Profile Editor's Choice

Leonard Theosabrata Bercita-cita Jadi Rockstar Malah Jadi Desainer Andal

Leonard Theosabrata Bercita-cita Jadi Rockstar Malah Jadi Desainer Andal

Melanjutkan bisnis keluarga bukanlah ambisi seorang Leonard Theosabrata. Sejak kecil, pria berkacamata ini malah bermimpi untuk bisa menjadi seorang rockstar terkenal. Namun takdir berbicara lain, pria yang genap berusia 37 tahun ini malah tercebur di bidang yang sama seperti ayahnya.

Awalnya, Leo –panggilan akrabnya — mempelajari desain grafis di Art Institute of Houston di Texas, tapi kemudian ia pindah haluan dan melanjutkan studi desain produk di Art Center College of Design di Pasadena, California. Tak dinyana, pilihannya kali ini tepat sehingga ia menikmati pengalaman barunya. Bahkan, keinginan untuk menjadi seorang rockstar tenggelam seiring keasyikannya menikmati profesi baru sebagai desainer produk.

Titik balik itu kemudian yang membawa bisnis furnitur keluarganya mendunia. Ia berkolaborasi dengan Yos Tehosabrata, si empunya bisnis, dan membawa kelahiran kembali pada bisnis furnitur mereka. Salah satunya Accupunto. Accupunto menyeruak sebagai merek Indonesia yang bisa berbicara di pasar luar negeri seperti Eropa dan Amerika. Sebagai sebuah produk yang berbasis penciptaan, desain yang dibuat Leo berhasil meraih penghargaan internasional yang kemudian menjadi credential yang bermakna bagi Accupunto.

Selain menciptakan produk, bapak tiga anak ini juga membenahi internal manajemen perusahaan keluarga yang telah lebih berusia 20 tahun. Antara lain : retraining karyawan hingga merombak sistem dagang dan distribusi. Suami dari Irene Yuliana Soehardjito ini membawa pengaruh besar dalam membuka cakrawala baru di bisnis keluarga. “Ibaratnya, orang-orang di kantor ini sebelumnya sangat konservatif, maka saya buka wawasan mereka tentang perkembangan bisnis ini sekarang. Tranformasi perlu, tapi jangan terlalu ekstrem,” katanya.

Bagaimana lika-liku Leo terjun ke bisnis keluarga? Apa saja terobosan dan targetnya ke depan? Leonard Theosabrata, pendiri PT Accupunto Internasional, memaparkannya kepada Ario Fajar dari SWA Online:

Leonard Theosabrata, Pendiri PT Accupunto Internasional

Apakah sejak kecil Anda sudah tahu bahwa Bapak Anda adalah seorang pengusaha? Bagaimana awalnya Anda dikenalkan bisnis oleh Bapak?

Tentu. Momen yang paling teringat adalah ketika masa-masa Pekan Raya Jakarta Kemayoran, di mana saya selaku diajak oleh Pak Yos datang ke sana. Saya ingat betul, produk-produk yang dijual bapak saya laku keras seperti kacang goreng : misalnya meja belajar, rak kaset, storage, dll. Dari situlah saya mengenal dan menyadari bahwa bapak saya adalah seorang pengusaha

Berarti Anda sudah dibiasakan ikut melihat aktivitas orang tua?

Secara gak langsung sih bisa dikatakan seperti itu. Dulu, kami tinggal di Jembatan Lima di mana lokasi pabrik bapak saya tepat berada di belakang rumah. Otomatis, segala aktivitas yang dikerjakan oleh Bapak pasti saya tahu dan melihat. Saya pun berinteraksi di situ.

Saat usia berapa Anda mulai dikenalkan?

Ya sekitar usia 5 tahunan, ketika duduk di bangku sekolah dasar.

Apakah semua saudara Anda juga diperlakukan sama?

Saya tidak tahu persis kalau tentang mereka. Orang tua saya tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk ikut, termasuk tidak pernah men-drive anaknya agar seperti dia.

Bukan tidak mungkin ketertarikan Anda terhadap bidang ini karena pengaruh Bapak Anda, begitu?

Tidak juga ya. Dulu sejak kecil saya hobi menggambar. Saya acapkali memenangkan perlombaan menggambar. Nah apakah itu diartikan demikian? Pastinya, orang tua saya juga melihat potensi saya saat itu. Saya sangat bagus di bidang seni.

Ada satu momen di mana Bapak saya tahu bahwa saya sangat berbakat menggambar. Saat itu, ada sebuah even di mana saya menggambar exploaded view berupa kereta yang nyaris sama seperti aslinya. Mungkin dari situ bisa dikatakan sebagai landasan saya menjadi desainer produk dan saya memang berbakat di bidang itu. Saat itu usia saya masih 8 tahun.

Apakah yang tertarik di bidang ini hanya Anda saja?

Iya saya saja, saudara lainnya memiliki bakat yang berbeda.

Apakah ada proses kaderisasi ketika Anda beranjak dewasa?

Saya menyebutnya bukan kaderisasi, tapi hanya nasehat dan arahan. Jadi, saat SMP-SMA saya santai-santai saja, bahkan orang tua tidak memaksa saya untuk begini-begitu. Sejak remaja saya justru mahir bermain musik.

Apa cita-cita Anda sebenarnya ?

Rockstar. Saya tidak pernah bermimpi lain selain bercita-cita sebagai rockstar. Waktu SMP-SMA saya pinginnya hanya nge-band dan bermusik saja. Kalau ditanya, apakah saya peduli dengan pendidikan? Yah okelah…..

Saya tidak pintar-pintar banget, tapi juga enggak bego-bego amat. Kerjaannya dulu suka nyontek, bayar guru, agak bandel. Untungnya saya selalu naik kelas dan tidak pernah mendapat rapor merah.

Kendali mulai terlihat saat Anda berada dibangku kuliah?

Mmmh…bukan kendali sih. Jadi, bapak lebih kepada memberi arahan serta masukan soal apa yang ingin saya ambil. Saya ambil grafik desainer awalnya juga tidak tahu kenapa. Mungkin karena kakak perempuan saya juga sedang mengambil kuliah di Art Institute of di Houston, Texas, maka saya ikut dia kuliah di sana. Kata bapak, saya disuruh menjaga kakak saya.

Acupunto_Leonard2

Lalu setelah lulus?

Saya lulus pada tahun 1997. Saya hanya bergelar diploma saat itu yakni sekitar 2 tahun. Setelah lulus, saya mencoba mencari pekerjaan dan akhirnya dapat di sebuah perusahaan packaging. Namun sayang, saya tidak bertahan lama di perusahaan itu karena mengalami pengalaman yang sangat buruk. Saya merasa apa yang saya kerjakan itu tidak menarik, bukan minat saya yang sesungguhnya. Akibatnya, saya lebih banyak bermain game ketimbang bekerja, bahkan berharap dipecat oleh boss. Nah, saat itu saya berpikir kembali tentang minat saya sebenarnya apa? Saya berpikir kembali tentang skill serta masa depan saya.

Mungkin saat itu Anda belum menemukan “siapa” Anda?

Enggak juga. Mungkin di umur segitu lagi banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan secara matang dan diputuskan secara tepat. Saya juga mempertanyakaan ke diri saya bahwa kayanya I am not good in design, bahkan saya I don’t care at all sama pekerjaan sebelumnya. Dari situ saya mencari step selanjutnya apa.

Apa selanjutnya?

Nah, sejak saat itu baru mulai ada masukan dari bapak saya. Dia bilang sekaligus menyarankan agar saya mencoba mengambil desain produk. Saya pun tertarik akan hal itu. Lalu, saya lanjutan pendidikan saya di Art Center College of Design, Pasadena, California.

Untuk masuk ke produk desain, saya harus mengulang portofolio karena portofolio sebelumnya adalah produk desain. Jadi saya sekolah malam untuk mempersiapkan portofolio supaya bisa di-review. Setelah 3,5 tahun, saya lulus dengan predikat honours.

Dan saat itu Anda mulai menyadari bahwa passion Anda adalah produk desain?

Enggak juga sih, he..he..he Pasalnya saya banyak maunya. Buktinya, saya merelakan ambisi saya untuk menjadi rockstar hanya untuk menekuni produk desain. Padahal ketika tinggal di Amerika, saya masih aktif bermusik, berteman dengan orang-orang Amerika dan pendatang lainnya. Tapi akhirnya saya menyadari bahwa saya tidak berbakat di musik.

Setelah lulus dari produk desain?

Saya ingin langsung terjun ke perusahaan. Di sekolah itu, kami semua dipersiapkan untuk bekerja di tempat atau studio terkenal di Amerika termasuk studio yang mendesain Apple. Waktu itu, saya hampir saja diterima kerja di perusahaan yang mendesain Apple, cuman kembali lagi saat itu di benak saya, apakah saya ingin tinggal di sana atau enggak.

Saya menganggur selama satu tahun sejak saat itu. Kompetisi di Amerika begitu ketat, persaingannya begitu kejam. Saya adalah orang yang paling malas minta-minta pekerjaan ke sebuah perusahaan. Saya tidak mau seperti itu.

Akhirnya?

Akhirnya saya balik ke Indonesia. Saya berpikir pragmatis saja yakni ingin menjadi the big fish di Indonesia.

Pulangnya Anda apakah karena panggilan orang tua?

Tidak sama sekali. Saya pulang atas keinginan sendiri, lagi pula saya pulang karena kebetulan kakak perempuan saya menyelenggarakan pernikahan. Saya pun balik ke Indonesia tahun 2002 dan sejak saat itu tidak balik lagi ke Amerika, bahkan mobil dan rumah di sana belum dijual-jual.

Kebanyakan next gen di Indonesia mencari pengalaman di luar perusahaan keluarga terlebih dahulu. Apakah itu tidak terbesit dipikiran Anda?

Well, sebenarnya saya adalah tipe orang yang tidak bisa bekerja dengan orang lain. Dalam artian, saya pekerja yang buruk.

Apakah Anda langsung terjun di perusahaan keluarga?

Iya. Saya langsung kerja dan melahirkan Accupunto.

Bagaimana ceritanya?

Bisnis orang tua adalah memproduksi furnitur. Dasarnya adalah wood working, sedangkan Accuponto adalah metal dan plastik. Jadi, untuk mengerjakan produk ini diperlukan skill baru. Parahnya saat itu pekerja di sini tidak memiliki basic skill tentang metal working. Akhirnya, kami semua belajar ngelas, bending, dll. Proses pelatihan itu sekitar 6 bulan hingga 1 tahun. Bisnis Accupunto sangat bertolak belakang dengan bisnis yang sebelumnya sudah dijalankan oleh bapak saya.

Bagaimana proses menyampaikan ide untuk melahirkan Accupunto ke Bapak?

Tidak susah, pasalnya tujuan kami bersama adalah memajukan perusahaan keluarga ini. Jadi, segala bentuk inovasi dan kreasi sangat didukung oleh bapak saya. Bapak saya pun menginginkan Accupunto lahir, bahkan dia sebagai pemimpin projeknya.

Saat itu kondisi perusahaan seperti apa?

Cukup oke. Tentu di tahun 1998 dan 2001 agak sedikit suram karena krisis ekonomi. Dulu man power di perusahaan ini begitu banyak. Bisnis yang dijalankan dominan adalah manufacturing for others yakni EOM. Ibaratnya seperti tukang jahit yang mengerjakan pesanan orang, tanpa menjual merek. Memang sebelumnya ada merek, tapi komposisi penjualan masih besar untuk jasa “jahit” tadi ketimbang menjual merek sendiri. Dari situ, kami me-review kembali bisnis yang selama ini dijalankan. Apakah cukup kompetitif atau mungkin bisa dilakukan strategi lain. Dari situlah, Accupunto lahir sebagai salah satu jawabannya.

Kenapa perlu melahirkan Accupunto?

Accupunto lahir tahun 2003. Accuponto diharapkan menjadi trademark yang konsisten, bisa menjadi klasik desain yang abadi.

Target pasar Accupunto?

Kalau dulu kami lebih menyasar ke luar negeri, sekarang porsinya hampir sama untuk pasar lokal.

Kapasitas produksi?

Waduh, jangan tanya soal angka ke saya karena saya tidak mengurusi hal itu.

Ketika Anda masuk ke perusahaan, apakah Anda juga merombak organisasi di dalamnya?

Kami kekurangan orang yang mengerti metal working. Untuk itu, saya mengambil karyawan dari dalam untuk di-retraining ke metal working. Itu juga yang menjadi salah satu tantangan terbesar. Mungkin 50% dari mereka gagal dalam retraining ini dan memilih balik ke tempat semula. Akhirnya, kami merekrut orang dari luar sebagai konsultan. Sebelumnya, kami tidak pernah terbersit untuk manufacturing sendiri. Kami dulu lebih memilih mengerjakan produk ini di tempat lain atau pakai jasa perusahaan lain, namun karena kalau pakai jasa perusahaan lain prosesnya agak lama, melelahkan dan kurang puas, maka akhirnya kami buat manufacturing sendiri.

Apakah Anda juga merevitalisasi sistem distrubsi dan saluran lainnya di perusahaan?

Benar. Cerita berawal ketika saya pergi ke Amerika Serikat untuk satu projek. Pada saat itu saya melihat bahwa krisis yang terjadi Amerika menyimpan peluang buat bisnis kami.

Dari situ saya belajar dan menarik sebuah ide, kenapa kami yang harus menunggu bola selama ini? Kenapa tidak menjemput bola dengan membuat sistem distribusi di sana untuk produk-produk yang kami ciptakan dibandingkan hanya menjualnya hanya berbasis free on board (FOB). Harga produk wholesale akan jauh lebih tinggi ketimbang hanya sampai FOB. Dengan jualan produk sendiri dan menjadi wholesaler akan mendapatkan margin yang cukup tinggi.

Apakah ide tersebut sempat ada perdebatan?

Pasti ada. Tapi biasanya sebelum saya melontarkan sebuah ide, saya kerjakan ide itu setengah jadi terlebih dahulu, baru saya presentasikan ke bapak saya atau perusahaan. Kalau saya langsung utarakan ide itu tanpa ada gambaran, mereka pasti tidak akan setuju karena masih abstrak. Saya berjuang untuk meyakinkan mereka.

Anda tidak mendapatkan mentor? Lantas bagaimana Anda mendapatkan ilmu dan pengalaman?

Tidak ada mentor buat saya. Semua berjalan secara natural dan otodidak. Saya belajar banyak justru dari luar. Jadi ketika itu, tahun 2005, saya memutuskan untuk menjadi konsultan desain di Indonesia. Saat itu Accupunto juga sudah jalan. Jadi saya menjalankan dua aktivitas sekaligus. Dari situ saya mendapat banyak pengalaman, pembelajaran, jaringan, hingga menjadi sosok yang dikenal. Kalau saya waktu itu memilih tetap bekerja di perusahaan keluarga, mungkin ceritanya akan berbeda dan saya pasti tidak akan berkembang.

Bagaimana tanggapan Bapak Anda atas ekspansi atau bisnis yang Anda kerjakan diluar bisnis keluarga?

Saya sendiri tidak terlalu memperdulikan hal itu. Its my life dan orang tua juga tidak pernah marah atau bagaimana.

Apa yang membuat Anda begitu gesit melahap peluang di luar bisnis keluarga?

Jadi ketika pulang dari Amerika, saya berjanji ke diri saya untuk tidak meminta-minta atau mengemis uang lagi ke orang tua. Saya ingin membuktikan hal itu ke orang tua bahwa saya bisa menjadi anak yang mandiri. Saya berterima kasih karena telah menyekolahkan dengan biaya yang cukup spektakuler. Maka dari itu, selepas pulang ke Indonesia, saya ingin mencari uang sendiri apapun cara dan bentuknya. Sebagai contoh: ketika saya masih menjadi konsultan, saya nekad membeli rumah di daerah Permata Hijau. Padahal waktu itu, anak muda seusia saya, rumah bukanlah prioritas terpenting, tapi saya sudah memikirkan itu jauh-jauh hari. Saya pun membayar rumah itu dari hasil keringat saya sampai orang tua bertanya dari mana uang itu berasal.

Selain perombakan sistem distribusi, apa lagi yang anda ciptakan untuk perusahaan?

Sebentar lagi saya dan beberapa teman saya akan meluncurkan “Indoestri” yang lokasi nya tepat di pabrik ini – Jalan lingkar Luar Barat No 36, Cengkareng, Jakarta-. Indoestri adalah sebuah kreatif hub atau maker space, tempat orang-orang kreatif bertemu. Indoestri akan menempati lahan seluas 2.000 meter di mana nantinya akan ada elemen F&B, ritel dan lainnya. Singkatnya, tempat ini akan menjadi sebuah sekolah atau kursus bagi mereka yang ingin belajar atau mengetahui tentang banyak hal, misalnya wood working, metal working, mendesain produk dari kulit, dll. Nantinya akan banyak pemilik merek yang akan datang dan menempati lahan ini karena kami juga menyewakan ruang untuk meeting, display produk dan kantor. Yang mengelola Indoestri adalah saya dan rekan-rekan saya dan tidak masuk ke bisnis keluarga.

Lantas apa benefit yang di dapat untuk bisnis keluarga?

Victor berperan sebagai penyedia lahan atau penyewa ruang. Dari konsep itu, nantinya akan mendatangkan banyak benefit, misalnya uang, traffic kunjungan, dan lain-lain. Pabrik ini usianya sudah lebih dari 20 tahun. Saya melihat ada opportunity yang tersimpan. Dari pada aset ini didiamkan, mendingan saya lakukan sebuah terobosan yakni mengambil beberapa lahan untuk dijadikan ruang sewa.

Tanggapan Bapak Anda tentang hal ini?

Awalnya banyak perdebatan, bukan hanya dari Bapak tapi beberapa orang di sini. Tapi sekali lagi, saya tahu betul bagaimana meyakinkan mereka. Lagi pula, saya melakukan hal ini karena beberapa alasan, salah satunya adalah memproduktifkan kembali aset yang kami punya. Selama ini asset — lahan pabrik — di sini tidak digunakan dengan maksimal padahal lokasinya sangat strategis. Nanti, tiap bulannya perusahaan akan menerima uang sewa dari para tenant. Itu kan profit yang cukup lumayan bukan!?

Bagaimana Anda bekerja dengan para senior yang sebelumnya sudah lama bekerja di sini?

Untungnya, saya tidak bersentuhan dengan mereka. Saya memiliki perusahaan sendiri di sini dan tidak menyentuh mereka.

Tantangan selama ini bekerja di bisnis keluarga?

Tantangan yakni soal legacy dan pola pikir. Contohnya, mereka sangat shock ketika saya berkeinginan untuk mendirikan Indoestri di lokasi pabrik. Jadi, saya di perusahaan ini berusaha untuk membuka mata mereka bahwa bisnis berkembang lebih dinamis dan kita harus menggarap peluang sesegera mungkin.

Berarti orang-orang Victor itu cukup konservatif?

Bisa dibilang begitu. Perusahaan ini harus ditransformasi, tapi jangan terlalu ekstrem. Bagaimana caranya? Ya, caranya mereka harus melihat sendiri dulu apa benefit-nya.

Ada berapa jumlah SDM di Victor?

Mungkin sekarang tinggal 200 orang saja, dulu sekitar ada 2.000 orang. Hal itu terjadi karena kita melakukan rasionalisasi terkaitnya naiknya UMR.

Apakah Accupunto sebagai salah satu penyumbang terbesar bagi perusahaan ?

Enggak. Accupunto hanya salah satu divisi saja, yang terbesar tetap ekspor furnitur tadi. Kami menjual ke banyak klien: hotel, resto, dan proyek lainnya. Produk yang kami jual berupa produk tanpa merek. Saat ini yang ada merek hanya dua : Accupunto dan Victor.

Apa mimpi atau rencana Anda dan keluarga ke depannya?

Kami sedang me-review bisnis keluarga ini ke depannya. Kalau saya inginnya lebih ke kreatif bisnis karena keluarga saya sebenarnya juga aktif di bidang itu. Kami ingin bisnis yang lebih long term, bukan short time. Memang banyak tawaran bisnis yang datang ke saya, tapi saya sadar itu hanya short time. Untuk Accupunto saya berharap bisa lebih besar lagi. Saya juga berharap Indoestri akan membuka peluang baru.

Wisdom apa yang diberikan Bapak ke Anda?

Wisdom-nya beliau gak macem-macem yakni standar : kerja keras dan berpikir cepat.

Apa yang membedakan Yos dengan Leo?

Saya memiliiki ideologi dan pemikiran sendiri dan berbeda dengan beliau. Saya membawa sedikit pengaruh dari pendidikan saya yang lebih American dan modern western minded.

Yang diwarisi dari bapak Anda?

Berpikir cepat dan tepat. Tanpa disadari saya memiliki sifat yang sama dengan beliau. Saya percaya, seorang entrepreneur bisa menentukan keputusan secara cepat dan tepat sehingga bisa menjadi sebuah opportunity atau profit. Kalau bukan pengusaha sejati, pasti ketika dihadapkan sebuah opsi, dia akan cenderung banyak berpikir, tanya sini-situ, dan bahkan enggak jadi memutuskan. Itulah perbedaan pengusaha sejati dan yang bukan. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved