Profile Entrepreneur

Michelle Tjokrosaputro: Memperlakukan Karyawan sebagai Sahabat

Michelle Tjokrosaputro: Memperlakukan Karyawan sebagai Sahabat

PT Dan Liris bukanlah perusahaan baru di bidang tekstil. Perusahaan yang berdiri sejak 1974 ini telah memperoleh kepercayaan internasional untuk memproduksi pakaian dari merek-merek terkenal, seperti Mark & Spencer dari Inggris, serta JAB dan Mattel dari Amerika Serikat. Perusahaan yang memiliki pabrik di Sukoharjo, Jawa Tengah, ini membuat produknya sesuai dengan pesanan pelanggan di lebih dari 20 negara di lima benua.

Adalah Michelle Tjokrosaputro, generasi ketiga keluarga Tjokrosaputro, yang saat ini menduduki pucuk kepemimpinan perusahaan yang mempekerjakan 8.000 karyawan ini. Dalam memimpin perusahaan, Michelle mengaku melakukan gaya informal. “Saya tipikal yang susah berbasa-basi, susah yang formal-formal gitu. Walaupun demikian, tetap saling menghormati. Saya suka manggil direktur-direktur saya dengan sapaan ‘bos’,” katanya sambil tertawa. Artinya, dia berusaha memperlakukan mereka seperti sahabat dan keluarga. Hubungannya dengan mereka tidak sebagai atasan-bawahan yang kaku.

Michelle Tjokrosaputro,

Michelle Tjokrosaputro, CEO Dan Liris

“Jadi, saya ingin mereka tahu, saya memang CEO, secara posisi saya lebih di atas, tetapi (kami) sama-sama manusia, sama-sama kerja dan punya tanggung jawab, serta harus sama-sama membangun perusahaan ini,” ujarnya. Jadi penting sekali, mereka harus merasa nyaman berhubungan dengannya. Begitu juga dia, harus merasa aman dan nyaman berhubungan dengan mereka.

Dengan suasana kerja yang nyaman seperti itu, 80% pekerja di Dan Liris sudah bekerja lebih dari 10 tahun. “Bahkan, vice president saya itu sudah join dengan Dan Liris 39 tahun lalu, sebelum saya lahir,” ujar wanita berusia 37 tahun ini sambil tersenyum.

Dalam menghadapi buruh dan serikat pekerja di pabriknya pun, dia berusaha mengutamakan kebersamaan. “Jadi, saya juga nggak mau mencurangi pekerja saya. Walaupun kami perusahaan keluarga, kami cukup terbuka dalam laporan keuangan, dsb.,” ucapnya. Bahkan, kinerja mereka dan kinerja perusahaan juga dia buka agar mereka ketahui. Hal tersebut menunjukkan kepada mereka bahwa jika kinerja mereka bagus, perusahaan juga akan tumbuh bagus. Hasilnya pun akan kembali kepada mereka karena perusahaan bisa menjamin kesejahteraan mereka.

Michelle juga mendorong para direkturnya agar berani memberikan pendapat yang berbeda, bahkan berseberangan. Justru dengan begitu, perusahaannya akan semakin kaya dengan masukan. Jadi, mereka bisa bebas mengungkapkan argumen. “Direktur saya ada 12 orang. Kami ketemu tiap dua minggu. Masing-masing kan ada yang dari produksi, pembelian, marketing, HR, dll., (jadi) pasti punya kepentingan masing-masing,” ucapnya. Kondisi tersebut sudah biasa terjadi sehingga adanya perbedaan itu menjadi sebuah tantangan untuk dicarikan solusinya.

Bagaimana tanggapan Michelle terhadap penilaian bahwa perempuan lebih mengedepankan perasaan ketimbang logika? “Iya, memang benar demikian. Tetapi, bukan berarti wanita tidak bisa mengontrolnya. Justru dengan kelebihan itu, wanita saat memimpin lebih ngemong, nalurinya lebih jalan, empatinya lebih besar,” ungkapnya. Namun di sisi lain, dia juga menyadari kelebihan kaum pria yang lebih rasional dan logis. “Nah, itu saya berusaha untuk seimbang.”

Itu sebabnya, dia juga banyak belajar ketika sedang berkumpul dengan para direkturnya yang kebanyakan kaum Adam. “Di jajaran direksi, perempuannya hanya tiga orang termasuk saya, yang lain cowok semua. Jadi kalau diskusi, saya banyak mendapat masukan dari bapak-bapak,” katanya. Dengan demikian, mereka bisa bersama mengambil keputusan setelah dipikirkan lewat kacamata perempuan dan laki-laki.(*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved