Entrepreneur

Aset, Investasi, dan Cinta Bermuara di Susan Spa Resort

Aset, Investasi, dan Cinta Bermuara di Susan Spa Resort

Bisnis salon dan album foto yang dibangun Freddy dan Lanny sejak lebih dari 30 tahun lalu, terus berkembang. Bahkan, sejoli ini kian ekspansif dengan mengibarkan Susan Spa Resort yang kini amat kondang di kawasan wisata Bandungan, Semarang.

Dari jendela kamar di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, gugusan gunung bak permadani hijau di antara biru langit terhampar memaku mata. Cahaya semburat dan sepoi angin menerbangkan semua keletihan. Sejauh mata memandang, pahatan alam terbentang, membingkai alam Bandungan bak negeri khayangan.

“Selamat datang di Susan Spa Resort, selamat menikmati pemandangan alam nan cantik,” sapa Freddy Sinatra, sang pemilik resor. Dibalut celana hitam dan kemeja bergaris, lelaki ramah ini mengajak SWA berkeliling melihat berbagai fasilitas yang ditawarkan. Mulai dari tempat spa, kolam renang, jacuzzi, sauna, studio kebugaran, arena bermain anak, restoran, Eden Park, ruang pertemuan, ballroom, dan La Kana Chafel. “Ini satu-satunya kapel di dunia yang berada di atas awan,” ungkapnya berseloroh. Sepertinya Freddy tidak bercanda. La Kana berdiri megah di lereng Gunung Ungaran dengan arakan awan putih yang menjuntai bak selendang bidadari.

Sejak dibangun tahun lalu, kapel berkapasitas 48 orang ini banyak diminati pasangan pengantin yang ingin menyelenggarakan pemberkatan pernikahan dalam suasana yang sangat berbeda. “La Kana menawarkan konsep baru sebuah pernikahan modern, standing garden party, live cooking, dengan udara yang sangat sejuk dan pemandangan alam yang menakjubkan,” tutur Freddy. Meski diakuinya, sejatinya, La Kana tak semata bisa digunakan untuk kalangan pemeluk agama Nasrani. Taman dan halaman yang mengelilingi kapel yang mampu menampung 500-an orang bisa dijadikan tempat perhelatan pesta. “Bisa resepsi pernikahan atau gathering lainnya,” katanya. Bahkan, ballroom di bawah kapel yang tengah dalam pembangunan ini bisa menampung lebih dari 1.000 orang. “Ini juga satu-satunya ballroom di dunia yang berada di bawah kapel,” tambah Freddy. Seiring pembangunan ballroom, Freddy akan menambah 10 kamar dari 22 kamar yang saat ini sudah tersedia. Ditargetkan, pertengahan tahun ini ballroom bisa beroperasi dan akhir tahun penambahan kamar sudah rampung. “Setelah itu, saya rasa sudah selesai, sudah mentok, sudah capek, ora enek duite (tidak ada uangnya – Red.),” katanya sambil tertawa.

Meski tak mau menyebut angka investasi, membangun Susan Spa Resort pastinya menghabiskan dana yang tidak sedikit. Berdiri di atas lahan puluhan ribu meter persegi, bahan material yang digunakan mencerminkan resor bintang lima. Mulai dari pernak-pernik interior lobi, kamar, spa, kolam renang dan jacuzzi. “Kalau ada yang berani membangun resor melebihi Susan di Bandungan sini, pasti dia orang gila,” ungkap Jusuf, arsitek yang merancang ballroom Susan. Dengan bahasa lain, ia mau menegaskan bahwa diperlukan dana besar untuk bisa menyaingi Susan. “Di Bandungan, Susan yang paling top. Dari fisik bangunan dan fasilitas, belum ada yang menandingi,” tambahnya.

Senada Jusuf, Manajer Penjualan & Pemasaran Susan Spa Resort, Rengga Bayu Inggil, mengatakan, resor yang bermunculan di Bandungan hampir semuanya menjual pemandangan alam. “Untuk itu, kami harus punya diferensiasi yang unik, yang tidak dimiliki resor lain,” ungkapnya. Selain fasilitas La Kana Chafel, spa, dan paket bulan madu, pihaknya juga menawarkan fasilitas meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE). “Ini juga kami genjot dan ternyata direspons sangat bagus oleh banyak korporat,” ujar Rengga.

Untuk pasar MICE, tersedia berbagai ruangan mulai dari yang berkapasitas 50 sampai 150 tamu. Eden Park juga kerap dipakai untuk gathering yang menampung sampai 800 tamu. Perusahaan besar di Jawa Tengah, bahkan dari Jakarta, kerap mengadakan gathering dan rapat kerja di Susan, seperti Gudang Garam, Telkom, PLN, Unika, dan lainnya. Ketika syuting film kolosal Merah Putih, produser, sutradara dan para pemain utama menginap di Susan selama hampir satu setengah bulan. Menurut Rengga, selama ini aktivitas pemasaran yang dilakukan lebih mengandalkan jurus getok tular. “Untuk wilayah Ja-Teng, kami melakukan sales call ke perusahaan-perusahaan besar sedangkan di luar Ja-Teng sampai Singapura, kami menggunakan website, BlackBerry Messenger, Facebook dan Twitter,” tuturnya. Ia menambahkan, hampir setiap hari ada kegiatan MICE. “Kalau weekend malah penuh.”

Resor yang berlokasi di Dusun Piyoto, Bandungan, yang masuk wilayah Kabupaten Semarang ini diakui Freddy dibangun secara tidak sengaja. “Awalnya, kami hanya mau buat vila untuk pribadi, ya untuk istirahat menghabiskan masa tua,” katanya.

Ketika itu, tahun 1997, diceritakan sang istri, Lanny Riana Dewi, ada seorang kawannya yang menawarkan tanah di Bandungan. “Saya pikir buat investasi saja. Waktu itu kami beli hanya ratusan meter.” Karena krisis, vila dengan empat kamar tidur itu baru dibangun tahun 2000.

Setelah dibangun, Freddy justru berubah pikiran. Ia merasa dirinya dan istri biasa dikelilingi teman-teman. “Kalau hanya vila, kami akan kesepian karena tidak ada teman, kami akan bosan,” tutur Freddy. Terbersit ide membangun tempat spa. “Kalau ada tempat spa, ada orang-orang yang mengunjungi kami, jadi kami ada teman,” imbuhnya. Dipilihnya spa karena di sekitar Bandungan, meski vila mulai menjamur, belum ada yang menyediakan fasilitas spa. “Kami yang pertama membuat spa di sini,” katanya.

Tak hanya di Bandungan, pasangan Freddy dan Lanny pun tercatat sebagai pionir bisnis spa di Semarang. Lewat Susan Salon Spa yang berlokasi di Jl. Seroja Timur, Semarang, lebih dari empat windu, pasangan ini menggelindingkan bisnis spa. Bermula dari Seroja, denyut bisnis Freddy dan Susan kemudian merambah dunia hospitality. “Resor, wedding, spa, kecantikan masih saling bersentuhan,” tutur Lanny.

Spa dengan nuansa alam, sentuhan etnik, produk natural, dilengkapi dengan sauna, jacuzzi, dan kolam renang yang memanjakan tubuh ternyata mampu menyedot pengunjung Susan Spa Bandungan. “Di sini tamu dimanjakan dan dibuat nyaman sejak mereka datang sampai pulang,” ungkap Lanny. Meski harus menempuh perjalanan sekitar satu jam dari Semarang, banyak orang berkunjung ke Susan hanya untuk spa. Bahkan, untuk bisa menikmati Spa On The Sky, harus memesan jauh hari sebelumnya. Perawatan spa di kamar yang menjorok dengan pemandangan hamparan gunung dan bentangan langit biru ini memang menjadi favorit. “Sembari relaksasi, mata dimanjakan dengan pemandangan alam, makanya Spa On The Sky ini jadi rebutan,” ujar Vonny Evelyn Jingga, Konsultan Pengembangan Susan Spa Resort, yang siang itu menemani SWA berkeliling. Dijelaskan Vonny, sebelumnya malah Spa On The Sky ini dibiarkan terbuka sehingga semilir angin semakin menyejukkan. “Ini kan di atas sekali, angin terlalu kencang, jadi dibuat berkaca seperti ini biar gak masuk angin,” katanya setengah bercanda.

Diakui Freddy dan Lanny, keberadaan Susan Spa Resort seperti sekarang ini sangat di luar dugaan dan rencana. Rencana semula, mereka berdua hanya ingin membangun spa dengan konsep alam. “Basisnya spa, terus bikin kafe untuk kongko, terus berkembang ada resto, terus katering karena ada event, terus berkembang lagi bikin kapel, terus bikin ruang serba guna,” paparnya. Semua tahapan perkembangan fasilitas dilakukan karena dorongan permintaan pasar dan melihat peluang. “Awalnya, kami tidak pernah terpikir membangun resor, ternyata banyak yang minta menginap, ya sudah vila pribadi itu akhirnya disewakan,” ujarnya. Yang semula vila itu kini menjadi guest house. Dari hanya empat kamar, permintaan makin banyak kemudian ditambah menjadi 22 kamar. “Akhir tahun ini akan ada penambahan 10 kamar,” ujarnya.

Ditegaskan Freddy, Susan Spa Resort tidak dirancang dari awal seperti sekarang. “Tidak ada blue print dari awal akan menjadi seperti sekarang ini, ide itu timbul seiring berjalannya waktu,” ujarnya. Seperti kapel, ia mengaku terinspirasi melihat kapel di Uluwatu, Bali. Mereka juga mengombinasikan dengan kapel yang mereka lihat di berbagai belahan bumi lainnya. “Masak mau pemberkatan mesti terbang ke Bali, kami mencoba membangun di sini, dan ternyata responsnya bagus,” ungkapnya. Ballroom dengan kapasitas 1.000 tamu pun dibangun karena melihat animo pasar. Sering kali tak sekadar pemberkatan tetapi sekaligus pesta sehingga membutuhkan ruangan yang lebih luas. “Peluang tersebut yang coba kami tangkap dan kami kembangkan,” ucap Freddy yang terlihat bugar di usia yang sudah melewati 60.

Bagi mereka, Susan Spa Resort adalah aset dan investasi. “Kami membangun bertahap, punya uang sedikit ditempelkan. Beli tanahnya juga gak sekaligus ribuan meter, sedikit-sedikit,” ujarnya. Ditambahkan Lanny, dengan cara mencicil itu justru mereka merasa puas karena sama sekali tidak bersentuhan dengan bank. “Ya ada uang, kami tempelkan, ada uang kami tempelkan, begitu terus,” timpal Lanny. Karena juga menjadi aset, mereka benar-benar membangun sesuai dengan keinginannya. Tak pelak, atmosfer yang dibangun di Susan Spa Resort mencerminkan jiwa Lanny dan Freddy yang penuh kecintaan dalam bekerja.

Menurut Lanny, pengembangan bisnis yang dilakukan mereka sejatinya tidak lepas dari cikal bakal bisnis awal. Lanny memulai bisnis dengan salon, 36 tahun lalu. Salon Susan di Semarang sampai saat ini tercatat sebagai satu-satunya salon terlengkap dan terbesar. Lanny terjun di dunia kecantikan dengan membuka salon sejak 1975. Ketika itu ia masih lajang berusia 21 tahun. “Waktu itu saya sudah berpacaran dengan Bapak, ya sudah saya beri nama salon saya dengan nama Susan,” ceritanya. Freddy sendiri, ketika itu tengah membangun bisnis album foto. Freddy memulai bisnis saat masih berusia 17 tahun. Ia mengikuti jejak sang ayah yang memang membuka usaha pembuatan album foto kecil-kecilan di Semarang.

Tahun 1977, Lanny dan Freddy menikah. Mereka fokus mengembangkan bisnis masing-masing. Dewi Fortuna menghinggapi mereka. Susan Photo Album berkembang pesat. Bahkan, pada 1976, Susan Photo Album sudah merambah pasar luar negeri. Menurutnya, keberhasilannya menjaring pasar karena album foto hasil karyanya berbeda dari album yang beredar di pasaran. “Lukisan dan desain menjadi ciri khas album foto Susan,” katanya.

Perkembangan Susan Photo Album bahkan makin ekspansif. Tahun 1987, bisnis rumahan pun berganti dengan pabrik seluas 8.000 m2, masih di Semarang. Tahun 2002, Freddy mulai melibatkan anak sulungnya, Lio Adrian, pertumbuhan Susan Photo Album semakin tak terbendung. Di tangan Lio, menggurita dengan berbagai produk: Susan Album, Susan Pro, Evita, dan E-Pro. Pasar ekspor pun makin membesar. Saat ini, menurut Lio, pasar ekspor menyerap lebih dari 50% produksi Susan Album. Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan negara-negara Timur Tengah adalah sebagian pasar luar negeri yang digarap Susan Album.

Bagaimana dengan bisnis Lanny? Sami mawon. Salon yang dikembangkannya laris manis. Bermula dari salon konvensional yang menyediakan jasa gunting rambut, rias wajah, dan facial, sejak 1996 dilengkapi perawatan wajah dengan alat teknologi canggih dan spa. Sejak 6 tahun lalu, Lanny juga merambah jasa bridal. Sejak 15 tahun lalu pula, salonnya yang semula hanya menempati ruang kecil di rumah peninggalan orang tuanya, berkembang menjadi tiga lantai. Lantai bawah khusus untuk perawatan rambut, tata rias dan perawatan wajah. Lantai dua untuk spa dan bridal. Lantai tiga untuk fasilitas kebugaran. Salon yang mengkhususkan segmen perempuan ini akan dikembangkan dengan menambah pasar remaja perempuan. “Dalam waktu dekat, kami akan merenovasi salon ini mengikuti tren yang tengah berkembang, mungkin dari sisi desain lebih mengarah ke minimalis dengan sentuhan klasik dan etnik,” ujar perempuan yang terlihat awet muda di usianya yang kini 56 tahun.

Sejak kecil Lanny memang sudah akrab dengan dunia kecantikan. Sebagai anak tunggal, ia sering menemani ibunya ke salon. “Saya waktu kecil ngintil terus Ibu, lagi di-facial, keriting rambut, ya saya tungguin,” katanya. Umur 15 tahun, ia kemudian belajar merias wajah untuk diri sendiri di salon langganan ibunya itu. Lulus SMA, ia sempat masuk Universitas Diponegoro mengambil jurusan Sastra Sejarah. Karena jadwal kuliah yang saat itu belum teratur, ia dilanda kejenuhan. Akhirnya, ia memutuskan keluar di tingkat dua.

Karena sudah jatuh cinta pada dunia kecantikan, ia pun terbang ke Singapura untuk memperdalam bidang ini. Setelah menikah dengan Freddy, sembari mengembangkan salon, ia tak kenal lelah menuntaskan dahaganya akan ilmu kecantikan. Berbagai pameran kecantikan dan spa di Jepang, AS, Eropa, Hong Kong disambangi. “Ke ujung dunia pun dikejar saking ia suka dan ingin terus belajar,” ungkap Freddy. “Saya tidak pernah sendiri, Pak Freddy selalu menemani saya sehingga kami belajar bersama-sama,” imbuh Lanny.

Mengunjungi berbagai pameran membuat mereka up-to-date terhadap dunia bisnis yang mereka geluti. Tak heran, mereka beberapa langkah lebih maju, baik dari sisi inovasi produk maupun pelayanan. Sampai saat ini pun mereka berdua tak pernah melewatkan kesempatan melihat berbagai pameran kecantikan. Beberapa tahun terakhir ini mereka berdua pun rajin mendatangi pameran perhotelan dan food & beverages.

Lanny dan Freddy mengaku selama ini mereka selalu fokus pada bidang yang digeluti. “Kami juga sampai sekarang tetap terjun bekerja,” tutur Lanny. Berbeda dari pemilik salon dan spa kebanyakan yang hanya sebagai investor, Lanny sampai saat ini masih terjun. “Biasanya orang hanya punya modal kemudian diserahkan ke asistennya,” tambahnya. Untuk perawatan wajah yang menggunakan alat, sampai sekarang masih dipegang Lanny. Bahkan, sesekali Lanny masih memotong rambut dan merias kalau pelanggan memintanya. “Kalau pelanggan ada yang minta, ya saya penuhi,” katanya.

Dari dulu, Lanny memang suka menunggui salon, ada tamu atau tidak. “Mungkin itu yang membuat tamu menjadi senang karena setiap mereka membutuhkan saya, saya selalu siap di tempat,” katanya. Selain menghadirkan produk berkualitas, pelayanan dengan hati, diakui Lanny, adalah kunci keberhasilan salonnya sampai saat ini. “Kami harus memberikan yang terbaik dan dengan hati,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Freddy. Menurut sulung dari lima bersaudara kelahiran Jawa Timur 23 Agustus 1946 ini, sejak awal menggeluti bisnis, ia memang menunaikan filosofi memberikan yang terbaik dan bekerja dengan hati. “Apa pun pekerjaan itu, kami harus mencintai pekerjaan yang kami lakoni, kalau mau berhasil ya harus dengan hati,” ujar Freddy yang menularkan filosofi itu kepada dua anaknya.

Keberhasilan bisnis, menurutnya, juga harus ditopang dengan fokus, konsistensi dan ketekunan. “Kalau gagal, jangan langsung menyerah tapi harus dicoba lagi dan tetap fokus hingga meraih keberhasilan,” katanya menasihatkan. Untuk memberikan yang terbaik, Freddy yang memang dasarnya senang memasak menjadwalkan seminggu dua kali ke pasar berbelanja bahan masakan untuk Susan Spa Resort. “Saya bisa memilih sendiri mana yang kualitasnya nomor satu, kalau nomor dua, aku emoh,” katanya. Menjaga kualitas produk, ditandaskannya, sudah harga mati. “Jangan menurunkan kualitas dan selalu mencari yang terbagus buat pelanggan, kepuasan pelanggan itu kunci agar bisa tetap bersaing.”

Ditambahkan Lanny, dalam berbisnis, jangan selalu hitungannya uang dan untung. “Kalau selalu berpikir untung sehingga dikejar terus, akhirnya lupa pada kualitas,” ujarnya. Meski ia tidak menafikan uang. “Selama kami memberikan yang terbaik, uang akan mengikuti.” Mereka pun sepakat untuk terus mengasah kemampuan meski sebagian bisnis sudah diserahkan kepada anak-anak. “Harus terus belajar kalau mau pintar, jangan pernah berhenti belajar,” timpal Freddy.

Dengan belajar, mereka saling melengkapi dan mendukung. Untuk urusan bisnis kecantikan, Lanny yang pegang peranan. Sementara pengembangan bisnis Susan Spa Resort di tangan Freddy. “Kami juga harus semeleh, jangan memikirkan sesuatu di luar jangkauan. Kalau kuat ya dipikir, kalau tidak ya ditaruh saja. Saya kalau ketemu bantal langsung tidur, saya tidak mau mikir yang berat-berat,” tutur Freddy yang piawai memasak.

Bagi Lanny, pencapaian bisnisnya saat ini adalah berkah dari Tuhan. “Puji Tuhan, semua ini berkah dari Tuhan,” katanya. Sebagai rasa syukur atas keberkahan itu, Lanny dan Freddy tak pernah pelit membagi ilmu kepada anak buahnya. “Saya suka mengajari masak, kalau mereka pintar saya ikut senang,” katanya. Begitu pula Lanny, ia dengan telaten mengajari anak buahnya seluk-beluk dunia kecantikan. Bagi Lanny, keterampilan tangan karyawan menjadi salah satu pemicu kepuasan pelanggan. “Di sini orang dimanjakan betul, produk disesuaikan, lebih teliti, alat estetika terbaru,” ujarnya. Sejak awal dibangun, Susan Salon memang menyasar segmen menengah-atas, begitu pun Susan Spa Resort.

Bagi mereka, Susan adalah berkah. Meski tak ada satu pun anggota keluarga yang bernama Susan. “Memilih nama Susan karena simpel dan mudah diingat, dilafalkan,” kata Freddy. Kini, Susan telah menjadi ikon bisnis Freddy dan Lanny.

BOKS:

Tonggak Sukses Freddy dan Lanny

1964: Freddy memutuskan mengikuti jejak sang ayah membuat album foto dengan nama Susan Album di Semarang. Ia mengawali dengan membuat 20 eksemplar album dari bahan karton, desain simpel, dan handmade.

1966: Freddy menjajal pasar Jakarta.

1975: Lanny mendirikan Susan Salon di Jl. Seroja Timur, Semarang.

1976: Susan Album ekspansi dengan merambah pasar luar negeri.

1987: Susan Album makin ekspansif dengan pembangunan pabrik seluas 8.000 m2 di Semarang.

1996: Susan Salon mengembangkan layanan spa pertama kalinya di Semarang, dilengkapi perawatan tubuh dan wajah dengan peralatan dan teknologi canggih.

2001: Masuk bisnis bridal dengan mengibarkan Susan Bridal.

2002: Di bawah komanda Lio Ardian, anak sulung Freddy dan Lanny, Susan Album makin moncer dengan mengembangkan berbagai lini: Susan Pro, Evita, dan E Pro.

2004: Membangun Susan Spa Resort di Dusun Piyoto, Bandungan, Semarang, yang rencana awalnya hanya untuk peristirahatan keluarga. Karena permintaan pasar berkembang menjadi resor dan layanan spa pertama di Bandungan.

2010: Membangun La Kana Chafel.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved