Profile

Jerih Payah Okke Hatta Rajasa untuk Tenun Indonesia

Jerih Payah Okke Hatta Rajasa untuk Tenun Indonesia

Di balik keberhasilan Cita Tenun Indonesia (CTI) ‘membentangkan’ kain tenun hingga ke mancanegara, ada jerih payah Okke Hatta Rajasa. Sebagai Ketua CTI, kegiatannya bukan hanya sekadar pekerjaan basa-basi seperti menggunting pita atau membaca pidato sambutan.

Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia. (foto by: Lila Intana)

Wanita 56 tahun ini terjun langsung ke kantong-kantong wilayah perajin tenun, secara rutin ‘blusukan’ selama berhari-hari ke pedalaman. Seperti perajin yang menenun dengan segenap hati dan rasa, maka seperti itulah Okke memberikan jiwa pada sesuatu yang dicintainya.

Awal perkenalan istri dari Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, dengan kain tenun yaitu ketika dia duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat membantu membersihkan lemari neneknya, Okke diberi satu kain tenun dari Komering, daerah asal sang nenek, tepatnya wilayah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan.

“Nenek menyuruh saya menyimpan salah satu tenun koleksinya, meski saat itu saya tidak tahu tenun itu untuk apa. Ternyata kemudian saya gunakan saat menikah dengan Pak Hatta,” ujar Okke.

Setelah mulai mengenal tenun, Okke kemudian mulai menyukai dan mencoba meningkatkan level pemahamannya dengan membaca buku-buku tentang tenun. Tak heran jika kini dia mampu menjelaskan sejarah tenun beberapa daerah dengan baik, penjelasannya juga sekaligus menggambarkan kesukaannya terhadap tenun telah berubah menjadi kecintaannya terhadap kain asli Indonesia ini.

Di tahun 2008, Ibu dari Reza, Aliya, Azimah, dan Rasyid ini mulai bergerak dan mengajak beberapa perempuan yang juga menyukai tenun untuk mendirikan CTI. Melalui organisasi ini, matanya mulai terbuka akan berbagai kesulitan tenun.

“Banyak motif tenun yang punah karena krisis regenerasi penenun. Tenun juga masih ‘terkungkung’ sebab hanya digunakan dalam acara adat, tidak seperti batik yang sudah banyak diaplikasikan dalam dunia fashion,” ujar sulung dari lima bersaudara ini.

Saat ini, Okke bersama CTI telah melakukan program pembinaan di 8 wilayah Indonesia, antara lain Bali, Sumatera Selatan, Banten, Sulawesi Tenggara, Garut & Majalaya, Sambas, Lombok dan Sumba (Nusa Tenggara Timur) dengan jumlah perajin lebih dari ribuan orang. “Tahun ini akan bertambah dua wilayah pembinaan lagi yakni Riau dan Jabar,” ujarnya.

Dalam menjalankan berbagai program pembinaan tersebut, CTI menggandeng para desainer tekstil, mode dan interior dalam melakukan pelatihan dan pengembangan di setiap wilayah. Tujuannya agar para perajin binaan juga dapat menciptakan kain tenun yang dapat diolah menjadi produk akhir berdaya jual dan pakai tinggi.

“Beberapa desainer mode tenar telah kami ajak ke daerah selama dua minggu penuh. Mereka adalah Sebastian Gunawan ke Garut dan Majalaya, Priyo Oktaviano ke Bali, Didi Budihardjo ke Sambas, Denny Wirawan ke Sulawesi Tenggara dan Sumba, Ari Seputra ke Lombok, Era Soekamto ke Baduy, Chossy Latu dan Biyan ke Palembang,” jelas perempuan berjilbab ini.

Dalam pelaksanaannya, CTI juga menggandeng pihak pemerintah maupun swasta, yang juga menjadi mitra sponsor pengembangan perajin di wilayah berbeda seperti BNI, Garuda Indonesia, PGN, Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintahan Provinsi Banten.

CTI juga telah menerbitkan dua buah buku, yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2012. Tenun : Handwoven Textiles of Indonesia yang telah diterbitkan di berbagai negara dan menjadi best seller, serta Woven Indonesian Textiles For The Home, di penghujung tahun. “Buku ini juga tengah diedarkan ke beberapa negara,” tegas anak dari tentara era penjajahan Jepang ini.

Untuk mengkomunikasikan Tenun Indonesia dan hasil pencapaiannya ke berbagai negara yang berpotensi sebagai pasar, CTI menggelar presentasi koleksi mode dengan memfasilitasi kolaborasi antara perajin dan desainer mode. Hasil kolaborasi kemudian ditampilkan dalam berbagai presentasi mode di London pada acara yang dituanrumahi oleh Prince Andrew, Washington DC, Belanda India, Jepang, China, Paris untuk acara Pret-a-porter, dan New York.

Pada September 2012, Okke bahkan mendapatkan penghargaan dari Fashion 4 Development (F4D), sebuah organisasi nirlaba berbasis di New York, Amerika Serikat. F4D merupakan partner PBB dalam menjalankan program Millenium Development Goals (MDG’s). Keduanya mengakui pencapaian CTI dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat perajin melalui program pembinaan.

Pada bulan April 2013, CTI kembali mengukir prestasi dengan terpilih untuk mempresentasikan kain Tenun Indonesia dalam dua acara penting di New York, Amerika Serikat. Presentasi tren musim gugur dan dingin 2013/2014 untuk ratusan pelaku mode Amerika Serikat, serta menjadi topik utama dalam acara pengkajian Tenun Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan Asia yang bernilai tinggi.

Belakangan, Okke berupaya menempatkan kain Tenun ikat Sumba untuk menjadi asset intangible heritage dunia kepada UNESCO. Upaya ini akhirnya terwujud. “Kain Tenun Sumba akan segera diresmikan sebagai salah satu world’s intangible heritage oleh UNESCO, dalam sidang umum UNESCO yang akan berlangsung bulan November 2013,” jelas lulusan Universitas Mustopo jurusan kedokteran gigi ini.

Kecintaan perempuan yang memiliki nama Okke Ulfadariah terhadap tenun ini diejawantahkan melalui kerja kerasnya di CTI. Dia ingin tenun tetap lestasi dan mampu menjadi the new lifestyle, seperti batik. Melalui program pembinaan di berbagai wilayah, lebih jauh Okke telah membantu memberdayakan perekonomian wilayah penghasil tenun.

“Dari delapan wilayah binaan rata-rata perekonomiannya sudah terangkat. Bahkan salah satu perajin tenun di Garut penghasilannya ada yang mencapai Rp 200 juta sebulan,” tutup Okke. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved