Profile Entrepreneur

Cara Dinny Jusuf Hidupkan Kembali Tenun Toraja

Cara Dinny Jusuf Hidupkan Kembali Tenun Toraja

Dinny Jusuf merasa penat dengan hingar bingar Kota Jakarta, maka tahun 2008 ia meninggalkan profesinya sebagai Sekretaris Jenderal di Komnas Perlindungan Perempuan, lalu memutuskan untuk pulang ke kampung sang suami, Danny Parura, di tanah Toraja. Di sana, ia melihat kain tenun yang tidak laku, bahkan orang Toraja sudah tidak memakainya. Saat itu, sambil membangun rumah, ia melihat ada satu desa yang hanya terdiri dari beberapa rumah, terdapat banyak bayi yang bertampang keturunan China.

Ia menguliknya dan mendapat fakta bahwa perempuan di sana bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia. “Ada yang menikah dengan laki-laki China Malaysia, hamil, mereka melahirkan di kampung, anak mereka ditinggal, dan mereka kembali bekerja,” ujarnya.

Dinny tidak bisa hanya berdiam diri. Sebagai salah seorang yang fokus terhadap isu perempuan, Dinny berpikir apa yang bisa diambil positifnya dari kain tenun, agar perempuan-perempuan itu tetap tinggal di rumah. Kemudian, ia membeli beberapa kain Toraja untuk dibawa ke Jakarta. Dari salah seorang sahabatnya, ia mengetahui bahwa motif kain tenun tersebut sudah langka, tapi ia menyadari tidak mempunyai skill untuk menghidupkan kembali tenun.

Dinny Jusuf, CEO Toraja Melo

Dinny Jusuf, CEO Toraja Melo

Tahun 2009, ia mencoba membuat tas dari kain tenun yang dibelinya dari Toraja dan menjual ke teman-teman. Sebanyak 100 buah berhasil terjual pada tahun 2010 di Jakarta. Ia juga mendapat bantuan dari sang adik, Nina Jusuf, seorang desainer berlatar belakang pendidikan Academy of Art, University of San Francisco, Amerika Serikat, yang juga fokus tentang isu perempuan.

Yayasan Toraja Melo dan PT Toraja Melo pun didirikan oleh kakak beradik ini, Dinny sebagai CEO (Keuangan, Marketing, dan Public Relations), sedangkan Nina sebagai COO (Desain, Produksi, dan Operasional). “Karena kami tahu ada gap, yaitu produksi komunitas tidak dapat dibawa ke pasar nasional dan dunia. Kami ingin mempertemukan agar produk komunitas dapat dipasarkan di nasional dan internasional, serta memperbaiki kehidupan para perempuan penenun Toraja yang menjadi mitra,” ujarnya. Toraja Melo sendiri berarti Toraja Bagus. Saat ini tim di perusahaan berjumlah 10 orang.

Untuk bisa menciptakan pasar bagi para penenun, ia menghubungkan produk tenun dari Toraja dengan selera pasar, khususnya di Jakarta. Ia mengajak penenun untuk mengubah kebiasaan mereka dalam menghasilkan kain tenun. Sebagai contoh warna benang tenun. Konsumen cenderung menyukai warna cerah, sedangkan pakem tenun Toraja adalah warna lembut. Mengubah pakem bukanlah hal mudah karena mereka sudah lakukan secara turun-temurun. Penenun harus percaya bahwa perubahan tersebut dilakukan demi kepentingan mereka sendiri. Jika telah percaya, mereka otomatis akan menghasilkan tenun terbaik dan berkualitas untuk menarik konsumen.

Awalnya hanya ada dua penenun, lalu bertambah menjadi lima penenun. Tahun 2012, Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) meminta bantuan untuk meningkatkan taraf kehidupan. Dinny menyetujui menjadi partner tetapi ia ingin tetap fokus memberdayakan penenun. Akhirnya, ia meminta beberapa perempuan yang bekerja sebagai penenun dari komunitas tersebut, yang berjumlah 5 ribu penenun dari 20 ribu anggota komunitas.

Saat ini sudah 1.000 penenun yang bergabung dengan Toraja Melo di 4 daerah, yaitu Toraja, Mamasa, Pulau Adonara dan Pulau Lembata, Flores Timur. Dari awal konsep yang dijalankan perusahaan adalah bekerja dengan penenun yang belum terbantu. “Kami berkolaborasi untuk scale up. Kami ajarkan mereka kemampuan keuangan, bagaimana kain tenun yang diproduksi bisa memiliki nilai jual, dan akses ke modal dan pasar, dll,” ungkapnya perempuan kelahiran Bandung, 17 April 1956.

Tidak hanya menjual kain, Toraja Melo juga menjual brand story tentang kehidupan perempuan Toraja yang memproduksi kain tenun. Ini yang menjadi unique selling dan value added bagi konsumen untuk membeli. Banyak konsumen yang berkontribusi dalam membuat perubahan bagi para penenun.

Menyadari pentingnya branding, ia dan Nina mengikuti berbagai pameran fashion. Mereka pun memperluas butik Toraja Melo di kawasan Kemang, Jakarta dan menambah koleksi baru berbagai produk fashion dari tenun Toraja. Selain juga menyediakan fasilitas belanja online, yang memudahkan kalangan urban, terutama menengah atas. Toraja Melo berkolaborasi dengan anak-anak muda untuk mengembangkan website.

Berbagai produk yang dihasilkan seperti kebaya sekitar Rp 770 ribu, tas, sepatu dengan harga tertinggi mencapai Rp 1,2 juta, juga ada dress, souvenir. Koleksi terbaru berupa desain tas menggunakan mote, juga tenun Toraja yang terbilang langka seperti Paruki, dibuat menjadi tote bag. Di bulan September 2012, Toraja Melo, bekerja sama dengan Museum Tekstil Jakarta dan BNI untuk pertama kalinya mengadakan pameran tekstil kain Toraja Indonesia.

Sulitnya membangun kepercayaan

Kecamatan Sa’dan terkenal sebagai sentra kain tenun khas Toraja. Mayoritas penenun di sana sudah berusia 70 tahun hingga 90 tahun. Tahun 2007-2008, hanya tinggal dua penenun yang bisa membuat motif tenun Toraja yang lama, tetapi mereka tidak mau mengajarkan ke penenun lain, hanya mau ke anak-anaknya. Ironisnya anak-anak mereka banyak yang bekerja sebagai TKI ke Malaysia. Merasa khawatir motif tersebut akan hilang, Dinny mendapat pertolongan dari CEO Kedawung yang melukis di atas cangkir untuk memindahkan motif tersebut ke cangkir.

Seiring berjalannya waktu, ia mengarahkan komunitas ini ke koperasi. Ketika mengenalkan kepada penenun, ia tidak menyebutnya sebagai koperasi, karena mereka sudah sering tertipu oleh koperasi fiktif yang dibuat oleh retenir. Dampak positif pun terlihat, saat ini nenek-nenek penenun merasa jadi satu keluarga besar, sehingga mereka menjadi mau mengajarkan motif tenun ke anak-anak muda.

Tantangan datang dari dua sisi yaitu bagaimana membentuk kader koperasi dan bagaimana memasarkan produk dengan target anak muda. Dalam membeli tenun pun, Dinny membagi menjadi grade A, B, dan C berdasarkan kualitas. “Yang penting kami harus membeli kain itu agar para penenun tetap termotivasi untuk terus menghasilkan kain. Sehingga Nina sebagai desainer memiliki ide untuk kain tenun yang kualitas tergolong rendah, maka akan dicacah untuk dijadikan tambahan di pakaian lain,” tambahnya saat ditemui di acara DBS Social Enterprise Summit 2016, Singapura.

Saat ini banyak penjual kain Toraja yang membeli motif tenun Toraja di Pekalongan dengan harga lebih murah dibandingkan jika membeli dari penenun. Lalu ada mafia benang, sehingga ia yang harus melakukan lobby ke mafia tersebut. Lalu bagaimana cara Dinny menyemangati penenun bahwa ini bukan sekadar menenun, tapi ada impak lainnya?

Ia menceritakan bahwa ia tidak secara teoritis menjelaskan menenun untuk melestarikan budaya, karena fokus mereka adalah menenun dan mendapat uang. Mereka juga ia ajak ke Jakarta untuk pameran. Ketika kembali ke Toraja, salah satunya bercerita bagaimana pengalamannya mengikuti pameran di Jakarta. “Ke Jakarta adalah suatu insentif untuk mereka,” kata ibu dari 2 anak yang hobi menulis ini.

Tantangan lainnya datang dari keluarga. Pada awalnya ia tidak mendapat dukungan dari suami dan ibu mertua. Ada dua hal yang membuat mereka akhirnya berputar menjadi pendukung. Pertama, ketika keluarga melihat bahwa penenun memakai nama Toraja Melo untuk membangun koperasi fiktif Toraja Melo. Sang ibu mertua, merasa bahwa Dinny dikhianati oleh penenun yang mendirikan koperasi fiktif tersebut. Kedua, ketika mengadakan pameran tenun pertama di Jakarta tahun 2012.

Untuk pameran, ia harus mengumpulkan tenun terbaik dari Toraja, tapi ternyata tenun terbaik ada di kolektor Jepang, New York, dan Eropa, yang sudah tidak ada di Indonesia. “Saya sampai bernegosiasi dengan kolektor Jepang tersebut agar mau meminjamkan. Saya disuruh asuransi US$ 1 juta, Saya menolak, akhirnya saya diberikan pinjaman kain tersebut. Ketika tahun 2012, pengunjung di pameran tersebut sekitar 3 ribu orang, nama Toraja Melo terpampang, dan keluarga besar saya terharu saat itu, karena melihat pertama kali bagaimana kain dipamerkan dengan cara yang indah,” ungkapnya sambil tersenyum.

Tidak hanya memberdayakan penenun, ia juga menciptakan program beasiswa untuk anak-anak dan cucu dari para penenun untuk membayar biaya kuliah dan biaya lain sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan SMA. Pada tahun 2011, Toraja Melo mulai mengekspor produk ke Jepang, Italia, dan Amerika Serikat. Selain itu ia telah didekati oleh delapan komunitas tenun dari Nusa Tenggara Timur, Pulau Flores, dan Kalimantan untuk membantu mereka memasarkan produk tenunan tangannya.

Untuk semakin memperkenalkan kain tenun Toraja, dibuat sebuah film dokumenter “Toraja Melo” yang diproduksi oleh Biru Terong Initiative. Film berdurasi 60 menit ini pertama kali ditayangkan di Kedutaan Erasmus Huis, Belanda pada Maret 2016 lalu. Ini adalah sebuah film yang menceritakan tentang perjalanan perempuan-perempuan suku Toraja untuk melestarikan warisan kain tenun Toraja.

Untuk mengulik tentang arti pada setiap motif kain tenun Toraja ternyata tidak mudah, karena tidak banyak warga Toraja yang memahaminya. Perlu waktu dua tahun, dan bahkan harus langsung bertemu Tomina Toburake, warga Jepang yang memiliki pemahaman mendalam tentang kain tenun Toraja. Toburake juga berperan dalam diterbitkannya dua buku tentang Toraja dan kain tenunnya.

“Fokus saya adalah membela perempuan melalui kain. Saya tidak akan pensiun berdayakan perempuan penenun Toraja. Saya tidak klaim produk kain tenun mereka sebagai milik saya, karena itu tenun hasil komunitas. Yang saya klaim adalah produk desain fashionnya,” tegas perempuan yang pernah bekerja sebagai seorang banker Citibank selama 10 tahun ini. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved