Profile Company

Raksasa Telko Baru di India

Raksasa Telko Baru di India

Dalam waktu singkat, pemain anyar ini menggusur para seniornya. Harga murah menjadi salah satu faktor sukses. Namun, kunci suksesnya adalah menggandeng para pemain global untuk bersatu alih-alih bersaing.

Mukesh Ambani, founder Jio Platform.
Mukesh Ambani, founder Jio Platform.

Tahun 2010. Dunia bisnis India riuh rendah. Sebuah perusahaan tidak terkenal yang bernama Infotel Broadband Services Limited (IBSL) membuat manuver mengejutkan. Ia memenangi lelang broadband negeri itu yang nilainya sangat besar (US$ 2,7 miliar). Dengan lelang ini, sang pemenang bisa beroperasi di 22 provinsi.

Mengapa menjadi riuh rendah?

Tak berapa lama setelah lelang tersebut, masuklah Reliance milik konglomerat papan atas, Mukesh Ambani, mengakuisisi 95% saham IBSL. Tak ayal, muncullah rumor aksi tersebut telah diatur. Para pesaing dalam lelang tersebut menuduh sang pemenang melanggar aturan lelang lantaran tidak mengakui hubungannya dengan sang konglomerat sebelum lelang. Karena tak ada bukti-bukti pendukung, kasus ini pun ditutup.

Masuknya Mukesh dengan cara mencaplok IBSL bisa dikatakan menjadi langkah pertamanya di telekomunikasi (telko) pascaperseteruan yang menghebohkan dengan saudara kandungnya, Anil Ambani, pada tahun 2005. Kedua pengusaha besar ini adalah putra Dhirubhai Ambani, pendiri Reliance Industries.

Sewaktu pecah perseteruan sedarah ini, Anil mengambil kendali atas portofolio telko, sementara abangnya, Mukesh, mengelola bisnis minyak. Dengan pembelian IBSL, sang kakak pun otomatis jadi penantang adiknya di jagat telko yang berkibar lewat bendera Reliance Communications.

Mukesh bercerita bahwa dia masuk ke bisnis telko karena keluhan putri tercintanya, Isha Ambani. Suatu hari, Isha, mahasiswi di Yale (Amerika Serikat) yang tengah liburan di India, mengeluhkan betapa buruknya konektivitas internet sehingga tak bisa mengirim tugasnya dengan cepat.

Mendengar keluhan itu, Mukesh makin menyadari betapa konektivitas internet di negaranya begitu buruk. Tak hanya itu, juga overprice (kemahalan), yang tak bisa dibeli mayoritas orang India.

Di tangannya, IBSL diubah menjadi Jio Platform. Nama ini mirip dengan anak perusahaan Reliance Industries lainnya bernama Reliance Jio. Nama Jio itu sendiri akronim dari Joint Implementation Opportunities. Adapun bendera resminya adalah Reliance Jio Infocom Ltd.

Pada 5 September 2016, Jio resmi meluncur sebagai jaringan mobile 4G. Hari itu di Navi Mumbai, markas besar Reliance Industries, peluncuran pemain baru ini diramaikan bintang Bollywood papan, Shah Rukh Khan, dan komposer pemenang Oscar, A.R. Rahman.

Di hadapan artis top serta para undangan, Mukesh berpidato penuh semangat. “Di era sekarang, jika Anda tidak masuk digital, serta tidak punya skill dan peranti digital yang kompetitif secara global, Anda tak akan bertahan. Anda akan terdisrupsi. Anda akan terlempar dari persaingan. Anda menjadi tidak relevan,” katanya.

Selama presentasi berdurasi 90 menit itu, Mukesh berjanji bisnis telkonya, Jio, akan mengubah masa depan internet negeri mereka. “India dan warganya tidak boleh ada yang tertinggal. Hari ini kita berada di peringkat 155 di dunia dalam hal akses mobile broadband dari 230 negara. Jio akan mengubah ini,” dia melanjutkan, penuh gelora.

Lelaki perlente ini adalah figur pebisnis yang total. Dia tak mau setengah hati bermain di bisnis telko. Apalagi, dia tahu adiknya juga bermain di sini. Tak tanggung-tanggung, lewat Jio, dana sebesar US$ 33 miliar dibenamkan untuk mengembangkan jaringan layanan broadband 4G di India. Sebagai pemain baru, Jio menantang para senior, seperti Bharti Airtel, Vodafone, Idea Cellular, dan perusahaan pemerintah, BSNL, yang mendominasi panggung telko India selama bertahun-tahun.

Mukesh adalah pebisnis jempolan. Dia cerdik. Untuk menguasai pasar, dikembangkannya low pricing strategy. Dia sediakan paket data murah dan panggilan telepon domestik gratis bagi pelanggannya.

Langkah ini sukses menarik banyak orang menjadi pelanggan. Pada awal Januari 2020, Jio sudah memiliki 388 juta pelanggan atau sekitar 32% pangsa pasar. Tahun 2021 jumlahnya melonjak menjadi 426 juta pelanggan (lebih banyak daripada populasi AS) dan menjadi jaringan telko ketiga terbesar di dunia. Di usia dini, pendatang baru ini telah menggusur perusahaan telko lainnya, termasuk Reliance Communications milik Anil Ambani.

Strategi harga murah memang jitu. Tahun 2016, sebelum Jio masuk pasar, 1 Gb di India seharga 225 rupee atau US$ 3. Mukesh langsung membantingnya. Dia menawarkan di harga 50 rupee.

Manuver ini jelas menggoyang sekaligus menantang pertempuran terbuka dengan para pemain yang lebih senior di jagat telko India. Jio membuat para operator menurunkan biaya langganan data.

Masuknya Jio tidak hanya memaksa para operator menurunkan harganya untuk bisa mendekati tarif yang ditetapkan pemain baru, tapi juga berdampak pada industri telko India. Sejak Mukesh masuk, mengacu ke data Telecom Regulatory Authority of India (TRAI), biaya akses internet telah jatuh lebih dari 93%. Sementara di sisi lain, penggunaan data terus melonjak 1.300% selama lima tahun terakhir. TRAI menyebut unduhan digital melonjak dari 6,5 miliar di tahun 2016 menjadi 19 miliar di tahun 2019, dan tak menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Jadi, apa kunci sukses Jio? Apakah harga semata?

Harvard Business Review edisi 20 Desember 2021 mengulasnya. Sejatinya, Jio tidak menginvensi teknologi baru apa pun. Lebih dari pemain bisnis tradisional, ia menjadi disruptor: layanan “freemium” yang memberikan internet gratis dengan beragam aplikasi dan solusi digital. Konsumen India yang rata-rata pendapatannya sekitar US$ 150 per bulan tak pernah punya akses ke internet cepat dengan layanan seperti itu.

Harga memang faktor penting. Namun, kecerdikan Mukesh adalah membuat gabungan antara koneksi internet kecepatan tinggi dan ekosistem digital yang sebelumnya tidak didapatkan kebanyakan konsumen India dengan harga yang terjangkau. Dia menciptakan value yang unik kepada pelanggan yang price-sensitive.

Jio menawarkan layanan 4G berikut jaringan aplikasi dengan membayar US$ 15 per bulan. Ia meluncurkan sederet aplikasi multimedia di Google Play sebagai bagian dari layanan 4G. Sedikitnya ada 13 app yang bisa digunakan, seperti JioChat, JioCloud, JioNews, JioMeet, JioMoney, JioTV, dan JioVoice.

Perusahaan ini juga tak berhenti pada layanan 4G. Tahun 2018, Mukesh meluncurkan JioFiber, layanan triple play (langganan TV kabel, telepon rumah, dan akses internet). Kemudian, Maret 2021, meluncurkan JioBusiness yang memberikan connectivity solutions untuk kalangan bisnis.

Bukan hanya di layanan, Jio juga bermain di sisi hardware. Sebelumnya, pada 2017, mereka telah meluncurkan ponsel fitur, JioPhone Next.

Semua ini jelas layanan yang menarik karena dapat mengembangkan kualitas kehidupan rata-rata penduduk yang kebanyakan tidak punya akses komputer. Jio membuat mereka bisa mengembangkan akses ke perbankan, perdagangan, pemasok, dan merchant.

Kalangan UMKM juga dapat memperbaiki koordinasi bukan hanya dengan karyawannya, tapi juga mitra pemasok yang terhubung dengan jaringan ritel milik Mukesh, JioMart. Ini sangat menguntungkan pelanggan karena dapat menekan ketidakefisienan yang muncul dari minimnya pengetahuan serta komunikasi.

Intinya, Jio menciptakan apa yang disebut “consumer environment” dengan harga yang kompetitif, yang memungkinkan banyak orang India, termasuk mereka yang berpendapatan rendah, untuk menikmati layanan internet, termasuk membeli ponsel murah. Oh ya, JioPhone Next laris manis, menguasai sedikitnya 21% pasar handset India.

Bahkan, di daerah-daerah pedesaan dilaporkan lalu lintas data internet kian meningkat. Termasuk untuk menikmati online content. Ditaksir pada 2023, streaming platform akan mencapai US$ 5 miliar, yang 2/3-nya datang dari daerah pedesaan India.

Tak mengherankan, sejumlah pemasok konten global memberi selamat kepada Jio, termasuk Google, Netflix, Amazon Prime Video, Tinder, Voot, Zee, dan Samsung. Mereka mengetahui besarnya peran operator milik Mukesh itu sehingga akses data internet terus melonjak hingga pedesaan. Bos Netflix, Reed Hastings, bahkan memberikan pujian khusus kepada Jio dan mengatakan agak bombastis bahwa setiap negara mestinya punya operator seperti Jio.

Dari nol, Jio kini menguasai 33,4% pasar telko India. Posisinya diikuti Airtel (28,3%) dan Vodafone Idea (27,5%). Sementara pemain lain seperti Aircel, Tata Teleservices, dan Telenor sudah menghentikan operasinya karena tak kuat bersaing.

Kendati sukses, Mukesh tak bisa menempuk dada seenaknya. Kemampuan Jio menciptakan “consumer environment” lewat aneka aplikasi yang bersifat bundling ini tak bisa dilepaskan dari peran pemain global yang mendukungnya. Sebab, Jio adalah contoh penerapan konsep co-opetition ketika para pesaing berkolaborasi di satu wilayah bisnis alih-alih saling gempur.

Ya, sejumlah raksasa global menciptakaan kemitraan dengan Jio untuk mengaplikasikan teknologi yang mereka buat. Fiber optik Jio memfasilitasi Xcloud milik Microsoft, produk-produk Google seperti YouTube dan Google Maps, serta WhatsApp Pay milik Facebook untuk digunakan orang-orang India.

Kemitraan dengan Microsoft memberikan Jio kemampuan melayani teknologi dan infrastruktur komputasi awan untuk bisnis UMKM. Bersama Microsoft, Jio juga menghadirkan produk Office 365 dan platform cloud Azure.

Integrasi dengan WhatsApp Pay memberikan konektivitas antara merchant dan pembeli. Sementara itu, handset 4G Jio bisa dibanderol US$ 20 karena kerjasama dengan Google. Berikutnya, kemitraan dengan Intel dan Qualcomm akan membuat Jio masuk ke layanan 5G.

Mukesh masih memiliki banyak rencana untuk ekosistem Jio. Namun, lagi-lagi itu akan memanfaatkan dukungan para pemain global. Para pemain besar itu tentunya tak keberatan membuat co-opetition. Alih-alih bertempur merebut pasar, mereka bersatu lewat Jio. Semacam win-win situation yang tentunya menjadi harapan semua pihak. (*)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved