Profile

Sarah W.Kusuma, Pilot Perempuan Termuda di Indonesia

Sarah W.Kusuma, Pilot Perempuan Termuda di Indonesia

Sarah Widyanti Kusuma, Pilot Garuda Indonesia

Sarah Widyanti Kusuma, Pilot Garuda Indonesia

Menjadi seorang pilot termuda berusia 27 tahun memang menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Sarah Widyanti Kusuma. Pilot salah satu maskapai terbesar di Indonesia ini memiliki kisah unik dari profesinya ini. Berikut wawancara SWA Online dengan pilot yang hobi naik gunung dan diving tersebut.

Bagaimana sampai akhirnya Sarah memilih jalur menjadi seorang pilot?

Menjadi pilot adalah keinginan saya sendiri sejak SMA kelas 3. Dulu saya ingin jadi astronot. Tetapi saya berpikir realistis bahwa sulit untuk menjadi astronot. Sempat juga terpikir menjadi dokter karena saya tidak paham bagaimana agar saya menjadi pilot.

Setelah lulus SMA, saya mencoba daftar sekolah pilot tetapi gagal. Merasa penasaran, saya kembali mendaftar, dan Alhamdulillah diterima dan mendapat beasiswa. Oh iya sebelum diterima sekolah pilot saya sempat bekerja sebagai SPG juga. Sebenarnya dunia penerbangan bukan hal asing bagi saya. Karena ayah adalah teknisi mesin pesawat Merpati saat saya kecil. Saya sudah tahu pekerjaan beliau.

Apa tanggapan orang-orang di sekitar Sarah tentang profesi ini?

Ibu saya sangat tidak setuju anak perempuannya menjadi pilot. Saat saya daftar sekolah pilot pun tidak bercerita kepada ibu. ketika surat kelulusan saya diterima di sekolah itu baru saya jujur. Pada akhirnya kedua orang tua saya memberi dukungan penuh. Begitupun dengan suami. Dia sangat mendukung karena kami berada di dunia yang sama. Tetapi ada yang underestimate, tapi saya berhasil menunjukkan bahwa saya memang bisa dan serius berada di pekerjaan ini. Pandangan itu datang dari sesama pilo,t bahkan pramugari.

Saat Anda menjalani pendidikan pilot, apa tantangan terbesar yang harus dihadapi?

Waktu itu yang seangkatan dengan saya ada sekitar 34 laki-laki dan saya perempuan satu-satunya. Di pekerjaan ini jumlah perbandingannya 1 perempuan banding 100 laki-laki. Selama 3-6 bulan merupakan masa adaptasi terberat.

Awalnya saya merasa kesulitan menyesuaikan diri karena perempuan lebih sensitif, tapi lama-lama karakter teman-teman laki-laki jadi melekat di saya dan berubah jadi lebih tomboi. Padahal pada dasarnya saya suka dandan.

Selama di pendidikan, teman-teman sekolah saya yang mayoritas laki-laki itu memberi dukungan yang besar, ketika saya merasa down mereka yang mengatakan bahwa saya harus kuat. Saat tiga bulan awal saya tidak boleh berhubungan dengan orang tua dan keluar asrama.

Beratnya itu karena sekolah pilot kan semi militer. Saya harus bangun pagi-pagi untuk olahraga. Di dunia penerbangan kita belajar berdasarkan ilmu pasti, jadi tidak banyak negoisasi, sedangkan watak perempuan adalah banyak pertimbangan. Itu saya terus latih. Mental diuji dan dituntut cepat mengambil keputusan untuk mengontrol pesawat.

Saya merasa beruntung karena memang saat SMA dulu mengikuti ekstrakurikuler basket, Paskibra, dan Pramuka. Jadi latihan berat di pendidikantidak menjadi masalah.

Bisa diceritakan bagaimana saat pertama kali latihan menerbangkan pesawat?

Saat itu saya sudah latihan membawa pesawat tetapi masih di darat dan pesawat itu tanpa ac. Lalu saat pertama kali berlatih menerbangkan, saya bertugas untuk mengontrol pesawat tapi bukan saya membawa pesawat itu. Ketika di ketinggian 3000 kaki, tiba-tiba mesin pesawat dimatikan dan ditukik ke sebelah kiri, karena saat itu saya berada di sebelah kiri. Saya diuji untuk melihat ke luar, maksudnya adalah untuk melihat ekspresi saya. Kalau saat itu saya tidak bisa mengontrol, maka saya gagal.

Bagaimana pengalaman Anda setelah hampir 9 tahun menjadi pilot?

Setelah lulus sekolah pilot saya langsung diterima sebagai pilot di Garuda Indonesia. Pertama kali di Garuda Indonesia tahun 2006 saya melakukan solo flight. Baru pada tahun 2010 saya menerbangkan pesawat komersial jenis Boeing 373 Classic. saat itu masih penerbagan domestic.

Saat ini saya sudah mengantongi 4.000 jam terbang dengan penerbangan terjauh saya ke Belanda. Biasanya 3-4 bulan sekali. Saat baru pertama kali bawa komersial, saya khawatir karena membawa banyak penumpang. Tapi karena pilot itu naik duluan ke pesawat, saya jadi tidak tahu berapa jumlah penumpang.

Ketika turun dari pesawat saya terkejut karena ternyata saya baru saja membawa banyak nyawa di atas udara. Gangguan terbesar saat membawa pesawat adalah cuaca buruk. Sebenarnya saat cuaca buruk, tidak diizinkan terbang.Namun jika sudah terlanjur di atas mau bagaimana lagi. Seperti saat ingin mendarat di Yogyakarta. Saat itu cuaca buruk dan badai, ditambah landasan di bandara Yogyakarta kecil. Waktu itu, tahun 2011 dan saya bawa pesawat jenis Next Gen. Saat ini saya merasa semakin tenang saat menerbangkan pesawat. Karena memang sudah terbiasa.

Apa yang menjadi target Anda selanjutnya?

Impian terbesar adalah menerbangkan pesawat ke kutub utara, karena medan di sana berbeda dan saya menyukai tantangan. Selain itu saya ingin sekolah lagi dan menjadi kapten serta mengajar. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved