Entrepreneur zkumparan

Githa Nafeeza, Sosok Wanita di Balik Resto Shabu Hachi

Githa Nafeeza, Sosok Wanita di Balik Resto Shabu Hachi

Siapa menyangka unggahan foto buku menu yang memperlihatkan Maid Menu di Shabu Hachi jadi viral di media sosial? Githa Nafeeza, pemilik resto, tidak menduga niat baiknya berbuah cemoohan. Wanita cantik ini awalnya hanya berpikir, daripada para pembantu/baby sitter yang mengantarkan keluarga makan di restorannya tidak ikut makan, lebih baik diberi menu khusus dengan harga khusus buat mereka. “Tidak ada maksud merendahkan profesi pembantu/baby sitter ataupun mendiskriminasi mereka. Saya nggak pernah mikir kata ‘maid‘ negatif,” ungkapnya. Akhirnya, Githa memutuskan, daripada berpolemik, daftar menu tersebut dihapus dan Shabu Hachi menyediakan makan gratis bagi pengantar/baby sitter tamu pelanggannya.Githa Nafeezaa

Githa Nafeeza, Pendiri Resto Shabu Hachi

Githa mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Menurutnya, kejadian itu justru a blessing in disguise bagi Shabu Hachi. Restoran shabu-shabu all you can eat yang selalu dipadati keluarga atau rombongan besar ini justru makin ramai, terutama pada akhir pekan. “Intinya, saya mau bilang terima kasih tentang masukan (di media sosial) itu,” ujar wanita yang sebelumnya dikenal sebagai anchor di beberapa stasiun televisi, antara lain Trans TV dan Metro TV ini.

Sejak empat tahun lalu, Githa bersama suaminya, Sudjarwo Budiono, membangun bisnis food & beverage (F&B). Restoran pertama yang dibangun adalah Nafeeza Steak di daerah Ampera, Jakarta Selatan. Setelah satu tahun berjalan, ia dan suami melihat perkembangan masyarakat kini makin memperhatikan kesehatan. Selain itu, dari segi pengelolaan ia mencari yang lebih simpel. “Resto yang dulu menunya macam-macam. Kami jadi bermasalah di penanganan dapur dan pelayanannya,” ungkapnya.

Penyuka olahraga Muathai ini kemudian memutuskan mengganti restonya menjadi restoran shabu-shabu di lokasi yang sama. Diberi nama Shabu Hachi, resto ini menyasar menengah- atas. “Konsep resto: all you can eat, dengan masak sendiri,” kata Githa. Lulusan S-1 Hubungan Internasional Universitas Parahyangan Bandung dan S-2 Prasetiya Mulia ini berpendapat, dengan memasak sendiri di mejanya, pelanggan mendapatkan experience.

Githa dan suami fokus di bisnis F&B karena meyakini bisnis ini akan kuat, di kala krisis sekalipun. Tren pun terus naik. Tantangan di bisnis resto dengan konsep ini, menurutnya, harus benar-benar teliti memilih bahan. Sayuran harus benar-benar segar.

“Kunci kami bukan sekadar customer services, tetapi customer care yang excellent,” ujarnya. Menurutnya, customer services cenderung pasif, setelah ada problem baru ditangani, sedangkan customer care lebih proaktif. Contoh, pelanggan lanjut usia dilayani lebih, bahkan diambilkan bagi yang sulit bergerak. “Saya dan suami suka ngobrol dengan customer,” katanya. Saat ini Shabu Hachi ada di Jakarta (Ampera dan Lebak Bulus), Bandung, dan Bogor. Dalam waktu dekat Githa akan buka di Jalan Veteran Bintaro dan Bandung. Jadi, menurutnya, kunci pemasarannya adalah full fill what customer needs and wants. Bahkan, sejak dari pelanggan memesan tempat dan handling di depan resto, sampai mereka keluar.

Seluruh gerai resto Shabu Hachi berdiri di lahan sendiri, tidak ada yang di mal. Bahkan, semuanya dibangun di atas lahan yang sangat luas. Resto di Jalan Pajajaran 75 Bogor, luasnya 2.200 m2 dengan kapasitas 268 orang. Yang di Ampera luasnya 1.800 m2, dan yang di Cilaki, Bandung, hampir 2.000 m2. Resto-resto itu dibangun dalam jarak waktu cukup, 1-2 tahun. “Habis Lebaran, baru buka yang di Bintaro,” ujar Githa. Dalam mengembangkan resto ini, ia tidak menggunakan sistem franchise, yang menurutnya kurang adil bagi partner karena belum apa-apa harus membayar fee. Namun, ia membuka kesempatan kemitraan untuk pengembangannya. Dari empat gerai yang ada sekarang, dua milik Githa dan suaminya, dua lainnya ia kembangkan bersama mitra bisnis — salah satunya gerai di Bogor.

Dalam membangun merek pun Githa sangat teliti. Seperti penamaan Hachi yang artinya 8, dengan huruf kanji 8 di atas nama Hachi. Ini sangat menarik perhatian. Selain brand, ia juga memperhatikan desain interior yang dibuatnya dengan detail menarik. Ia memahami, dengan konsep all you can eat, tiap tamu menghabiskan waktu di resto tata-rata 2 jam. Maka, pihaknya menyediakan fasilitas yang nyaman buat mereka. Jadi, ketika menunggu pun nyaman. Di Bogor, misalnya, ruang mushala dibuat bagus, juga ada ruang tunggu dan ruang merokok, play ground buat anak-anak, air mancur menari, serta taman yang menarik untuk foto-foto, istilahnya Instagramable.

“Branding kami lebih dikuatkan dengan customer care excellent, jadi biar konsumen yang bicara ke luar,” ujar Githa. Spot-spot ruang yang menarik dan Instagramable juga menjadi promosi gratis dari konsumen di media sosial. “Orang sekarang lebih percaya review, word of mouth marketing customer yang puas. Makanya, kami juga membangun CRM, lebih personal yang makan di sini,” katanya. Karena itu, Shabu Hachi tidak pernah beriklan. Walau begitu, tamu yang datang harus lebih dulu pesan tempat, tidak bisa go show. Bahkan, untuk Ramadan, sudah waiting list.

Untuk satu gerai Shabu Hachi, setidaknya Githa menginvestasikan di atas Rp 10 miliar. Ia mengaku semua dari dana sendiri, bukan pinjaman. Kecuali, cabang yang dibangun bersama mitra. “Partner harus terlibat mengelola, tidak bisa lepas kunci,” imbuh Githa yang anak pertamanya sudah mau masuk kuliah. Para mitra ini bersama dengannya mengelola gerai yang dibangun itu. Kunci keberhasilan tiap gerai, menurutnya, pilihan lokasi yang tepat. “Kami menjual sesuai dengan market survei ke depannya, kalaupun akan membuat konsep baru resto,” ujar wanita sederhana berusia 37 tahun ini.

Untuk menjaga keberlangsungan hidup bisnisnya, menurut Githa kuncinya adalah controlling. Maka, ia dan suami ada jadwal khusus per beberapa hari mengontrol gerai. Kedua, ia selalu memberikan pelatihan kepada leaders di restonya (store manager, supervisor, kapten, kitchen head, asisten kapten). Targetnya, membuka lima cabang baru Shabu Hachi – targenya, sekitar sembilan cabang per tahun. Lalu, bagaimana mengelola napas bisnis? “Kami memutar cash flow, tidak ada pinjaman,” katanya sambil menyebutkan, karyawannya saat ini ada 300 orang. Ia mengungkap, tiga gerai Shabu Hachi sudah BEP.

Yang menarik, meski merasa sangat awam di bisnis resto, Ghita tidak mempekerjakan profesional atau menggunakan konsultan dalam membangun bisnisnya. “Kami belajar sendiri. Membeli banyak buku hospitality restoran, sampai 20 buku lebih. Ini seperti S-3 lho. Semua harus detail dilihat,” ungkap wanita yang mengaku tidak bisa masak ini. Yang dilihat, mulai dari penanganan bahan baku, pemasakan, pemilihan pemasok, hingga upaya menjamin konsistensi. Ia kembali menekankan, nomor satu adalah controlling. Apalagi, bisnis resto termasuk rentan pencurian. Githa pun rajin mencari resep, lalu mengajak diskusi tiga chef-nya. (Reportase: Herning Banirestu}


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved