Profile

Irni Palar, Pasar Kartu Debit & Kredit di Indonesia Sangat Potensial

Irni Palar, Pasar Kartu Debit & Kredit di Indonesia Sangat Potensial

Sebagai salah satu prinsipal kartu debit dan kredit terbaik dan terbesar di dunia, MasterCard tentu saja akan terus melakukan inovasi atau terobosan baru untuk memudahkan transaksi para konsumennya. Irni Palar, Direktur & Country Manager MasterCard Indonesia, menerangkan bahwa pasar kartu debit dan kredit di Indonesia memang masih sangat besar dan potensial untuk digarap ke depannya. Tapi memang masih ada beberapa tantangan yang mesti diatasi untuk terciptanya cashless society atau masyarakat yang semakin jarang menggunakan uang tunai dalam transaksi belanja atau lainnya. Bahkan ke depannya, MasterCard memprediksikan bahwa penggunaan kartu akan berkurang, karena orang lebih suka bertransaksi melalui smartphone-nya langsung.

Untuk lebih lengkapnya, mari kita simak hasil wawancara reporter SWA Online, Ria Pratiwi, dengan ibu tiga anak, kelahiran 30 Juli 1971, yang mempunyai hobi nonton dan makan ini, mengenai perjalanan karier, pendidikan, pekerjaannya di MasterCard, hingga pandangannya soal industri kartu debit dan kredit di Indonesia.

Irni Palar,MasterCard

Bisa diceritakan bagaimana perjalanan karier Anda?

Sebelum di MasterCard, saya mulai bekerja di perusahaan consumer goods, kemudian saya pindah ke perbankan, khususnya bank asing, American Express Bank Ltd. Indonesia. Di sana (saya kerja) selama 8 tahun. Lalu, saya pindah lagi ke salah satu bank lokal (Bank Mega). Dan, sejak Oktober 2012, saya bergabung dengan MasterCard.

Dulu bidang kerja saya masih sama yakni di kartu kredit, tapi lebih kepada sisi acquiring atau merchant. Tanggung jawab saya adalah untuk lebih kepada penerimaan (acceptance) kepada kartu American Express (Amex) di berbagai merchant tentunya. Ini tentu saja agak berbeda (dengan kartu kredit bank lainnya), karena Amex itu lebih premium sebagai bank, maka itu secara pricing juga lebih mahal. Jadi tugas saya sebetulnya adalah melobi supaya merchant besar mau menerima kartu kredit tersebut. Jabatan terakhir saya waktu di Amex adalah Head of Global Establishment Services. Kemudian, di Bank Mega, tanggung jawab saya lebih pada sisi menerbitkan (issuing), product development, portofolio, dan usage. Jabatan saya terakhir di Bank Mega adalah Vice President, Head of Sales and Marketing pada Divisi Kartu Kredit, yang bertanggung jawab soal pemasaran kartu kreditnya.

Mengapa akhirnya Anda “berlabuh” di MasterCard?

Alasannya yaitu kalau dulu di Amex itu kan saya bekerjanya lebih pada sisi acquiring, lalu di Bank Mega dari sisi issuing, sehingga secara portofolio, saya ingin melakukan holistic approach. Setelah saya bisa melihat keseluruhan, tentu pindah ke MasterCard ini ada perbedaaan pandangan lagi. Jadi bukan dari sisi nasabah atau banknya, tapi lebih pada sisi prinsipalnya. Sehingga di sini kita melihat strategi-strategi market, lebih khususnya apa sih yang bisa memajukan perindustrian kartu di Indonesia. Ini tidak terbatas pada kartu kredit saja, tapi juga kartu debit, dan lainnya. MasterCard, bagi saya, adalah perusahaan yang sangat berbasis teknologi ya. Jadi bukan hanya dari sisi payment, tapi juga punya banyak terobosan baru dari sisi teknologi.

Apa tantangan yang Anda alami sejauh ini bekerja di MasterCard?

Tantangannya bahwa MasterCard itu secara perusahaan adalah perusahaan global, namun dia harus punya taste lokal. Jadi tidak semua hal yang diimplementasikan di luar bisa dilakukan di Indonesia. Kemudian, kebalikannya bahwa ada hal-hal baik di luar yang belum terekspos di Indonesia. Jadi tugas saya adalah melihat hal-hal baik apa yang bisa diterapkan di Indonesia, lalu mengedukasi MasterCard juga mengenai dinamika market di sini, dan perilaku konsumennya. Tentunya kita (masyarakat Indonesia) sangat berbeda.

Saya kasih contoh, misalnya program kartu kredit di Indonesia adalah program yang tembak langsung. Jadi masyarakat Indonesia lebih suka dan lebih mudah dimotivasi untuk program yang memberikan banyak benefit dan simpel. Contohnya beli sekian dapat ini, terus ada diskon 50%, atau beli 1 dapat 2. Itu (karakteristik) masyarakat Indonesia, yang mana hal ini belum tentu didapatkan di Hong Kong dan Singapura, ataupun negara-negara lainnya. Kalau mereka mempaketkan programnya berdasarkan total experiences, misalnya sangat mengejar point rewards.

Irni Palar 2

Kalau boleh tahu, apakah latar belakang pendidikan Anda dulunya memang di bidang ekonomi atau perbankan?

Memang secara pendidikan, saya lulusan dari (Fakultas) Business Administration, jurusan marketing, Portland State University, Oregon, AS. Jadi kelihatan kan ya suka ngomong, haha..

Bagaimana pendapat Anda soal penetrasi kartu kredit dan debit di Indonesia?

Penetrasi kartu kredit di Indonesia (masih) sangat kecil. Banyak sih sebetulnya terobosan yang bisa dilakukan untuk (mengatasi) itu. Sebetulnya apa yang membuat saya excited dengan pekerjaan sekarang ini adalah karena kesempatan untuk berkembang masih sangat besar di Indonesia. Penetrasi perbankan masih baru 20%, sedangkan 80%-nya masih unbanked. Sehingga perbankan itu selalu membuat terobosan baru dalam bisnisnya. Untuk kartu kredit mungkin sekarang mereka masih mencari bentuk atau format yang pas, karena terbentur berbagai macam regulasi Bank Indonesia (BI).

Kalau dari kartu kredit, dulu bank lebih banyak menargetkan segmen yang sudah punya kartu. Tapi mungkin sekarang mereka akan melihat segmen baru, contohnya orang yang baru bekerja (fresh jobber). Dulu mungkin tidak ada yang mau menawarkan kartu kredit kepada fresh jobber; tunggu dia dapat kartu dulu deh dari bank lain, baru kartu kreditnya di-issue. Saya lihat bank sekarang sudah mulai melakukan validasi atau underwriting kredit dari sisi resikonya, apakah fresh jobber bisa langsung diberikan kartu kredit atau tidak.

Kemudian, saya melihat banyak sekali kota second tier atau third tier, yakni kota-kota besar di luar Jakarta yang masih punya potensi. Cuma tentunya tantangan di sana adalah penerimaan dari merchant. Ya, di kota-kota kecil seperti itu kalau dikasih kartu kredit, tapi tidak ada merchant-nya, lalu dia mau transaksi ke mana? Nah, itu yang sedang dicari formula khususnya oleh bank, yang tentunya harus ada investasi dan sebagainya.

Apa terobosan baru yang dilakukan MasterCard sekarang ini?

Dari sisi (mesin) Electronic Data Capture (EDC), MasterCard juga sedang mendorong yang namanya Mobile Point of Sale (MPOS). Ini bisa pakai smartphone, ada sambungannya sehingga bisa langsung transaksi. Dan itu secara keamanannya sudah sama seperti EDC. Jadi sebelumnya, merchant mendaftarkan diri dulu. Proses know your customer (KYC) tetap berjalan dalam seleksi merchant, kemudian dia harus punya mobile apps (dari bank penerbit kartu). Dia tinggal download itu, lalu dicek, dan akan ada klarifikasi. Karena ini aman, maka bank bisa melacaknya, dan dia bisa memblok bahwa transaksi hanya bisa dilakukan di Surabaya dan Jakarta. Sehingga kalau orangnya ke Balikpapan, transaksi itu tidak bisa dilakukan.

Terobosan-terobosan baru ini sudah kita lakukan, karena kita sudah mulai ini dengan beberapa bank. Dengan adanya ini, kita ingin membentuk apa yang dinamakan card less society. Nah,kan first jobber itu adalah pasar yang muda, kemungkinan besar mereka mau sesuatu yang catchy, yakni (kalau belanja atau membayar apapun) tidak harus mengeluarkan kartu segala macam. Jadi nanti tinggal pakai smartphone saja, yang sudah ada fasilitas NFC-nya.

MasterCard sudah bekerja sama dengan berapa bank sampai saat ini, untuk penerbitan kartu kredit?

MasterCard saat ini sudah bekerja sama dengan hampir semua bank di Indonesia. Kalau untuk issuer sendiri, kita ada 21 bank. Tentu opportunity terdekat yang saya lihatadalah kartu debit, karena ini kebanyakan tidak digunakan untuk bertransaksi, sementara base-nya besar, yaitu ada 80 juta kartu beredar di Indonesia. Jadi ini kesempatan besar yang kenapa tidak kita rangsang bagi pemilik kartu debit itu untuk bertransaksi. Karena memang lebih banyak orang di negara kita yang pakai kartu debit untuk transaksi di ATM saja.

Orang Indonesia itu senang bolak-balik ke ATM, makanya ATM selalu mengantri. Mereka itu sekali mengambil uang hanya Rp100 ribu, lalu kalau itu habis, dia akan antri lagi, jadi mereka bukan yang ambil Rp500 ribu untuk dua hari misalnya. Memang pemikiran mereka (sebagian besar) masih pakai uang tunai. Ini disebabkan oleh proses edukasi yang tidak diberikan sejak awal. Karena di negara-negara maju seperti Eropa dan AS, semua transaksi berapa pun nominalnya dilakukan dengan kartu.

Tapi untuk jumlah kartu debit dan kredit MasterCard di market, saya tidak tahu persis berapa jumlahnya. Karena bank issuer masing-masing yang punya data soal itu. Tapi yang saya tahu bank issuer juga sangat agresif. Sebab, pertumbuhan kartu debit sendiri itu mengikuti pertumbuhan funding banknya, dan itu cukup tinggi (pertumbuhannya).

Apa pendapat Anda kalau masih ada anggapan dari konsumen kartu (debit/kredit), juga petugas kasir di merchant, bahwa kartu keluaran prinsipal A tidak bisa digunakan pada EDC bank yang kartunya memakai merek prinsipal B?

Kalau dari MasterCard, kalau dia terima merek yang satu, dia akan terima merek kita juga. Jadi kita boleh berkompetisi dari sisi program, tapi dari acceptance biasanya dari merchant itu tidak mau tebang pilih ya. Karena buat mereka, konsumen itu harus didahulukan. Malah di satu merchant, EDC-nya bisa ada empat buah. Jadi jangankan dari merek prinsipal, tapi dari sisi EDC pun mereka punya berbagai macam bank. Jadi di sini bagaimana MasterCard meningkatkan kemudahan bertransaksi untuk para konsumen.

Maka itu harus ada edukasi terus menerus kepada bank dan konsumen, dan ini sudah kita mulai. Karena ada orang yang tidak tahu kartunya bisa digunakan bertransaksi dari logo/merek selain yang ada di kartunya. Dan untuk banknya sendiri, jangan deh suka berpikir bahwa kartu ATM/debit yang ada hubungannya dengan tabungan si nasabah, kalau dananya dipakai terus untuk transaksi oleh si nasabah, maka di dalam tabungannya akan habis. Itu paradigma lama, sedangkan kita sudah membuktikan bahwa orang yang sering bertransaksi dari rekeningnya, mempunyai tendensi men-top up (dana di dalam tabungannya). Jadi dia pakai terus kartunya setiap hari, jadi tidak boleh habis nih isi rekeningnya, dan dia akan mengambil pundi-pundi yang lain untuk top up. Dan data kita menunjukkan misal si nasabah menaruh di satu rekeningnya Rp1 juta, dengan seringnya dia pakai itu untuk transaksi, maka top up-nya bisa mencapai 30%-40% (setiap bulan). Jadi keuntungannya sangat baik untuk bank.

Last but not least, apa harapan Anda untuk karier di MasterCard ke depannya?

Kalau menurut saya tantangan di MasterCard sangat luar biasa. Tentunya saya melihat tantangan itu dari dua sisi, salah satunya dari kesempatan-kesempatan. Nah, kalau karir sendiri tentunya setiap orang maunya semakin berkembang dan baik. Tapi buat saya intinya ‘just do your best’. Saya lebih percaya untuk memberikan yang terbaik untuk pekerjaan saya, dan karir itu biasanya mengikuti. Karena selama ini karir saya juga berjalan seperti itu. Let it flowing, tapi kita tetap berikan yang terbaik. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved