Profile

Murni Srijani: Beautypreneur Suriname

Murni Srijani: Beautypreneur Suriname

Murni Srijani Dasai-Djamin menjadi salah satu penerima gelar Beautypreneur dari Puspita Martha International Beauty School akhir November lalu. Ia dinilai mampu menciptakan alternatif lapangan kerja dalam industri kecantikan, mode, dan gaya hidup. Uniknya, walaupun menimba ilmu di Puspita Martha Yogyakarta dan Jakarta, kelahiran 1977 ini setia mengembangkan usahanya di tanah Suriname. Berawal dari dana investasi yang tidak seberapa, ia menyatakan akan merogoh kocek sedalam setengah miliar tahun depan. Lika-likunya berstrategi mengubah pandangan negatif tentang make up juga menarik untuk diikuti. Berikut ini tanya jawab SWA online dengan Murni di sela acara penganugerahan 75 Beautypreneurship Awards (30/11).

Apa yang mendorong Anda menjadi seorang Beautypreneur?

Awalnya saya terkesan sekali pada sekotak peralatan rias yang saya peroleh ketika kecil. Ini menginspirasi mimpi saya menjadi seorang make up artist. Namun, sulit sekali mewujudkannya sebab mayoritas orang Suriname memandang make up secara negatif. Tahun 2001, saya berkesempatan kursus ngadibusana dan rias pengantin Jawa di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Dari situ, saya mulai diminta merias orang. Tahun 2007, saya datang ke Yogyakarta dan belajar di Puspita Martha International Beauty School. Ketika saya kembali ke Suriname pada 2010, saya bekerja sambilan sebagai perias secara diam-diam karena saya masih pegawai negeri di sebuah perusahaan. Tak lama, pekerjaan itu membuat saya kecewa dan saya berhenti. Akhirnya Mei 2011, saya membuka salon Murni Indah di Suriname. Usaha ini berjalan sekitar 1 tahun, namun terpaksa tutup selama saya berada di Jakarta hingga tahun depan.

Berapa modal yang Anda keluarkan?

Dari sudut dana, sangat murah sebenarnya. Kurang lebih Rp 15 juta karena hanya untuk desain interior salon dan biaya kursus saya. Untuk tempat, saya masih memakai ruang tamu. Sebagian besar peralatannya pun sudah saya miliki sebelumnya. Harus diakui, saya banyak dibantu oleh suami dalam hal ini.

Siapa saja pelanggan Anda?

Pelanggan saya berasal dari beragam komunitas, mulai dari Cina, India, Afrika, hingga Belanda. Tetapi, sebagian besar adalah orang Jawa yang tinggal di Suriname. Umumnya, dari kelas menengah. Saya melihat suatu perbedaan karakter antara pelanggan Jawa dan Cina. Pelanggan Jawa lebih memperhatikan biaya sehingga mereka ngotot menggunakan riasan minimalis, sekalipun mereka akan menikah. Sebaliknya, pelanggan Cina selalu ingin tampil menarik. Mereka tidak peduli semahal apa pun biayanya. Pelanggan seperti inilah yang lebih mudah saya ajak bicara tentang kualitas.

Apakah industri kecantikan di Suriname sama dengan di Indonesia?

Justru sangat berbeda. Industri kecantikan dan gaya hidup di Suriname belum berkembang sebab penduduknya mempunyai cara pikir yang bertolak belakang dengan orang Indonesia. Orang Suriname menyukai wajah yang polos. Saya sering dikritik, mengapa mengenakan make up jika tanpa itu Anda sudah cantik? Saya setuju bahwa kecantikan dari dalam (inner beauty) itu ada, namun tidak semua perempuan merasa percaya diri tanpa kecantikan dari luar. Itulah mengapa saya mempertahankan riasan yang “berani” dalam bisnis saya.

Perbedaan yang berikutnya adalah cara promosi dan pemasaran. Di Suriname, pebisnis hanya berpromosi dari mulut ke mulut, sedangkan cara pebisnis Indonesia berpromosi sangat beragam. Sebenarnya, ini menjadi keterbatasan untuk bisnis saya. Untunglah, sudah banyak tetangga di Suriname yang tahu bahwa saya selalu memberi pelayanan yang memuaskan. Supaya lebih terbantu, saya menggunakan Facebook juga.

Bagaimana dengan kondisi persaingan di sana?

Di negara dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa seperti Suriname, pasar sebenarnya terbilang sepi. Make up artist yang berbakat baru sedikit. Tetapi saya yakin, tak lama lagi akan muncul pemain-pemain baru. Karena sifat orang Suriname itu begini, jika seseorang, entah mempunyai keterampilan merias atau tidak, melihat tutorial rias wajah sendiri (self image) di You Tube kemudian bisa menirukannya, dia akan langsung mengeklaim dirinya seorang make up artist. Padahal, tidak segampang itu menjadi seorang make up artist profesional. Tambahan lagi, kesadaran masyarakat sendiri masih rendah.

Lalu apa strategi Anda meningkatkan kesadaran masyarakat?

Saya pernah menawarkan paket pelatihan (workshop) rias wajah sendiri. Tujuan saya adalah membuat pola pikir pelanggan lebih terbuka sehingga mereka tergerak untuk berias sendiri di rumah. Semula saya memasang tarif terjangkau. Syaratnya hanyalah peserta harus membawa peralatan make up sendiri. Rupanya yang berminat tak lebih dari 4 orang. Kemudian saya mengubah strategi. Peserta difasilitasi dengan peralatan milik saya, namun tarif dinaikkan. Hasilnya, ada 10 peserta dalam tempo 3 minggu. Saya senang sekali. Ada beberapa peserta yang sekarang menjadi pesaing. Ha ha ha.

Bagaimana Anda menyikapi fenomena “kawan jadi lawan” ini?

Bagi saya, pesaing bukanlah ancaman. Justru inilah tanda adanya perkembangan. Tentu dalam bisnis kecantikan, pemain yang sungguh-sungguh memiliki keahlianlah yang bisa bertahan.

Keadaan bisnis sejauh ini bagaimana?

Bagi saya, cukup memuaskan untuk saat ini. Meskipun masih bekerja sendiri, saya bisa menangani 30-50 klien dalam setahun. Untuk sementara, saya memasang tarif terjangkau, sekitar Rp 200 ribu untuk riasan pengantin biasa. Untuk riasan pengantin menggunakan air brush, sekitar Rp 1 juta. Begitu pun, tidak sedikit pelanggan yang mengeluh bahwa harganya tidak masuk akal.

Apakah Anda berencana memindahkan salon ke Indonesia?

Tidak. Akhir 2013, saya akan kembali ke Suriname. Saya siap menghadapi persaingan yang lebih ketat dengan bekal keterampilan dari sekolah kecantikan di Yogyakarta dan Jakarta. Saya ingin bisa memberikan pelayanan facial dan spa nantinya. Dahulu, saya memang tidak terlalu memperhatikan dana investasi. Tapi untuk tahun depan atau 2014, saya menganggarkan sekitar setengah miliar untuk memantapkan bisnis. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved