Profile Company zkumparan

Aesler Group International, Arsitek yang Melantai di Bursa

Jang Rony Yuwono, founder & owner PT Aesler Group International
Jang Rony Yuwono, founder & owner PT Aesler Group International

Bagi Jang Rony Yuwono, Wuhan adalah kota istimewa. Sebab, di sinilah, pada 2010 dia mendirikan JRY+Associates, perusahaan jasa arsitek yang kelak berubah menjadi PT Aesler Group International. Janganlah heran Rony mendirikan perusahaan di kota yang sekarang menakutkan lantaran menjadi titik episentrum wabah virus corona itu. Sepuluh tahun lalu, Wuhan adalah salah satu kiblat arsitek dari berbagai negara karena adanya proyek kereta cepat dan banyak industri manufaktur yang beroperasi di sana.

Ketika masuk ke Indonesia pada 2012, Aesler fokus menggarap mereka yang menjadi klien para developer: pemilik tanah yang ingin mengembangkan lahannya menjadi bangunan komersial, entah itu hotel, apartemen, atau rumah sakit. Namun, Aesler tidak sekadar menawarkan jasa arsitek. “Kami menyediakan one stop solution,” ujar Rony. Mereka memiliki keahlian di mixed-used architecture, urban planning, commercial architecture, office design & architecture, hotel & villa, hospital & wellness, private residences, serta interior design.

Dengan keunggulan itu, pelan tetapi pasti, Aesler kian mendapat tempat di pentas bisnis nasional. Saat ini mereka ikut terlibat di beberapa proyek besar, antara lain skysuites tower tertinggi di Mega Kuningan (Jakarta), Technopolis (Karawang), Gangnam District (Bekasi), dan Meisterstadt (Batam).

Yang teranyar, mereka memenangi tender dari pemerintah untuk mengerjakan proyek 21 terminal bus tipe A. Di sini Aesler akan menerapkan konsep integrasi pariwisata dengan terminal. “Kira-kira total nilai kontrak yang sudah kami achieve untuk portofolio lima tahun ke depan sekitar Rp 120 miliar. (Adapun) Total kontrak yang sedang kami kerjakan sekarang sekitar Rp 30 miliar,” ungkap Rony. Sementara di Wuhan, Aesler sudah mengerjakan sekitar 30 proyek.

Melihat potensi bisnis di Indonesia, Aesler memutuskan go public pada September 2019. Keputusan ini menjadikannya sebagai perusahaan jasa arsitek pertama yang melantai di bursa. Mereka percaya diri untuk melantai di bursa di tengah dominasi perusahaan manufaktur atau perusahaan yang memiliki aset ril, karena terdorong oleh visi Presiden Joko Widodo yang ingin berubah dari manufacturing menuju peningkatan SDM atau jasa.

Aesler meyakinkan pihak bursa dengan beberapa pertimbangan. Pertama, perusahaan jasa, khususnya arsitek, memiliki margin yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan manufaktur. Net margin Aesler tahun 2017 sebesar 30%, meningkat menjadi 45% (2018), dan 55% (2019). Dalam lima tahun ke depan, diasumsikan bisa mencapai 70%. “Jadi, ini benar-benar cepat sekali dan menurut saya yang bisa (melakukan ini) hanya jasa, manufaktur tidak bisa seperti itu,” kata Rony.

Pertimbangan kedua, low risk. Artinya, jika perusahaan manufaktur menghadapi kelesuan bisnis, mereka akan sulit menangani aset operasional seperti mesin atau alat pabrik lainnya. Sementara sektor jasa tak menghadapi hal demikian karena yang dikelola adalah keahlian.

Rony lalu menceritakan ada satu pertanyaan tambahan dari otoritas bursa, yaitu “apa yang membuat investor Anda nyaman?” Ia pun menirukan jawaban yang diberikannya saat itu, “Oh…, saya sudah secures proyek, karena proyek arsitek itu proyek jangka panjang, bisa 3-5 tahun, dan berkelanjutan. Misalnya, proyek 21 terminal itu kerja 15 tahun saja tidak habis-habis.”

Dari IPO, Aesler ingin menghimpun dana sebesar Rp 25 miliar. Dari dana itu, 40%-nya akan digunakan buat pembelian alat seperti komputer untuk real-time rendering. “Dengan adanya suntikan teknologi, kami bisa kerja lebih cepat, lebih efisien, less mistake, dan bisa menghasilkan revenue lima kali lebih besar,” katanya menerangkan.

Ke depan, perusahaan dengan 35 karyawan ini memiliki banyak rencana. Pertama, menambah beberapa divisi baru. Salah satunya, divisi kontraktor yang akan memfabrikasi antara design dan build yang selama ini prosedurnya memakan waktu lama –sampai setahun karena perlu memanggil desainer interior, mendesain 4-5 bulan, dan mencari furniturnya.

Kedua, meningkatkan mutu dari segi financing. Aesler akan memberikan soft loan kepada pengembang, bekerjasama dengan beberapa bank rekanan. ”Belum ada arsitek di Indonesia yang memberikan ini,” ujarnya. (*)

Yosa Maulana & Vina Anggita

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved