Profile Editor's Choice

Perjalanan Panjang Karier Darwin Silalahi

Darwin Silalahi, Presiden Direktur PT. Shell Indonesia dan Country Chairman Shell Companies di Indonesia. Ia orang Indonesia pertama menempati posisi tersebut di Shell (foto: Hendra SWA)

Jam terbang karier Darwin Silalahi sebagai profesional lumayan tinggi. Dia meniti karier dari sebuah perusahaan minyak dan gas asing, lalu ke perusahaan lokal, sempat menjadi staf ahli di BUMN, menjadi direktur pengelola di perusahaan konsultan asing dan kini menjadi dirut di perusahaan minyak & gas asing lagi. Bagi Darwin itu bukan rencana hidupnya. “Dulu, saya sempat bercita-cita menjadi dokter,” ujar CEO PT Sheel Indonesia, itu.

Namun selepas SMA, dia justru melanjutkan kuliah ke jurusan MIPA Universitas Indonesia lantaran menyukai pelajaran fisika dan matematika. Konsekuensinya, profesi yang bisa ditekuni lebih sempit: kalau tidak jadi guru, ya peneliti. Akhirnya, di pertengahan kuliah, dia mengambil jurusan Geofisika, dengan pertimbangan bisa bekerja di perusahaan minyak dan lebih menjanjikan masa depannya. Inilah yang membawa Darwin mengawali karier di British Petroleum Indonesia (BP).

Diakuinya, kondisi pas-pasan di masa itu membuatnya tidak berani berangan tinggi. Dia memilih kuliah di UI pun juga dilatarbelakangi keinginan dekat dengan kakaknya agar punya tempat tinggal gratis.

“Sebenarnya, saya tidak pernah berpikir harus menjadi orang terbaik, tapi saya melakukan yang terbaik apapun yang saya pegang,” tuturnya. Pandangan inilah yang membuatnya mendapat peluang untuk masuk dalam daftar pegawai yang diidentifikasi sebagai pegawai berpotensi. Bukan untuk dijadikan Geofisis yang ahli saja, tapi Darwin diarahkan dan diasah kemampuan manajerial dan leadershipnya. “Saya dinominasikan untuk mengikuti assessment dan development. Saya pikir itulah titik balik saya, ternyata ada jalur lain bukan saja menjadi geofisis,” dia menegaskan. Untuk mengikuti program itu, Darwin menjalani simulasi manajerial dan memecahkan kasus-kasus bisnis dan ekonomi di Australia. Dia termasuk dalam 30 orang yang tersaring dari berbagai kantor BP di regional Asia. “Kala itu tahun 1987, saya belum pernah mengerjakan case bisnis dan ekonomi Harvard Business School sebelumnya,” tuturnya.

Hampir 10 tahun Darwin bekerja di BP. Hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk keluar. Dia berpikir jenjang karier bidang yang digelutinya, geofiss, kala itu sangat flat, padahal dia ingin tumbuh. Meski saat itu di sempat ditempatkan di Amerika selama 2,5 tahun. “Jabatan terakhir saya senior geofisis,” tutur pria yang menyelesaikan master degree-nya di Harvard Business School, Amerika.

Darwin percaya orang akan bisa mencapai kenaikan karier yang baik jika memiliki 3 kriteria yang disingkat menjadi CAR, yaitu Capacity, Achievement, Relationship. Capacity merupakan kemampuan yang dibawa orang tersebut seperti intelegent yang tinggi, kompetensi yang dibangun melalui pembelajaran yang terus menerus, dan orang yang berfikir strategis serta bisa mengeksekusinya.

Achievement merupakan hal-hal apa saja yang bisa dicapai dalam hidup orang tersebut. Bukan saja dalam pekerjaan, tapi terkait dengan pencapaian pribadi juga. Seperti bisa mencapai puncak gunung. Itu menunjukan kemampuan orang tersebut apa yang bisa dilakukan untuk mencapai ke garis finish.

Yang terakhir Relationship, yakni membangun jaringan yang lebih luas terutama ke pemimpin usaha yang lebih luas merupakan keharusan. Dalam membangun hubungan ini juga termasuk kemampuan kita dalam satu tim. “Kita harus membangun reputasi diri kita dan membuat setiap orang ingin bekerja dengan kita, setiap orang ingin menjadikan kita sebagai tim member bahkan leader dari tim tersebut,” ujarnya menyarankan.

Darwin meyakini setelah berada di posisi manajer menengah ke atas, pekerjaan baru itu ditawarkan justru karena relationship yang dibangun. Bukan saja dalam organisasi perusahaan tempat bekerja tapi juga dengan kalangan luar perusahaan. “Saya percaya posisi vice president ke atas yang lebih berperan ya di relationship itu,” tukasnya.

Berdasarkan pengalaman pribadi Darwin saat bekerja di Grup Dharmala, “Kala itu Pak Suyanto, CEO Grup Dharmala, yang meminta saya menjadi asistennya,” ungkapnya. Dengan demikian, dia dapat belajar banyak tentang bagaimana grup usaha keluarga seperti Dharmala dikelola. Dalam waktu yang sama, Darwin diberi kepercayaan untuk melakukan upaya restrukturisasi di anak-anak usaha grup tersebut yang kurang sehat. Sebenarnya tawaran Grup Dharmala itu cukup berani diambilnya. Maklum, itu artinua dia mempertaruhkan keberanian pindah dari perusahaan asing yang mapan ke perusahaan keluarga. Apalagi, kala itu ternyata gaji yang diterima di Dharmala tidak sebesar income bekerja di BP. “Jabatan terakhir saya di Dharmala sebagai asisten Pak Suyanto. Selain itu, saya juga menempati beberapa posisi direksi di sejumlah anak usaha grup itu,” kata pria yang bekerja di Grup Dharmala sekitar tiga tahun, itu.

Kemudian Darwin pindah ke Grup Bakrie & Brother’s. Kala itu dia dipinang olehTanri Abeng kala itu. Dan Darwin berharap mendapat kesempatan berkarier dan posisi lebih tinggi. Di grup milik keluarga ini pula Darwin dipercaya menjadi asisten Tanri Abeng. “Suatu hari saya dipanggil Pak Ical (Abu Rizal Bakrie, red), yang waktu itu sebagai Komisaris Utama, tapi saya sempat kaget. Pak Ical bilang begini: saya sudah dengar apa yang kamu lakukan. Itu mungkin bagus untuk perusahaan dan membuat perusahaan sehat, tapi membuat beberapa perusahaan kita menjadi tetap kerdil. Sehat tapi kerdil”. Saya waktu itu agak shock, karena sepertinya ditegur oleh Pak Ical. Saya pikir inilah akhir karier saya di Bakrie,” kenangnya.

Namun, ternyata tak lama setelah itu, dalam rapat umum pemegang saham, Darwin dinominasikan sebagai direktur di Grup Bakrie. Exposure karier menjadi direktur di Bakrie, memungkinkannya menjalin komunikasi dengan petinggi di BP kembali, terkait dengan bisnis baru Grup Bakrie kala itu. Hingga kemudian, dia ditawari manajemen BP untuk memegang jabatan direktur utama di BP Indonesia, karena saat itu dirutnya harus dipindahkan ke Rusia.

Tawaran itu terjadi pada pertengahan tahun 1998 dan Tanri Abeng pada saat yang sama ditarik pemerintah menjadi Menteri Negara BUMN. Sebuah departemen baru di pemerintahan Indonesia. Mengingat Tanri membutuhkan orang terbaik dan bisa dipercayanya, maka ditariklah Darwin menjadi asisten ahlinya.

“Saya pikir menerima tawaran Pak Tanri hal langka, mungkin tidak akan datang dua kali dalam hidup saya. Kesempatan bersama dalam satu tim untuk men-set up satu entitas baru di pemerintahan Indonesia,” tuturnya. Padahal, kala itu dia harus rela turun gaji luar biasa jauh dari tawaran BP dan juga posisi terakhirnya di Grup Bakrie. “Hadi asisten Menneg BUMN saat itu gaji saya hanya Rp 2 juta, kan jadi pegawai negeri,” kenangnya sambil tersenyum.

Namun, waktu itu yang ada dalam otak Darwin bukan duit semata. “Bagi saya justru itulah kesempatan untuk terekspose, mengelola ratusan BUMN. Tidak hanya membawa pendewasaan diri yang sangat berarti dan cepat, karena kita bisa berinteraksi dengan stakeholder penting di negeri ini, kita juga membangun relationship lebih luas,” jelas pria yang mendampingi Tanri selama 1,5 tahun sebagai asisten Menneg BUMN, itu.

Setelah Tanri tidak lagi menjadi Menneg BUMN, tentu saja Darwin ikut pergi dari departemen tersebut. Dia pun mendapat tawaran dari Booz Allen & Hamilton (BAH), sebuah perusahaan konsultan manajemen. Interaksi Darwin dengan perusahaan konsultan tersebut pertama kali kala terjadi saat dia menjadi asisten Tanri yang kala itu menjabat sebagai CEO Grup Bakrie. “Asisten kan lebih banyak mendampingi dan berinteraksi intensif dengan Booz Allen & Hamilton yang kala itu melakukan restrukturisasi perusahaan, karena CEO sibuk sekali,” tuturnya.

Darwin melihat, membenahi perusahaan ternyata sangat dibutuhkan terutama paskakrisis ekonomi yang menerpa Asia. Dia optimistis bisa membenahi perusahaan karena sudah berpengalaman saat bekerja di Grup Bakrie dan Kantor Menneg BUMN. Kesempatan mendapat tawaran menjadi Direktur pengelola BAH itu pun diambilnya. “Kompensasi saya pun naik luar biasa, bisa menutup ‘investasi’ saya sebelumnya di BUMN,” ujarnya sambil terbahak. Kali ini pun Darwin tidak mau bicara tentang berapa kompensasinya kala itu. Pilihan memimpin BAH bukan semata kompensasinya yang besar. Tapi lebih dari itu, karena dalam pandangan Darwin, dengan menjadi konsultan dan melakukan pendampingan bagi perusahaan yang sedang melakukan perusahaan, berarti exposure dirinya di berbagai perusahaan blue chip pun makin luas.

Persinggahannya di Shell Indonesia, setelah dia berhubungan kembali dengan alumni Harvard Business School. Dari sana dia melakukan kontak dengan eksekutif top di Shell regional Asia. Menurutnya, membangun relationship menjadi bagian yang tidak bisa dinafikan dalam proses karier seseorang. “Saya meyakini apa yang diingat orang adalah apa yang baik dari diri kita. Setelah kita tidak menjabat, seberapa orang mengenal kita,” katanya.

Darwin mengatakan, sesuai dengan pengalamannya betapa penting membangun hubungan yang baik. Apa yang terjadi dalam lompatan kariernya, tidak pernah direncanakan. “ Yang penting, lakukan yang terbaik, kembali ke tiga kriteria, CAR yang saya sebutkan di atas, selebihnya apa yang digariskan Tuhan saja,” ujar Darwin memberi wejangan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved