Profile Company zkumparan

Bomar, Maju Pesat karena Sukses Industrialisasikan Perikanan

Tigor Cendarma, pemilik dan Presiden Direktur Bomar
Tigor Cendarma, pemilik dan Presiden Direktur Bomar

Berdiri sejak 1980, PT Bogatama Marinusa (Bomar) kini menjadi salah satu pemain besar di bisnis pengolahan dan pembekuan udang dari kawasan Indonesia Timur, tepatnya Makassar, Sulawesi Selatan. Perusahaan ini terjun dalam bisnis budidaya dan pembenihan udang (hatchery), khususnya udang windu dan udang vannamei. Sampai akhirnya, pada 2001 Bomar memilih untuk fokus sebagai industri pengolahan udang.

Menurut Tigor Cendarma, pemilik dan Presiden Direktur Cendarma, setiap hari Bomar membutuhkan bahan baku udang 30-40 ton. Dia berharap, apabila hatchery Bomar telah berproduksi, pasokan bahan bakunya dapat ditingkatkan menjadi 80-100 ton per hari di tahun 2020 ini, dan di tahun ketiga dan ke empat akan menjadi 300 ton.

Bomar mengambil kebijakan, bahan baku dari tambak yang dikelolanya sendiri tidak boleh melebihi 20% dari kebutuhan pabrik. Sementara, 80% harus berasal dari komunitas petambak dan petani udang. “Sehingga, menjadi kewajiban kami membangun dan membina komunitas kelompok petani dan petambak udang,” Tigor menegaskan. Jumlah mitra Bonar, menurutnya, sudah mencapai belasan ribu, yang tersebar di seluruh pesisir Sulawesi sampai Kalimantan Timur, dan sebagian Kalimantan Utara.

Bagi Tigor, menjalankan bisnis di sektor agrobisnis dan makanan tidak boleh setengah-setengah. “Bila ingin menguasai dari hulu ke hilir, harus dengan totalitas,” katanya tegas. Ia mengaku, dari awal sudah berpikir untuk jangka panjang. “Kami sudah pikirkan sustainabilitas bisnis ini, apalagi sampai ke domestikasi induk, lebih jauh lagi sustainabilitasnya. Kami juga bekerjasama dengan WWF (World Wildlife Fund) untuk membina petani melakukan budidaya udang dengan benar, baik, dan ramah lingkungan. Itu semua tujuannya adalah sustainabilitas,” Tigor menuturkan. Para petani/petambak udang juga diajak untuk bersama-sama menanam dan memelihara bakau di bawah bimbingan WWF yang semuanya itu merupakan langkah jangka panjang.

Adapun strategi yang dijalankan Bomar di sektor hulu (bahan baku) agar produksinya berkelanjutan, seperti dijelaskan Tigor, yaitu memperkuat rantai pasok serta meningkatkan jumlah bahan baku udang yang stabil dan berkelanjutan. Saat ini pun, dia menambahkan, Bomar sedang membangun tiga proyek untuk meningkatkan pasokan bahan baku udang tersebut.

Proyek pertama, membangun pabrik pembibitan benur udang dengan teknologi termodern dan sistem penerapan biosecurity tertinggi. Tujuannya, menurut Tigor, untuk menghasilkan benur udang dengan jaminan bebas penyakit (specific pathogen free/SPF) dan tahan penyakit (specific pathogen resistance/SPR). Kapasitas terpasang hatchery tersebut sekitar 8 miliar ekor udang per tahun. “Pembangunan pabrik ini akan selesai dan produki perdana di bulan Juni 2020,” ujarnya.

Proyek kedua, membangun pusat pelatihan petani/petambak udang. Dan proyek ketiga, membangun pusat multiplikasi induk udang unggul.

Sejak awal Tigor memang bertekad mengindustrialisasikan sektor perikanan, khususnya udang tambak. “Jadi, dari awal kami di hulu sudah mulai mengadopsi dan menerapkan teknologi-teknologi di sektor udang ini,” ujarnya. Ia memulai bisnis udang dengan 10 hektare tambak, kemudian terus bertambah. Selanjutnya, perusahaan ini masuk ke bisnis pembenihan udang (benur).

Tigor selalu mengikuti perkembangan teknologi yang ada di industri perudangan itu. “Kami terus meng-update teknologi. Selain itu, kami juga membina petani udang skala kecil-menengah. Jadi, kami lakukan pembinaan kepada mereka dalam peningkatan skill dan knowledge,” katanya. Dia mengajak para petani tersebut study tour, antara lain ke Thailand, untuk melakukan studi banding.

Di tahun 2000, Tigor merasa bahwa sudah waktunya hasil udang Bomar dan petani binaannya diolah menjadi produk yang bernilai tambah tinggi. Maka, pada 2001 pabrik pertama Bonar berdiri dengan konsep dari awal: membangun industri pengolahan produk yang finish good, atau added value product, atau disebut juga produk yang sudah menjadi makanan siap saji.

Dengan demikian, Bonar yang awalnya hanya menggarap bisnis udang di hulunya, dengan adanya pembangunan pabrik tersebut, pun terjun ke sektor hilir.

Sejak itu, Tigor mengadopsi teknologi pengolahan pangan agar produk olahannya bisa diterima negara-negara maju. “Itu suatu perjuangan yang sangat tidak mudah,” ungkapnya. Sebab, persyaratan negara maju untuk menerima makanan siap saji, terutama dari Indonesia, sangat banyak.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, udang tepung atau ebi furai Bomar bisa menguasai pasar Jepang. “Saat ini Bomar menguasai pangsa pasar produk ebi furai berkualitas tinggi di Jepang. Men-supply 100% restoran chain burger udang terbesar di Jepang dengan jumlah ribuan restoran, super market chain, pesanan online, dsb.,” tutur Tigor.

Ia berpikir bahwa memang hasil pertanian Indonesia itu sudah semestinya diekspor dalam bentuk added value product. “Kami ingin diakui juga sebagai pemain di hilir oleh pasar global,” Tigor menegaskan. Bomar mengekspor produknya dengan mengusung merek sendiri, yakni Bomar Food dan Bomar Seafood. Selain ke Jepang, produk Bomar juga diekspor ke Amerika Serikat, serta negara-negara Eropa, Timur Tengah, dan beberapa negara Asia lainnya. Pertumbuhan ekspornya 10-12% per tahun.

Untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi, Bomar mengembangkan diversifikasi produk pangan berkelanjutan dengan memproduksi produk siap makan (Industri 4.0), dan sistem pemasaran market place (online shopping) sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar generasi milenial. Lalu, meningkatkan efisiensi dan mengurangi bahan baku substitusi impor. “Bomar telah membangun pabrik tepung bread crumbs,” kata Tigor.

Berbicara tentang program riset dan inovasi untuk menghasilkan teknologi baru di bidang agrobisnis, Bomar telah membuat kincir aerator hemat listrik sekitar 30% tanpa penggunaan oli sehingga bebas pencemaran. Kemudian, sistem budidaya udang skala rumah tangga, serta kolam bongkar-pasang murah dengan diameter 10 meter yang dapat menghasilkan 3 ton udang per tahun. Inovasi lainnya, Tigor menjelaskan, pengendalian ekosistem dengan penerapan Recycling Aquaculture System untuk memberikan jaminan keberlanjutan budidaya udang.

Selain itu, Bomar juga membangun industri generasi keempat (Industri 4.0) untuk memenuhi kebutuhan pasar makanan sehat siap makan dan pemasaran sistem order online. Juga, membangun kitchen industry research center (miniature frozen food factory) dan bekerjasama dengan lembaga pendidikan teknologi pangan dalam pengembangan produk -produk pangan yang disesuaikan dengan selera tiap-tiap negara.

Tidak hanya udang, Bomar pun mengembangkan produk sayur-mayur dan beras organik. Perusahaan ini akan membangun sistem pertanian dan membina petani hortikultura dan beras organik. Menurut Tigor, pangan adalah kebutuhan harian manusia yang tiada habisnya. “Saya merasa sangat tertantang untuk menjalankan dan membangun industri ini. Karena, industri ini memberikan dampak ekonomi yang luas dan besar: banyak stakeholders terlibat, bisa membantu ekonomi nasional, memberikan peningkatan penghasilan dari hulu ke hilir, dan membangun lapangan kerja,” katanya.

Tigor melihat prospek pasar bisnis makanan sangat bagus. Menurutnya, tingkat konsumsi tiga tahun terakhir tumbuh 5%, jumlah kelas menengah yang memiliki daya beli tinggi berada di antara 52 juta dan 60 juta orang, ditambah 120 juta kelas menengah harapan. Populasi yang besar, iklim tropis yang stabil, dan perairan laut yang luas yang dimiliki Indonesia merupakan modal kuat untuk mengembangkan hasil pertanian dan budidaya perikanan sebagai bahan baku untuk diolah menjadi pangan.

“Dengan jumlah angkatan kerja yang besar dan bonus demografi dengan jumlah penduduk di usia produktif yang mencapai 65% dari total penduduk, negara kita sangat mendukung sebagai tempat untuk mengembangkan industri pangan, baik untuk pasar domestik maupun ekspor,” tutur Tigor.

Karena itu, ia berpendapat, pemerintah harus menempatkan anggaran yang besar dan melihat industri pangan ini sebagai program industri strategis, serta mendorong dan memfasilitasi perkembangannya. “Bahkan kalau perlu, memberikan insentif untuk mengembangkan kekuatan industri pertanian, perikanan, dan pangan secara holistik, dari hulu ke hilir,” kata Tigor memberi saran. (*)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved