Entrepreneur

Bebek Goreng Pak Ndut, dari Solo ke Mancanegara

Bebek Goreng Pak Ndut, dari Solo ke Mancanegara
Agus Ahmadi, Pemilik Bebek Goreng Pak Ndut

Agus Ahmadi, Pemilik Bebek Goreng Pak Ndut (Doc. SWA)

Bisnis keluarga yang dimulai tahun 1997 di Solo ini, berawal dari warung makan kecil di depan rumah sang pemiliknya yaitu Sri Sabianti. Perempuan berusia 57 tahun itu memulai usaha dengan menjual berbagai jenis makanan seperti gado-gado, ayam bakar, ayam goreng, sate, bebek goreng, dll. Tetapi menu yang paling laku dibeli adalah bebek goreng dan ayam.

Kemudian muncul ide untuk membuka warung makan bebek goreng.Warung kecil itu pun dimulai dengan 2 meja dan kursi makan milik pribadi. Sedangkan untuk nama Bebek Goreng Pak Ndut dipilih karena suami sang pemilik memiliki tubuh yang gendut. Dalam perjalanannya, bebek goreng pun mulai melebarkan sayapnya menjadi sebuah perusahaan, yaitu PT Indo PD Mandiri.

Dapat dikatakan tahun 2002 merupakan batu loncatan pertama untuk bisnis ini. Agus Ahmadi, anak pemilik yang meneruskan bisnis orangtuanya ini memutuskan tidak melanjutkan bekerja sebagai TKI di Korea dan kembali ke Indonesia. Ia mulai membangun manajemen dan meminta kepada sang ibu untuk membesarkan warung bebeknya.

“Saya sempat menemui kendala karena ibu merasa sungkan dengan tetangga sekitar rumah, 2 tahun kemudian baru mendapat persetujuan. Warung kecil di depan rumah saya perluas hingga ke ruang tamu. Bahkan seluruhnya sudah menjadi warung makan. Hanya menyisakan satu kamar untuk bapak dan ibu, karena beliau tidak ingin pindah rumah,” katanya.

Dimulainya Bisnis Waralaba

“Tahun 2004, saya sempat duduk lama di parkiran gerai KFC. Saya berpikir masa mereka bisa laris ke seluruh dunia, Bebek Goreng Pak Ndut juga bisa,” ujar pria kelahiran Sragen, 20 Januari 1973 ini sambil tertawa.

Memiliki visi menyediakan makanan halal ke seluruh dunia, Bebek Goreng Pak Ndut memulai membuka franchise (waralaba). Tahun 2009, ketika satu rumah sudah menjadi warung makan, banyak pelanggan yang meminta untuk membuka cabang pertama. Saat itu, karena tidak mengetahui bagaimana cara mengelolanya, ia banyak membaca buku terkait bisnis tersebut.

Berbagai kendala ia temui seperti franchise yang tidak menjaga SOP pusat. Adapula masalah transportasi untuk mengirim bebek, dimana setiap pengiriman tersebut harus sampai di tujuan maksimal tiga hari. Semua pasokan bebek dan bumbu dikirim dari kantor pusat 3 kali dalam seminggu sebanyak 1500 potong/hari untuk semua outlet.

Bebek-bebek tersebut dibeli dari peternak bebek di wilayah Jawa Timur, dimana dipilih bebek yang sudah tidak bertelur dengan umur sekitar 1,5 sampai 2 tahun. Untuk pendistribusian, terdapat 5 koordinator yang akan diaudit kinerjanya setiap setahun sekali. Selain itu untuk menjaga standar mutu, perusahaan sedang membangun Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang berstandar nasional.

Untuk menjaga kelangsungsan bisnisnya, perusahaan memperkuat sistem. Ia mengatakan bahwa perusahaannya menjual sistem. Banyak orang yang mahir memasak bebek, tapi sistem bisnis yang kuat adalah utama. “Target kami dapat mengontrol dari hulu ke hilir, dari peternak sampai konsumen akhir. Keamanan supplai, SOP harus ditaati franchise untuk mejaga kekuatan brand,” tambahnya.

Keahliannya menjalankan bisnis franchise pun diakui oleh rekan bisnisnya.“Dalam membeli franchise saya juga mempertimbangkan image dari perusahaan dan sistem di dalamnya, sehingga sampai sejauh ini saya merasa senang bekerja sama dengan Pak Agus. Ia juga memacu kinerja dari setiap franchise seperti memberi reward dan punishment,” ungkap Bagyo Ratmanto, pemilik 3 outlet franchise di Depok dan Bogor.

Sudah 18 tahun berdiri, sekarang ia sudah memiliki outlet ke 54. Dimana 3 outlet dikelola pusat, yaitu di Solo, Kartosuro, dan Balikpapan. Sedangkan sisanya merupakan franchise yang tersebar di seluruh Indonesia seperti pulau Jawa, Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, dll. Selain itu juga terdapat satu outlet di Singapura.

Dalam memilih wilayah outlet, ia mempertimbangkan berbagai alasan seperti market konsumen sudah terbentuk, dimana lokasi tersebut merupakan daerah kuliner dan strategis. Selain itu, ia membidik segmen keluarga.

20151221_130846

Doc. Tifa/SWA

Untuk menu Bebek Goreng Pak Ndut menyajikan menu yang lebih variatif seperti bebek sangan, bebek lada hitam, dan bebek asam manis. Dari semua menu, hampir 70 persen yang paling sering dibeli adalah bebek sangan, yaitu bebek yang disangrai atau digoreng tanpa minyak dengan penggorengan tanah. Dalam penentuan harga, ia menyesuaikan dengan lokasi outlet. Jika di wilayah Jawa Tengah kisaran harga makanannya Rp 16 ribu- Rp19 ribu, di Jabodetabek dan luar Jawa bisa mencapai Rp 21 ribu- Rp 30 ribu.

“Dari semua gerai, yang paling laris di Kalimantan Timur. Daya beli disana tergolong tinggi dan banyak pendatang. Kami memiliki 3 outlet disana, yaitu satu di Balikpapan dekat Bandara Sepinggan, lalu 2 di kota Samarinda,” ungkapnya.

Promosi pun gencar dilakukan, baik melalui media konvensional seperti koran lokal, hingga media social, flyer, dll. Begitu pun ketika melakukan grand opening pun, pemilik akan mengirimkan voucher makan ke perkantoran sekitar. Agus mengatakan bahwa sekitar 50 persen peran media cetak sangat besar untuk mendongrak penjualan. Hal ini terbukti bahwa dalam setahun omset franchise naik hingga diatas 50 persen.

Target Bisnis 2016

Memasuki tahun 2016, Bebek Goreng Pak Ndut memiliki banyak target baru. Jika di tahun 2015, perusahaan membangun satu outlet setiap bulan, maka tahun depan akan naik menjadi 3 outlet/bulan di seluruh Indonesia. Salah satunya ialah merambah wilayah Indonesia Timur, yaitu Maluku dan Papua.

Tetapi menurut pria lulusan D3 Bahasa Inggris Kampus ABBA Solo ini, untuk memasok bahan baku kesana masih terkendala transportasi. Untuk pengiriman ke Maluku masih akan menggunakan pesawat karena dapat ditempuh dalam waktu 1 hari. Sedangkan untuk wilayah Papua kemungkinan akan menggunakan kapal yang memiliki freezer.

Tidak puas hanya di Indonesia, tahun depan negara seperti Mekkah, Madinah, Berlin, dan Malaysia akan menjadi franchise selanjutnya. Kendala membuka franchise diluar negeri adalah sulit mencari tenaga kerja. “Waktu saya buka di Singapura, perbandingan SDM itu 5 berbanding 1, itu berarti 5 pekerja Singapura dan hanya 1 orang Indonesia. Padahal orang Singapura jarang yang ingin kerja di resto. Akhirnya setelah setengah tahun, baru dapat satu pekerja Indonesia, dan itupun orang kantor pusat yang dikirim untuk kerja disana,” katanya.

Nantinya di tahun 2016, outlet sudah ada 5 negara. Sehingga total hingga akhir tahun depan terdapat 36 outlet franchise. Sedangkan outlet yang dikelola pusat, direncanakan akan ada di Balikpapan, Tenggarong, Bontang, dan Tarakan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved