Profile

Harsya Praseto: Makin Jatuh Cinta dengan Citibank

Harsya Praseto: Makin Jatuh Cinta dengan Citibank

Citibank kerap disebut universitasnya para bankir. Seperti halnya unversitas, begitu lulus, si bankir pergi meninggalkan almameternya demi berkarier di bank lain. Namun, hal tersebut tak dilakukan oleh Harsya Prasetyo. Pria 33 tahun yang kini menjabat Head Retail Investment & Consumer Treasury mengaku semakin jatuh cinta kepada Citibank.

Harsya Praseto, Head Retail Investment & Consumer Treasury Citibank

Ia bukannya tak mau mengikuti jejak eks Citibankers seperti Robby Djohan, Abdul Gani, Edwin Gerungan, Emirsyah Satar atau pun Laksamana Sukardi yang hengkang dari Citibank untuk kemudian menjadi orang penting di institusi papan atas. Namun karena alasan yang simpel, hingga saat ini ia memutuskan untuk menolak beberapa pinangan dari perusahaan lain.

“Bagi saya simple, selama saya masih bisa memberikan nilai tambah ke perusahaan dan apakah perusahaan masih bisa memberikan nilai tambah ke saya. Learning opportunity di Citibank sangat luar biasa. Citibank memberikan nilai tambah yang bagus ke saya. Di lain pihak saya bisa mengolah apa yang sudah saya pelajari di sini bagi kepentingan Citibank,” ujar pria berperawakan tinggi tegap ini.

Ibarat raksasa, bapak dua anak ini menggambarkan Citibank seperti raksasa yang bergerak cepat, padahal jarang raksasa bergerak cepat. Sebuah organisasi yang besar, namun sangat dinamis.

“Di sini ide-ide saya dapat mudah diterima. Nuansa pertemanannya juga sangat kental. Kalau kebanyakan orang lesu menyambut hari Senin, saya justru sebaliknya. Senin itu adalah weekend, tapi di kantor. Benar-benar enjoy,” katanya.

Karena alasan-alasan di atas itulah ia berkarier hampir 10 tahun di Citibank. Padahal, boleh dibilang profesi bankir jauh dari impian Harsya belia. Awalnya, pencinta lukisan impresionis ini ingin sekali meneruskan jejak sang ayah menjadi konsultan manajemen. “Namun karena selepas lulus kuliah tahun 2001 terjadi buble tehcnology, maka bisnis konsultan manajemen juga lesu. Ketika itu saya coba bergabung ke Citibank,” kenang lulusan Business School University of Melbourne, Australia ini.

Karena alasan ingin melanjutkan study di Australia, tahun 2004 ia sempat keluar dari Citibank. Namun Citibank tampaknya tak mau melepaskan Harsya begitu saja. “Saya beberapa kali ditelepon untuk bergabung kembali, padahal saya belum lulus.”

Setelah lulus, yakni tahun 2005, pria yang gemar menyetir ke daerah-daerah pelosok ini kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Citibank. Ketika masuk, ia langsung menjabat Product Manager Investment, dan dalam waktu tiga tahun diangkat (tahun 2008) diangkat menjadi Head Investment. Saat itu ia juga menyambi kuliah mengambil gelar CFA. Kemudian, sejak 2009 hingga sekarang juga memegang counsumer treasury. Ia juga tercatat sebagai dosen di Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Bersama Citibank, pria kelahiran 14 Oktober 1978 ini bukan tak mengalami masa-masa suram. Seperti saat kasus Malinda Dee atau saat krisis yang membuat saham Citibank jatuh dari US$ 40 menjadi hanya 90 sen. Ia dan tim yang dipimpinnya sempat stres. “Untunglah di Citibank, pemimpin dibebaskan untuk memiliki style leadership sendiri. Saya meyakinkan tim saya bahwa setiap bisnis ada up and down, yang terpenting adalah kita bisa melaluinya. Nah, ketika kami bisa bangkit keterpurukan, di saat itulah kualitas kami sebenarnya muncul menjadi bankir sesungguhnya. If you stay you become the survival one,” ujar pria yang hobi bermain golf ini.

Ke depan, ia bermimpi membawa Citibank menjadi bank yang simple. Saat ini di bisnis counsumer banking, Citibank bermain di level orang-orang kaya, yang menonjol adalah wealth management. “Kesannya Citibank itu bank mahal, bank yang di luar jangkauan, saya ingin mengubah itu. Jadi, Citibank di masa depan has to be a simple bank. Bank yang lebih simple buat semua orang,” begitulah impiannya untuk Citibank. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved