Profile Company Editor's Choice

Manuver Columbia Mempertahankan Dominasinya

Manuver Columbia Mempertahankan Dominasinya

Sudah 30 tahun Columbia berkiprah dalam bisnis perkreditan barang elektronik dan furnitur. Sebagai pionir di bisnis perkreditan, posisi Colombia belakangan agak rawan karena dikepung pemain serupa yang bermunculan. Saat ini semakin banyak peritel yang menggandeng perbankan untuk memberikan kredit. Kondisi ini membuat keunggulan Columbia sebagai peritel dan penyedia jasa pembiayaan dalam satu atap menjadi terdengar basi.

Darwin Leo, Chief Operating Officer Columbia

Kenyataan itu tidak dimungkiri oleh Darwin Leo, Chief Operating Officer Columbia. “Kredit memang bukan lagi daya tarik bagi konsumen. Competitive advantage–nya bukan lagi kredit. Semua retailer sudah bisa memberikan hal yang sama dengan fasilitas perbankan,” kata Darwin blak-blakan.

Namun, itu tak membuat Colombia gentar. Darwin masih melihat peluang potensi pasar kredit elektronik yang cukup besar. Menurutnya, dari total konsumsi, hanya 30% konsumen yang melakukan pembelian elektronik dengan cara kredit.

Tak ingin potensi tersebut disergap pemain lain, Columbia memperbaiki motor bisnisnya. Tepatnya sejak setahun lalu, Columbia menerapkan program Excellence Operation (EO). “Tujuannya untuk memberikan added value. Karena, dari sisi kredit, bukan lagi menjadi keunggulan,” katanya.

EO menyangkut dua hal, yaitu internal dan eksternal. Dari sisi internal dilakukan perombakan besar-besaran. Pertama, memecah wilayah operasional menjadi delapan regional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur-Bali-Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Dengan sistem ini, kantor cabang tidak lagi melapor langsung ke kantor pusat. Cabang bertanggung jawab kepada kantor regional. Wewenang pengembangan usaha pun ada di kantor regional.

Dulu, setiap cabang langsung melapor ke kantor pusat. Akibatnya, banyak cabang yang tidak terperhatikan dengan baik. “Bayangkan saja kalau 75 cabang langsung melapor ke kantor pusat dalam waktu yang bersamaan,” kata Darwin. Ia mengakui hanya cabang yang aktif yang mendapatkan perhatian. “Ibarat orang tua dengan banyak anak. Pasti yang aktif berhubungan saja yang diberi perhatian lebih. Ini kan tidak baik.”

Lebih parah lagi bila tengah menyusun program untuk kantor cabang. Sering program yang dibuat tidak cocok dengan karakter konsumen suatu cabang. “Karena, kami membuat satu program sifatnya nasional. Ternyata program tersebut tidak cocok di daerah tertentu. Padahal, retail is detail,” ujar Darwin. Namun, sekarang kondisi tersebut dapat diatasi dengan strategi pembagian delapan regional itu. Setiap regional membawahkan 7-8 kantor cabang. “Jadi, kantor pusat hanya memikirkan strategi menengah dan jangka panjang,” tuturnya.

Tidak berhenti sampai di situ. Columbia juga memperlebar cengkeramannya dengan memperbanyak gerai. Hingga akhir 2012, Darwin menargetkan jumlah gerai Columbia mencapai 450 buah di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, Columbia juga menyediakan penjualan door-to-door. Tidak main-main, ada 5 ribu tenaga penjualan. Promosi melalui jejaring sosial pun semakin digalakkan.

Selain itu, Columbia juga punya 12 armada moko (mobil-toko). Moko dijadikan senjata untuk mendatangi konsumen ke pelosok-pelosok daerah. “Ini merupakan keunggulan yang kami berikan ke konsumen,” ujar Darwin. Konsumen tidak perlu jauh-jauh ke luar rumah untuk mendapatkan kredit. Bahkan, transaksi bisa dilakukan di rumah konsumen dan barangnya bisa diantar. Saat ini ada 150 mobil canvaser milik Columbia.

Semua itu dibuat karena Columbia ingin memberikan kemudahan kepada konsumen. “Kami seperti convenience store yang menyasar kalangan menengah-bawah,” tutur Darwin. Makanya, persyaratan kredit Columbia juga terbilang mudah. Hanya perlu fotokopi KTP, slip gaji atau rekening listrik dengan bunga paling tinggi 4% per bulan. Tidak itu saja, Columbia juga punya program cicilan serba Rp 100 ribu/bulan. Untuk konsumen loyal, setahun sekali ada traveling ke luar negeri atau umroh.

Dari segi produk, Columbia pun cukup lengkap. Mulai dari peralatan rumah tangga, furnitur, handphone, sepeda motor hingga laptop dan LCD. Justru, menurut Darwin, penjualan BlackBerry, laptop dan LCD mendominasi produk elektronik. Dari total kontribusi penjualan elektronik sebesar 60%, Blackberry, laptop dan LCD menyumbang separuhnya. “Sisanya, produk lain yang rata-rata memberi kontribusi 10%-12%,” ungkapnya. Saat ini ada 30 merek dengan 100 item produk yang dijual selain merek milik Columbia sendiri seperti Fujitex, Fuji dan Nozomi (motor roda tiga).

EO ini mulai menunjukkan hasil. Darwin mengklaim pada 2011 perusahaannya mampu tumbuh 50% dibanding tahun 2010 yang hanya tumbuh 30% dari tahun 2009. Sayangnya, ia enggan memaparkan secara detail pencapaian perusahaannya tersebut. Columbia sekarang juga mulai menyasar korporat. Nestle, Danamon dan Unilever, misalnya, pernah tercatat menjadi konsumennya. “Mereka pesan furnitur untuk dikirim ke kantor-kantor cabang mereka. Karena jaringan kami luas, jadi mereka percaya kami,” ujar Darwin sambil menegaskan, perusahaannya kini lebih siap menghadapi persaingan.

Pengamat pemasaran Sumardy menilai strategi rejuvenasi dan pendelegasian organisasi Columbia menjadi delapan regional sudah cukup tepat. Sebab, selain untuk mengakomodasi perbedaan karakter konsumen, juga untuk efisiensi. Hanya saja, CEO Buzz & Co itu mewanti-wanti agar Columbia tetap fokus pada customer base yang dimiliki. Ini perlu dilakukan di tengah gempuran pemain-pemain baru yang masuk ke industri ini.

“Sebagai pionir, Columbia hanya perlu mengelola customer base agar tidak lari ke kompetitor,” ujar Sumardy. Apalagi, bila ingin beralih ke perusahaan pembiayaan lain, harus melalui survei dan memenuhi persyaratan kredit lainnya. Kesempatan inilah yang perlu diambil agar bisnis Columbia senantiasa tumbuh seiring dengan pertumbuhan pasar. Caranya, dengan mengelola loyalitas konsumen. Aneka program harus di-set up agar konsumen menjadi loyal kepada Columbia. “Nah, bila sudah loyal, mereka akan merekomendasikan Columbia ke saudara dan teman dekatnya. Akhirnya, tercipta word of mouth dan tidak perlu repot-repot keluar biaya banyak,” kata Sumardy menandaskan.(***)

Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho

Riset: Siti Sumariyati


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved