Entrepreneur

Gelar Doktor Bukan Indikator Sukses Tidaknya Berbisnis

 Gelar Doktor Bukan Indikator Sukses Tidaknya Berbisnis

wordpress.com

Sukses tidaknya sebuah bisnis, kata Julianto Sidarto, Managing Partner Accenture, bukan ditentukan dari gelar doktor. “Menurut saya, entrepreneur itu orang yang punya bakat etrepreneur. Karakteristik ini tidak bisa didapat semua orang,” ujarnya. Dia menyebut statistiknya, bahwa di Amerika Serikat hanya 4% dari populasi yang masuk dalam young entrepreneur, sedangkan di Indonesia sebagaimana disebutkan Ciputra hanya 0,5%.

Menurutnya, entrepreneur harus memiliki feeling, tidak semuanya scientific. Pebisnis yang bagus itu ada good feeling yang tidak bisa dimiliki banyak orang. Julianto juga memandang, ada orang yang berbakat menjadi entrepreneur, tapi ada juga yang bakatnya sekolah. Namun, ada pula yang kebetulan punya bakat dua-duanya: entrepreneur dan akademis.

Sebagai entrepreneur, menurut Julianto, seorang doktor dapat mengkonversikan bisnisnya. Contoh, orang yang punya garasi, bisa dijadikan ruang berbisnis. Lalu seorang entrepreneur yang doktor, akan menganggap hal itu sebagai aset lantaran memiliki network dan pengetahuan. “Tapi, kita tidak bisa mengatakan mengapa doktor sukses berbisnis, karena ada juga yang tidak sekolah bisa membuat bisnis lebih besar dari yang doktor,” ujarnya.

Julianto melihat S3-nya orang-orang itu, “is nothing more”. Artinya, selain sebagai satu aset seperti entrepreneur lain punya aset yang jenis lain yang bisa digunakan untuk menjalankan bisnis.

Lalu mengapa peneliti itu banyak di menara gading, dan tidak bisa mengkonversikan menjadi bisnis? “Saya pikir, memang mayoritas seharusnya seperti itu,” jawabnya. Karena entrepreneur yang menjalankan bisnis, dia mana ada waktu untuk meneliti, atau sebaliknya yang kalau peneliti, mana ada waktu untuk menjalani bisnis. “Saya tidak akan bicara superman yang bisa menjalankan kedua-duanya, yang mungkin hanya satu-dua orang saja,” tuturnya. Peneliti itu kerja bisa 12 jam sehari, sehingga kapan bekerjanya sebagai entrepreneur.

Para doktor itu fokus di riset dan pengembangan, ujar Julianto, mereka adalah yang memikirkan jauh ke depan. “Mikir di awang-awang, di menara gading. Dia yang berpikir tentang sesuatu yang berguna 20 tahun dari sekarang, dia tidak dibatasi oleh target bulan depan untung atau tidak. Kalau orang bisnis harus berpikir to day and tomorrow, untuk kelanjutan usahanya,” jelasnya.

Mereka yang berhasil baik sebagai doktor maupun entrepreneur, tidak banyak. Di negara yang R&D-nya lebih maju seperti Amerika, tidak banyak yang bisa mencapai entrepreneur dan juga sebagai doktor. “Doktor itu lekat dengan R&D, yang membuat sesuatu tidak digunakan sekarang, tapi menghabiskan uangnya sekarang, returnnya belum tentu,” tuturnya.

R&D bisa dilakukan oleh perguruan tinggi, bisa dibiayai oleh negara seperti NASA, dan juga perusahaan atau swasta. Menurut Julianto, riset di Amerika infrastrukturnya sudah jalan, sehingga riset tidak lalu cepat memikirkan bagaimana mengkomersialkannya. Lebih memikirkan apa yang ingin diwujudkan dari riset tersebut. Apa yang ingin dihasilkan dari penelitian tersebut. Karena hasilnya mungkin baru bisa dicapai pada 20-50 tahun ke depan.(Herning Banirestu/EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved