produk teknologi informasi (TI) pada awal 2000-an. Namun, karena operasi dan kinerja lini bisnis CTI tidak sesuai dengan harapan pihak Multipolar, CTI pun ditutup.

Harry-Surjanto-2

Momen itu menjadi titik balik bagi Harry Surjanto yang saat itu menjadi Direktur CTI dan telah bekerja di Multipolar selama 14 tahun. Bukannya kembali ke Multipolar, ia justru putuskan untuk meneruskan bisnis CTI bersama timnya dengan mendirikan perusahaan baru yang namanya hampir serupa dengan CTI bentukan Multipolar, yaitu Computrade Technology International pada 2003.

Melalui CTI bentukannya bersama tim bawaannya, Harry mengubah wajah perusahaan distribusi produk TI yang awalnya hanya berperan sebagai penyalur barang atau stockist, menjadi perusahaan konsultan TI yang memberikan advis solusi TI bagi kliennya. Hingga kini, CTI telah memiliki 125 technical engineer yang membantu klien dalam konsultasi dan implementasi TI di kantornya.

Tahun 2012 lalu sepertinya merupakan tahun yang gemilang bagi CTI dan Harry karena berhasil meraih pendapatan sebesar Rp 1,7 triliun dengan pertumbuhan sebesar 50% dibanding dengan pendapatan pada 2011. Sebagai distributor produk TI, CTI cukup mencuri perhatian para prinsipal produsen TI global. Menurut pengakuan Harry mengutip pernyataan para prinsipal tersebut, mereka menilai pola technology center dan education center yang CTI dirikan merupakan hal pertama yang mereka lihat pada perusahaan distribusi. Pemahaman yang cukup mendalam mengenai kebutuhan klien di Indonesia membuat Harry diminta berbagi kepada para prinsipal tersebut. Hal ini membuat CTI memiliki nilai plus tersendiri di mata para prinsipal.

Saat ini Grup CTI memiliki enam anak perusahaan, yaitu Blue Power Technology, Central Data Technology, Virtus, Xsis, NPP, dan PT XDC Indonesia. Ke depannya, Harry ingin melompat lebih jauh. Ia ingin membawa CTI untuk go regional. “Kami ingin menjadi perusahaan Indonesia yang tidak hanya jagoan di Indonesia, tapi juga di regional dengan model kami sendiri,” ucap pria kelahiran Tulungagung, 24 Juli 1964, optimis. Lebih jauh mengenai Harry Surjanto, CTI, dan cita-citanya terhadap CTI, berikut wawancara reporter Swa Online dengan Presiden Direktur Grup CTI Harry Surjanto, yang hobi golf dan berolahraga di pusat kebugaran, pada pertengahan April lalu di Hotel Mulia, Jakarta.

Bagaimana Anda mendirikan CTI?

Saya lama berkarier di Multipolar. Sekitar 14 tahun. Pada dua tahun terakhir saya bekerja di Multipolar, Multipolar juga mendirikan perusahaan distributor bernama Compu Trade Indonesia (CTI). Namun karena secara lini bisnis berbeda dengan yang diharapkan, maka Multipolar tidak melanjutkan model bisnis distribusi. Awalnya Multipolar ingin mengarahkan bisnis pada ke high value atau consultant ke industri yang spesifik. Sedangkan CTI saat itu, mungkin memang perencanaan awalnya tidak terlalu matang sehingga tidak fokus. Maka Multipolar tidak melanjutkan model bisnis distibusi.

Saat itu merupakan titik balik bagi saya di mana kemudian saya putuskan untuk meneruskan bisnis ini sendiri. Namun, bukan dalam perusahaan yang sama. Saya bersama-sama tim awal keluar dan mendirikan CTI yang saat ini, Computrade Technology International, itu pada 2003. Karena background saya di system integrator dan banyak berhubungan dengan user serta solusi (sampai ke tahap fabrikasi), maka saya bisa mengerti mengenai infrastruktur seperti apa yang diperlukan mereka. Sehingga kami kemudian mulai mencari bentuk yang baik untuk distributor TI. Karena distributor TI pada saat itu kebanyakan hanya berfungsi sebagai penyalur. Tidak lebih. Tidak ada bedanya dengan penjual komputer atau ponsel. Atau bahkan disamakan dengan penjual tape dan DVD.

Kemudian kami mencari bentuk perusahaan distributor yang paling tepat karena saya tahu persis kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi mitra. Terakhir di Multipolar saya menjabat Direktur di anak perusahaan Multipolar yang bergerak di bidang distribusi itu. Dari sana perlahan-lahan kami mencari bentuk hingga bentuk yang sekarang ini, distributor yang awalnya hanya sekedar stockist berkembang hingga memiliki banyak technical engineer.

Sejak kapan CTI mulai merekrut banyak engineer? Sejak kapan transformasi dilakukan?

Perubahan atau pencarian bentuk terbaik dilakukan tiap saat. Tiap tahun harus ada proses perbaikan dan kami harus belajar dari tahun sebelumnya selama sepuluh tahun sehingga muncul bentuk yang saat ini. Kami mulai membangun teknikal karena tidak semua mitra bisnis memiliki tenaga teknikal. Mengapa? Tenaga teknikal cukup mahal karena harus menggaji, mengelolanya dengan baik, memberikan reward yang memadai, dan, yang penting, profesional teknis juga harus memiliki kesempatan belajar. Saya mau orang-orang kami kompetitif, bisa bersaing, dan makin maju sehingga kami harus memiliki technology center.

Kami juga berencana membangun CTI Education, yang mulai didirikan sejak tahun lalu. Ide itu muncul berdasarkan pemikiran bahwa CTI telah menjadi mitra beberapa prinsipal besar dan kami memiliki informasi yang paling pertama dan baru mengenai Teknologi dan memiliki produknya. Mengapa kami tidak membuat pendidikan?! Untuk siapa? Untuk semua pihak, karena kami tidak khawatir untuk bersaing di area itu. Bagi profesional teknis, baik di perusahaan mitra atau di perusahaan kami, jika ingin belajar maka kami beri sarana pendidikan. Nah, agar tempat pendidikan kami bisa dipercaya, maka kami dirikan education center yang resmi. Education center ini masih benar-benar baru. Namun untuk Technology center sudah dimulai sejak 2005. Kami investasi sedikit demi sedikit.

Apa saja capaian bapak selama berkarier sebagai profesional dan sebagai entrepreneur sejak mendirikan CTI?

Pertama, adalah capaian pendapatan tahun lalu yang cukup tinggi, yaitu mencapai Rp 1,7 triliun, tumbuh 50% dibanding pendapatan pada 2011. Selain itu, capaian lainnya adalah bentuk CTI yang sangat unik dan belum pernah ada yang model usahanya seperti CTI. Model bisnisnya yaitu sebagai distributor yang memiliki kemampuan dan tenaga teknikal yang banyak, memiliki akses ke pasar, mengelola database (customer dan mitra). Selain itu kami juga memiliki marketing arm yang demikian agresif. Hal ini sangat jarang dimiliki perusahaan dustribusi TI. Yang biasanya dimiliki kebanyakan perusahaan distribusi TI hanya sales atau bahkan hanya jadi stockist.

Jika anda bertanya mengenai hal yang membuat saya bangga, yaitu beberapa perusahaan distributor kelas dunia bahkan mau tahu apa yang kami lakukan. Jadi, ketika saya berbicara dan mempresentasikan diri ke berbagai prinsipal mitra kami, mereka mengaku tidak pernah melihat model bisnis distributor seperti kami. Kebanyakan dari mereka, ketika kami melakukan investasi ke technology center, menyatakan bahwa model yang kami jalankan merupakan model yang pertama di Asia. Atas dasar itu, para prinsipal itu meminta kami untuk men-share model kerja kami dan diimplementasikan di perusahaan mereka.

Mengenai pengelolaan data customer dan partner, bisa dijelaskan lebih rinci ?

Semua pihak dapat mengelola data. Yang sulit dari pengelolaan data adalah membuat data itu valid. Semua orang bisa meng-acquire data, tapi maintaining data adalah hal yang berbeda. Ketepatan kami dalam mem-validasi data adalah salah satu uniqueness dari perusahaan kami.

Value bisnis apa yang Anda pegang?

Kami memiliki 3 corporate value. Pertama adalah integritas. Kami ingin semua karyawan memiliki cara pandang yang sama dalam hal integritas, dalam hal kejujuran dan komitmen. Kedua, adalah rendah hati, setiap orang mau menghargai orang lain. Jika kita mau mendengar orang lain, maka kita bisa belajar dari orang lain. Jika terdapat kritik atau masukan yang bersebrangan terhadap diri kita, maka kita harus menerimanya dan jangan dilawan. Mungkin pihak yang mengkritik dengan cara pandang yang berbeda, dengan begitu kita tahu cara pandang dari banyak sisi sehingga keputusan yang kita ambil bisa makin benar. Ketiga adalah strive for excellence, yaitu selalu melakukan perbaikan dan punya keinginan untuk berkembang dari tahun ke tahun. Tiga hal ini nilai yang saya pegang dan diinstitusionalisasikan ke dalam corporate value.

Tantangan dunia teknologi dan TI di Indonesia?

TI sebenarnya hanya tool atau enabler. Sebenarnya yang melakukan adalah manusianya. Banyak produk TI yang sangat canggih. Namun masalahnya seberapa jauh pemilik atau pengguna produk TI meng-utilized atau mengoptimalkan kegunaan teknologi itu. Misalnya produk smartphone yang makin canggih. Namun berapa banyak pengguna smartphone yang canggih itu mengoptimalkan penggunaannya? Saya baru bicara tentang smartphone yang penggunaannya terkait pada satu orang. Dalam korporasi, persaingan tidak bisa dimenangkan oleh hanya satu orang. Persaingan dimenangkan oleh satu tim, bahkan satu perusahaan. Saya yakin tiap bagian dalam satu perusahaan berkontribusi untuk bisa memenangkan persaingan. Dalam kaitannya kontribusi itulah, sumbangsih TI sangat banyak untuk membuat proses kerja sama dalam satu perusahaan semakin lancar, sharing ide makin cepat, dan implementasi yang makin cepat. Tentu saja tiap individu dituntut untuk memiliki komitmen. Komitmen untuk melakukan hal kecil melalui teknologi oleh karyawan dalam rangka meningkatkan kinerja, competitiveness, dan kerja sama merupakan hal yang masih sulit untuk diterapkan.

Sebetulnya, tidak perlu memiliki teknologi yang sangat canggih untuk bisa memenangkan persaingan di antara perusahaan. Yang penting adalah bisa mengoptimalkan penggunaan teknologi yang ada, walau tidak canggih.

Obsesi ke depan?

Kami ingin menjadi perusahaan Indonesia yang tidak hanya jagoan di Indonesia, tapi juga di regional dengan model kami sendiri. Cita-cita ini muncul karena kami mendapatkan feedback dari para mitra prinsipal kami mengenai model kami seperti yang dijelaskan sebelumnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved