Profile Editor's Choice

Khoirul Anwar, dari Kediri Mengukir Karier Cemerlang di Jepang

Khoirul Anwar, dari Kediri Mengukir Karier Cemerlang di Jepang

Khoirul Anwar adalah anak desa dari Jawa Timur yang memiliki karier cemerlang di Jepang. Lulusan Teknik Elektro ITB ini melanjutkan studi ke Jepang dengan beasiswa dari Panasonic Scholarship. Kini, ia bekerja sebagai dosen dan peneliti di laboratoriom Information Theory and Signal Processing, Japan Advanced Institute of Science and Technology, di Jepang. Hasil penelitiannya banyak yang dipatenkan di luar negeri dan merupakan terobosan teknologi sehingga menjadi standar internasional. Bagaimana lika-liku Khoirul Anwar mengukir karier di Jepang? Ia menuturkannya kepada Mochamad Januar Rizki:

Khoirul Jepang

Bisa dijelaskan dahulu, bagaimana latar belakang Anda di Indonesia hingga Anda bisa bekerja di JAIST?

Saya berasal dari sebuah kampung Dusun Jabon, Desa Juwet, Kec. Kunjang, Kab Kediri, Jawa Timur. Mata pencarian utama adalah bertani dan beternak. Saya banyak membaca buku-buku di sekolah sejak di SDN Juwet 2 sampai dengan SMPN 1 Kunjang. Saya menemukan banyak sekali kontribusi ilmuwan di dunia. Yang saya masih ingat adalah ilmuwan seperti Newton, Faraday, Einstein beserta rumus-rumus temuan mereka. Saat saya bekerja di sawah membantu orang tua, saya sering merenung, “Jika saya tidak berusaha, mungkin tidak akan seperti ilmuwan-ilmuwan itu.” Tentu saja penemuan formula-formula itu perlu perjuangan besar.

Kemudian saya pindah ke kota, menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Kediri, yang kemudian mengantarkan saya bisa meraih pendidikan di Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung. Setelah lulus dari ITB, saya bekerja di Jakarta sampai akhirnya mendapatkan beasiswa ke Jepang dari Panasonic Scholarship. Cita-cita Panasonic Scholarship adalah karena kepercayaan mereka bahwa abad 21 akan dikuasai negara-negara Asia.

Karena kesempatan menempuh pendidikan jarang didapat, saya tidak menyia-nyiakannya sedikit pun. Setiap saat tidak ada waktu terbuang percuma. Saya melakukan riset dengan sangat serius dan menulis banyak publikasi, sampai-sampai saya di-stop oleh profesor karena kebanyakan publikasi dan sering ke luar negeri. Saya melakukannya haya karena pertimbangan bahwa ini kesempatan emas yang mungkin sulit didapat jika sudah pulang ke Indonesia.

Saya menyelesaikan master dan doctor di School of Information Science, Nara Institute of Science and Technology (NAIST). Setelah lulus doktor saya langsung diterima di NAIST dan di JAIST sebagai assistant profesor. Namun, saya memilih JAIST karena memberi term contract kerja yang lebih panjang.

Khoirul (tegak)

Apa yang membuat Anda masih bertahan bekerja di Jepang? Apakah bekerja di Indonesia tidak bisa mendukung potensi Anda?

He..he..he, cukup sulit dijawab. Yang pertama adalah saya merasa nyaman karena support dana di sini besar sehingga mudah untuk melakukan conference di luar negeri serta membeli peralatan riset. Yang kedua adalah karena semangat kompetisi yang cukup fair. Semua keberhasilan dievalusi dan mendapatkan apresiasi di tengah dan akhir tahun. Saya percaya Indonesia suatu saat bisa melakukan hal yang sama.

Sudah banyak penelitian yang Anda lakukan. Paling terbaru dan populer adalah 4G. Bisa Anda jelaskan, bagaimana awal mula penelitian tersebut? Butuh waktu berapa lama?

Iya, Alhamdulillah. Sebenarnya saat melakukan penelitian, saya hanya berorientasi untuk menyelesaikan problem saat itu, yaitu fluktuasi power yang menyebabkan tidak efisiennya sebuah sistem komunikasi. Saya mem-propose sebuah coding dengan menggunakan fast fourier transform (FFT) karena tiga hal. Pertama, proses perhitungan bisa dilakukan secara sangat cepat, Kedua, bisa mengurangi fluktuasi power dan membuat sangat efisien power amplification. Ketiga, menambah diversity.

Nah, saat itu kami tidak tahu kalau 4G akan menggunakan teknik seperti ini, yaitu dengan menggunakan FFT kecil dan FFT besar dalam proses uplink transmisinya. Teknik ini telah kami patenkan di Jepang dan di luar negeri, serta menjadi standar international di International Telecommunication Union (ITU), pada 2010.

Saya melakukan penelitian ini sejak tahun 2004, yaitu saat saya menempuh master program di NAIST, Japan.

Penelitian apa saja yang Anda lakukan? Apakah sebagian besar penelitian tersebut didanai sendiri atau swasta?

Saat ini saya sedang melakukan dua projek utama. Pertama, projek saya sendiri yang didanai 100% oleh pemerintah Jepang (JSPS). Proyek ini untuk mendesain teknologi komunikasi yang kuat dan reliable saat terjadi gempa, serta sangat hemat pemakaian baterai. Ini adalah projek yang menantang bagi saya, karena biasanya hanya level profesor yang bisa lolos mendapatkannya. Waktu itu bos saya menantang, “if you can get this project, your level is the same as full professor”.

Alhamdulillah, posisi saya yang masih assistant professor namun bisa mendapatkan projek ini. Saya adalah satu-satunya assistant professor yang mendapatkan projek itu. Karena projek itu, saya alhamdillah bisa mendatangkan beberapa orang Indonesia untuk saya bisa pekerjakan (mendapat gaji) serta menjadi mahasiswa di JAIST.

Kedua, projek yang dibiayai oleh EU FP7 dengan judul RESCUE, 2014-2016, yang merupakan ektensi dari riset saya yang dibiayai pemerintah Jepang. Riset dengan EU FP7 ini hasil kerja sama dengan profesor dari University of Oulu, Finland, Technical University of Dresden, Germany, AGH University, Poland, University of Surrey, UK, Thales Communications, France dan Ubitech, UK. Dulu saya yang membuat draf proposalnya, sekitar 100 halaman. Saya sering tidak tidur sampai jam 4 pagi. Alhamdulillah, senang sekali saat proposal itu diterima dengan score untuk scientific value 5 dari 5 (perfect).

Sebagai warga negara Indonesia, Anda memiliki potensi di bidang teknologi. Bagaimana peran yang Anda miliki untuk kemajuan bangsa? Apakah sudah ada tawaran dari pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan potensi yang Anda miliki?

Saya yakin untuk berperan bagi bangsa kita tidak harus berada di Indonesia. Justru saat berada di luar negeri seperti ini, saya bisa memberikan banyak hal kepada Indonesia, lewat seminar, lewat kunjungan dan juga lewat kerja sama dengan universitas di Indonesia. Tahun 2013 kemarin Alhamdulillah saya dan tim JAIST bisa melakukan kerja sama dengan Indonesia. Beberapa mahasiswa Indonesia telah dikirimkan ke sini, untuk intership dan sharing ilmu.

Tahun 2011 saya sempat ingin pulang ke Indonesia dan menjadi dosen di Indonesia. Namun, salah seorang kolega yang juga menjadi dosen menyampaikan bahwa jika saya pulang, nanti kehilangan kontak di luar negeri. Akhirnya saya urungkan pulang karena mempertimbangkan bahwa kontribusi saya mungkin menjadi lebih besar jika saya tetap di luar negeri.

Sampai saat ini belum ada tawaran satu pun dari pemerintah Indonesia.

Hasil penelitian Anda diakui sebagai terobosan-terobosan baru dalam dunia ilmu pengetahuan seperti 4G. Namun, hasil penelitian Anda dipatenkan oleh luar negeri. Bagaimana pendapat Anda?

Saya kira tidak masalah, karena saya tetap menerima royaltinya sampai hari ini. Proses pendaftaran paten dibantu 100 persen oleh pemerintah Jepang.

Apakah Anda ingin kembali ke Indonesia? Apa yang ingin Anda lakukan di Indonesia?

Iya suatu saat. Saya ingin pulang dengan membawa banyak ilmu lalu mendirikan pusat penelitian telekomunikasi yang diakui dunia. Kemudian banyak teori-teori baru yang akan muncul dari pusat riset tersebut. Para penelitinya men-support seluruh universitas di Indonesia.

Apakah Anda kerap ke Indonesia? Untuk keperluan apa?

Iya, saya sering ke Indonesia untuk memberikan lecture dan seminar, juga untuk memperkuat kerja sama dengan universitas di Indonesia. Untuk keperluan keluarga saya biasanya pulang dua tahun sekali, tetapi untuk keperluan riset biasanya 2-3 kali setahun. Bahkan pernah sampai bos saya menyampaikan bahwa kita tahun ini kebanyakan melakukan perjalanan ke Indonesia, tahun depan harus balans.

Apa permasalahan yang dihadapi Anda untuk memberikan kontribusinya terhadap Indonesia? Apakah masalah dwi negara masih menjadi penyebab kurang maksimalnya peran Diaspora terhadap Indonesia?

Sebenarnya untuk kontribusi kepada Indonesia saya tidak ada masalah, karena saya masih memegang paspor Indonesia. Hanya saja karena paspor kita lemah, hampir di seluruh negara dunia, sehingga ini menyulitkan saya setiap melakukan perjalanan ke luar negeri. Banyak conference di LN yang sering saya tidak bisa datangi karena masalah visa yang terlambat. Bahkan kadang-kadang staff office mengatakan saya terlalu ribet dan menghabiskan biaya yang tidak perlu, maksudnya biaya untuk membuat visa.

Jika kita punya dwi kewarganeraan, ini memudahkan, karena masalah visa mungkin tidak perlu ada. Kemudian untuk maksimalnya peran terhadap Indonesia, saya kira iya, dwi wargnegara akan mampu meningkatkan peran diaspora terhadap Indonesia. Bahkan juga untuk memaksimalkan peran diaspora di luar negeri untuk diri mereka sendiri.

Apakah Anda rindu untuk kembali ke Indonesia? Apa yang paling Anda rindukan?

Iya saya rindu kembali ke Indonesia. Saya rindu dengan makanan Indonesia. Tidak ada makanan seenak makanan di Indonesia. Bahkan kadang-kadang saya merindukan suasana hari raya di Indonesia. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved