Profile Entrepreneur

Kisah Kakak-Beradik Pengekspor Produk Teh Hijau

Kisah Kakak-Beradik Pengekspor Produk Teh Hijau

Kakak-beradik, Ifah Syarifah (49 tahun) dan Evi Amalia (46 tahun), membesut Arafa Tea yang berada di bawah naungan PT Arafa Hangarita Asia. Berawal dari hobi menggelar aktivitas sosial di perkebunan teh, kini mereka mengantongi pendapatan sekitar Rp 5 miliar dalam setahun. “Kami adalah penjual teh premium di dalam negeri dan luar negeri,” ujar Ifah. Mereka memproduksi aneka ragam produk olahan berbahan dasar teh hijau yang unik dan inovatif. Sebut saja, cokelat teh hijau, opak teh hijau, pelembab tubuh teh hijau, sabun teh hijau, dan masker wajah teh hijau. “Kami juga membuat pewarna lukisan dari teh,” lanjutnya. Produk lainnya adalah teh putih, teh hijau, teh hitam dan genmaicha. Harga produk Arafa Tea rata-rata Rp 10 ribu hingga Rp 125 ribu.

Ifa Sarifah, Salah Satu Pendiri Arafa Tea

Ifa Sarifah, Salah Satu Pendiri Arafa Tea

Sebelum terjun di bisnis teh, Ifah berdomisli di Jakarta dan aktif dalam kegiatan sosial, yakni membangun sekolah bagi anak-anak jalanan. Ia memang aktif menggelar kegiatan sosial sejak masih muda. Sebelumnya, sejak 1995 ia sering mengadakan kegiatan sosial di perkebunan teh di Bandung, Jawa Barat. Ia bersama teman-teman kuliahnya membantu petani teh, misalnya membangun jalan dan sanitasi. Di sela-sela kegiatannya tersebut, ia kerap berinteraksi dengan petani sekaligus menyedot ilmu serta teknik memetik daun teh atau memilah-milah kualitas teh berdasarkan indera penciuman. “Guru saya itu petani dan pemetik teh, mereka memahami seluk-beluk pemrosesan teh,” ungkapnya..

Tahun 2004, Ifah hijrah ke Bandung. “Ketika pindah ke Bandung, saya menerapkan ilmu psikologi untuk mendampingi para petani teh,” ujar lulusan S-1 Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung ini. Sekadar kilas balik, sekitar sembilan tahun silam, ia melihat peluang bisnis dari produk-produk teh olahan yang unik. Sebelum memutuskan bisnis teh itu, Ifah dan Evi melakukan riset pengembangan produk. Bahan bakunya dipasok dari petani teh di Ciwidey, Sukabumi, Cianjur, Bandung Barat dan Garut.

Kemudian, bahan baku itu diolah di Rumah Produksi Arafa Tea di kawasan Taman Budaya, Bandung. Produksi teh hijau ditangani enam karyawan. Mereka adalah anak-anak para petani teh. Bisa dikatakan, gairah Ifah dan Evi untuk berbagi rasa ke masyarakat tidak kunjung padam. Bahkan, mereka mendonasikan sekitar 25% dari total omset Arafa Tea untuk komunitas teh, terutama keluarga petani.

Kembali ke produksi, teh hijau diolah lebih lanjut menjadi bubuk teh (matcha powder). Produk turunan dari bubuk tersebut adalah cokelat teh hijau, rice cracker (opak) teh hijau, dan matcha drink (minuman instan). Matcha drink ini terbuat dari campuran bubuk teh hijau, krimer dan gula. Ifah menuturkan, salah satu inovasi produknya adalah cokelat teh hijau yang menggunakan level tertentu untuk mengukur tingkat kepekatan teh hijau. Inovasi berikutnya adalah menaburkan teh Jepang bernama genmaicha di atas opak. “Boleh dikatakan, Arafa Tea adalah produsen teh yang inovatif,” Ifah mengklaim.

Menurutnya, meminum teh adalah hal yang umum dilakukan konsumen. “Tetapi, teh yang bisa dimakan itu baru luar biasa. Ide kami orisinal dan tidak meniru produk orang lain. Kami melakukan riset dengan pendekatan psikologi dan pendekatan medis,” ia menegaskan. Teh-teh itu bebas pestisida lantaran pemupukannya menggunakan pupuk organik. Arafa Tea sudah menggenggam sertifikat dari HACCP (Sertifikasi Internasional Standar Keamanan Pangan) dan Rainforest Alliance.

Ifah menyebutkan, tehnya dikemas seperti teh premium yang menonjolkan citarasa tinggi dan higienis. Berbeda dari produsen teh lainnya, perusahaannya juga memproduksi sabun teh dan pewarna batik dari teh. Arafa Tea menggandeng pengrajin batik di Solo, Pekalongan dan Yogyakarta. Sementara, produksi sabun teh bekerja sama dengan perusahaan farmasi. Selain teh hijau, perusahaan ini memproduksi teh putih (white tea). Kapasitas produksi teh putih sebanyak 3 ton/bulan. Adapun rata-rata kapasitas produksi produk olahan, misalnya opak, cokelat dan sabun teh, sebanyak 10 ribu potong/ bulan.

Jahja B. Soenarjo, pengamat bisnis dari Direxion Strategy Consulting, mengatakan, mengonsumsi teh itu diibaratkan seni. “Bila memosisikan teh sebagai seni, pasti ada nilai tambah yang berhasil dijual Arafa Tea. Mereka pantas diacungi jempol, karena cukup berhasil dan semakin dikenal dari sekian banyak pemain UMKM yang mencoba peruntungan di bisnis teh,” Jahja menjelaskan. Salah satu kunci sukses Arafa Tea, menurut dia, konsistensinya mengembangkan produk berkualitas yang ditujukan untuk segmen pasar yang spesifik, yakni kelas menengah-atas.

Guna menggenjot laju bisnis, Arafa Tea memiliki jaringan penjualan (reseller) di berbagai daerah, antara lain Batam, Padang, Medan, Balikpapan, Lombok, Manado dan Makassar. Resseller ini mengambil produk ke Arafa Tea dan menjualnya kembali di kafe. Penjualan tertinggi di Kalimantan dan terendah di Jawa Barat. “Saat ini kan reseller kami ada 11 titik. Dari satu titik reseller saja, omset kami sekitar Rp 40 juta setiap bulan,” kata Ifah. Jika ditotal, pendapatan Arafa Tea dari 11 reseller itu mencapai Rp 5 miliar/tahun. Ke depan, ia ingin mengedukasi konsumen mengenai tradisi minum teh sebagai gaya hidup serta mengangkat tradisi meminum teh ala Sunda.

Teh olahan bikinan Arafa Tea juga menyabet minat para penikmat teh di luar negeri. Arafa Tea sudah mengekspor produknya ke Singapura, Malaysia, Qatar, Srilanka dan Korea Selatan. Rata-rata volume ekspor sekitar satu kontainer untuk setiap negara tujuan, yang dikapalkan per tiga bulan. “Semua produk kami sudah diekspor,” ungkap Ifah. Rencananya ke depan, tetap mengikuti pameran di luar negeri guna menjaring pembeli global, misalnya di AS, Jepang, Filipina, Turki dan Maroko.

Jahja menyarankan Arafa Tea tidak mengendurkan inovasinya, lebih fokus menggarap produk tertentu untuk memperkokoh posisi, memperbaiki kemasan produk, membangun merek dan basis pelanggan melalui e-commerce atau media sosial, serta aktif mengikuti pameran. “Walau belum bisa dikatakan teh premium, mereka bisa melakukan penetrasi pasar ke konsumen premium di kafe dan restoran kelas atas, serta memberikan sampling,” ujar Jahja. (*)

Reportase: Sri Niken Handayani

Riset: Yulia Pangastuti


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved