Entrepreneur

Gurihnya Menggeluti Bisnis Anti Sadap

Gurihnya Menggeluti Bisnis Anti Sadap

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memang membawa banyak kemudahan. Orang-orang terkoneksi selama 24 jam. Berbagai informasi bisa diperoleh dan dibagikan ke berbagai tempat yang terpisah ribuan kilometer dalam hitungan detik. Namun, di balik itu, muncul ancaman kejahatan melalui teknologi digital.

Agung Setia Bakti, pendiri PT Indoguardika Cipta Kreasi

Agung Setia Bhakti. Kami menjadi perusahaan Indonesia pertama yang mendeklarasikan (diri) sebagai teknologi antisadap

Awal 2015, misalnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri mengungkapkan adanya praktik pencurian uang nasabah bank menggunakan peranti lunak jahat (malware) pencuri uang perbankan oleh warga negara asing; nilai kerugiannya mencapai Rp 130 miliar dalam sebulan! Itu baru yang bermodus pencurian uang. Belum lagi, pencurian data penting perusahaan-perusahaan yang pastinya tidak akan dilaporkan ke kepolisian demi mencegah runtuhnya kredibilitas perusahaan bersangkutan.

Berangkat dari maraknya kasus-kasus tersebut, pada 2001, Agung Setia Bhakti dkk. mendirikan bisnis di bidang enkripsi (antipenyadapan-data) serta pengamanan perangkat komunikasi dan informasi. Awalnya, mereka bergerak tanpa badan hukum resmi. Seiring dengan membesarnya bisnis, mereka mendirikan PT Indoguardika Cipta Kreasi (ICK) pada 2013 yang berkantor pusat di Alamanda Office Tower, Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan. “Kami menjadi perusahaan Indonesia pertama yang mendeklarasikan (diri) sebagai teknologi antisadap,” tutur mantan wartawan Suara Merdeka, Semarang, itu.

Kini, ICK telah memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi peranti keras antisadap di Taman Tekno, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Kliennya terentang dari individu kelas atas, korporat, lembaga pemerintah, hingga perusahaan asing.

Niat merintis bisnis tersebut berawal dari keprihatinan Agung dkk. atas ketiadaan perusahaan lokal penyedia pengamanan data di bidang enkripsi. Produk enkripsi, baik peranti lunak maupun keras, ternyata semuanya impor. Masalahnya, bagi perusahaan asing, mereka tidak tahu apakah data mereka benar-benar terlindungi atau malah digunakan untuk hal lainnya. “Sulit untuk mengetahui keamanannya, kecuali orang-orang yang benar-benar paham ilmu kriptografi,” ujar Agung yang lulusan Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang itu.

Agung mengaku, kekayaan latar belakang para pendiri membuat mereka saling melengkapi. Agung, yang ditunjuk sebagai presiden direktur, fasih di bidang manajemen, pemasaran, komunikasi dan media. Sementara, Azmar Zulkarnain, rekan pendiri lainnya, berlatar belakang keuangan. Adapun Sujoko, yang kini menjabat sebagai direktur produksi dan riset, berlatar belakang komputer dan informasi.

Awalnya, ICK lebih banyak mengembangkan produk peranti lunak antisadap untuk SMS, percakapan suara, surat elektronik, dan sebagainya. Produknya antara lain SMS Guard, Voice Guard, Chat Guard dan Email Guard. Mulai pertengahan 2015, ICK merambah pembuatan peranti keras seperti Jammer, Secure HT, Radio Guard dan TiO Guard, perangkat antisadap untuk perangkat komunikasi PSTN (public switched telephone network). “Kalau HT frekuensinya sama, otomatis kita bisa dengar. Dengan teknologi yang kami kembangkan, hanya orang-orang di grup tersebut yang bisa mendengar. Kalau ada yang menyadap, hanya terdengar suara noise atau kresek,” Agung menceritakan keunggulan produknya.

Keunggulan ICK adalah teknologi enkripsi yang digunakan berbasis algoritma berstandar militer yang telah dimodifikasi dan ditingkatkan keamanannya untuk mengacak data. Sehingga, perangkat telepon, ponsel pintar ataupun komputer kliennya aman dari aksi penyadapan dan pembajakan. Selain itu, ICK juga membenamkan teknologi antiforensik dan anti-audit ke dalam produknya yang mampu menghapus keberadaan jejak komunikasi kliennya. “Bahkan, kami sebagai penyedia tidak tahu cara membongkarnya dan melihat jejaknya. Berbeda dengan di negara lain, misalnya Amerika Serikat, algoritma mereka harus bisa dibuka oleh NSA (National Security Agency), “ ungkap Agung.

Karena produknya hanya menyasar pengguna yang membutuhkan keamanan perlindungan data tingkat tinggi, pemasarannya pun sangat spesifik. ICK menghubungi langsung perusahaan potensial serta lembaga pemerintah dan individu kelas atas yang diperkirakan membutuhkan layanannya. Semua dilakukan tanpa iklan sama sekali.

Tidak hanya di dalam negeri, sejumlah calon klien potensial di Asia Tenggara pun disasarnya. Karena itu, ICK mendirikan kantor cabang di Vietnam, Singapura dan Thailand. Dan, saat ini tengah berencana membuka kantor cabang di Afrika Selatan, China, Hong Kong dan Inggris. Perlahan tetapi pasti, ICK yang menerapkan harga berlangganan Rp 500 ribu-2 juta per bulan per orang, mulai naik daun. Sayangnya, ICK enggan membeberkan jumlah pasti pelanggannya serta identitasnya demi alasan kerahasiaan klien.

Yang pasti, popularitas ICK terus melejit. Bahkan, sejumlah kementerian memfasilitasinya untuk berpromosi di luar negeri. Misalnya, Kementerian Pertahanan yang pada 2013 memfasilitasi ICK berpameran di Malaysia. Tahun lalu, Kementerian Perindustrian juga memfasilitasi ICK berpameran di CeBit, Jerman. “Tahun ini kami fokus di pasar regional ASEAN karena ada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), jadi otomatis kami ingin menyasar ke sana,” ujarnya.

Memang, sekilas, produknya terkesan bak pedang bermata dua. Di satu sisi, ICK mengamankan penggunanya dari kejahatan, di pihak lain seolah ICK menyulitkan pihak berwenang menjangkau target operasi mereka. Menanggapi hal ini, Agung mengaku perusahaannya siap bekerja sama dengan penegak hukum. “Namun, kerja sama tidak bisa menyangkut membuka percakapan pelanggan karena kami sendiri tidak bisa. Kerja sama bisa dilakukan misalnya dengan memberikan list orang atau nomor HP tertentu yang tidak boleh menjadi pelanggan,” ujarnya.

Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Michael Andreas Purwoadi menilai bisnis antisadap yang digeluti ICK memiliki prospek yang baik. “Pasti akan berkembang, karena dengan kesadaran akan privasi masing-masing mengenai masalah antisadap,” ujarnya. Pemerintah Indonesia sendiri, imbuh dia, merupakan pasar potensial teknologi tersebut. Apalagi, Indonesia pernah kebobolan dengan disadapnya percakapan Presiden (kala itu) Susilo Bambang Yudhoyono oleh Pemerintah Australia. Karena itu, diperlukan alat yang bisa mencegah kebocoran rahasia negara.

Menyangkut dampak negatif teknologi antisadap, Michael menyarankan ICK untuk menguasai teknologinya dengan baik, serta menyiapkan langkah antisipasi sebagai persiapan jika suatu saat aparat berwenang seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian meminta untuk membuka data di peranti kliennya. “Karena teknologi banyak tipenya, ada juga yang menggunakan bilangan acak, mereka juga tidak bisa membuka produk sendiri karena mereka sendiri pasti tidak tahu angkanya seperti apa. Nah, yang seperti ini tidak boleh. Kalau dia pakai acak, bisa jadi malah dilarang beredar oleh pemerintah karena bisa berbahaya bagi keamanan negara,” kata Michael. (Riset: Sarah Ratna Herni}

)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved