Profile Entrepreneur

Liku-liku Futri Membenahi Haneda

Liku-liku Futri Membenahi Haneda

Membenahi perusahaan keluarga yang sedang limbung bukan perkara mudah bagi Futri Zulya Savitri. Ia harus berjuang keras untuk mengembalikan pamor perusahaan keluarga yang dibesarkan sang ayah, Zulkifli Hasan, yang mulai meredup. Sebelum berkiprah di jalur politik, Zukifli yang kini menjabat Ketua MPR RI memang sempat menekuni bisnis peralatatan rumah tangga (houseware) dengan merek Haneda di bawah bendara PT Batin Eka Perkasa (BEP).

Haneda dirintis Zulkifli pada 1990-an. Hanya saja, karena semua keluarganya sibuk, bisnis yang dirintisnya benar-benar tidak terurus dan manajemennya berantakan. “Tadinya omsetnya juga bagus, akhirnya drop sama sekali karena tidak ada yang ngurus,” ujar Futri. Pendapatannya sekitar Rp 5 miliar per tahun setelah ditinggalkan ayahnya.

Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Futri yang saat ini menjabat Direktur Utama BEP. Pasalnya, menantu Amien Rais (mantan Ketua MPR RI) ini harus bergelut dengan bisnis yang tidak stabil dan mulai dari nol lagi. Artinya, ia harus melakukan turnaround agar Haneda bisa eksis lagi. “Sebenarnya bisnis ini bukan diserahkan dari orang tua. Tetapi, keinginan 100% saya sendiri untuk melanjutkan bisnis yang sudah tidak terurus,” kata anak pertama dari empat bersaudara ini.

Haneda

Futri Zulya Savitri, Direktur Utama PT Batin Eka Perkasa (Haneda)

Futri bergabung di BEP sejak 2010. Saat itu, perusahaan dalam kondisi rugi, sedangkan untuk membiayai operasionalnya harus full sehingga banyak nomboknya. Bahkan, nomboknya sampai 50% karena kondisi keuangan yang tidak sehat. Belum lagi karyawannya banyak yang senior sehingga kurang agresif. Intinya, perusahaan ini benar-benar tidak diurus dengan baik.

Sejak 2011, wanita kelahiran 13 Mei 1988 ini membenahi BEP. Bagaimana pembenahannya? Diakuinya, sebelum melakukan pembenahan, ia melakukan observasi apa yang terjadi. Strategi pertama, ia mulai in charge di pemasaran. Misalnya, dengan melakukan berbagai inovasi produk, pengemasan ulang (repacked), dan rebranding.

Selama ini, strategi bisnis BEP adalah penjualan langsung (direct selling) sehingga sangat tradisional dengan sistem manual. Futri pun merambah e-commerce dengan membuat website untuk mengikuti tren pemasaran masa kini. Di samping itu, ia juga sudah melakukan survei tentang produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, sehingga keluarlah filosofi Haneda, yaitu produknya murah, mudah dan sehat. Produk yang dijual saat ini antara lain oven dan panci presto elektronik. Produk primadonanya: magic oven yang dijual sejak 15 tahun lalu, harga ritel tunainya Rp 800 ribu.

Haneda pun sudah memiliki pabrik sendiri di Citeuruep, Bogor. Produknya ada yang dibuat sendiri seperti oven dan walk (paci bulat). Ada pula yang diimpor, antara lain presto, vacum cleaner, dan ricer cooker premium. Impornya dengan pola original equipment manufacturer (OEM) dan diberi merek sendiri. “Kapasitas produksi pabrik 2.000-2.500 unit. Itu mix karena tergantung pada permintaan. Saat ini bisa memproduksi 15-20 macam, termasuk produk impor,” kata lulusan Jurusan Pemasaran School of Business and Management-Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) ini.

Nah, masalah yang muncul saat pembenahan adalah dari sisi SDM. Selain banyaknya karyawan lama, juga jumlah SDM-nya terbatas. Maka, ia pun langsung merekrut SDM tenaga penjualan baru yang lebih banyak, mengingat bisnisnya penjualan langsung. Terobosan lain yang lakukan dengan memanfaatkan TI, selain e-commerce, tenaga penjualannya juga menggunakan aplikasi apps di ponsek pintar untuk order sehingga lebih terintegrasi. Adapun sistem sebelumnya hanya menggunakan nota dan dilakukan secara manual.

Sistem pembayarannya pun diperbarui. Bisnis BEP tergolong berisiko karena sistem penjualan produknya dilakukan dengan cara kredit dan manual. Bahkan, 90% kontribusi terbesarnya dari penjualan kredit. “Dari dulu sistem sudah seperti itu, mudah, murah dan sehat,” kata Futri, peraih gelar Master of Business with Merit dari Australian National University, Canberra, Australia.

Dengan sistem kredit ini, pembelian produk lebih terjangkau bagi konsumen. Nah, dulu lebih banyak tenaga penagih yang berperan. Adapun saat ini lebih mudah karena BEP telah bekerja sama dengan Indomaret, Doku, Pegadaian, PT Pos, dll. “Sistem kreditnya dikelola sendiri, mengingat banyak field collector (seperti gojek). Tetapi sekarang sudah punya apps, jadi lebih canggih,” ujar Futri bangga.

Untuk menggarap pasar, Haneda merambah pasar tradisonal dan modern. Di pasar modern, Haneda sudah masuk ke Lulu Hypermarket di Bintaro, juga Food Hall. Jadi, baru menggarap dua mal. Alasannya, persaingan sangat ketat dan banyak merek sejenis untuk alat masak. Selain itu, yang dicari adalah volume. Kelemahan di pasar modern: meskipun distribusi banyak, volume penjualan tidak akan banyak.

Diakui istri Ahmad Mumtaz Rais (putra ketiga Amien Rais) ini, penyebaran barang saat ini masih terpusat di Pulau Jawa. Pada 2017 rencananya akan ekspansi ke Sumatera. Target pasarnya adalah ibu-ibu pengajian, guru, dan darma wanita. Karena, tidak sedikit ibu-ibu yang jadi konsumen sekarang juga menjadi agen atau tenaga penjualan produknya. Haneda pun telah memiliki program Haneda Ambassador dengan melibatkan ibu-ibu yang punya kios di pasar atau yang freelance dengan model konsinyasi.

Promosi pun digencarkan, antara lain “membeli dua produk, gratis satu”. Ada lagi diskon hingga sekian persen. Tak hanya itu, tenaga penjualan Haneda juga didorong meningkatkan penjualan dengan membuat kontes rutin atau ada bonus akhir tahun berupa mobil, sepeda motor, rumah dan umroh. “Saat ini total karyawan mitra Haneda 200-250 orang untuk wilayah Jabodetabek, sebagian di Jawa Barat dan Jawa Tengah,” kata Futri yang pernah bekerja di perusahaan minyak Total.

Jerih payah Futri berbuah manis. Perlahan tetapi pasti, omset binis Haneda mulai meningkat. “Omset di 2012 sudah stabil, sekitar Rp 10 miliar. Di 2016 sudah Rp 20 miliar. Tahun ini ditargetkan meningkat 20%,” ungkapnya.

Yuswohady, pengamat pemasaran, menilai bisnis Haneda sudah bagus. Nah, yang menjadi kunci adalah kanal yang push dan pull. “Push-nya itu jemput bola dan pull-nya itu adalah memperluas channel. Kuncinya adalah dua hal itu,” katanya. Di sisi lain, kualitas produknya juga penting dan mereknya pun harus kuat. Namun kalau menyasar ibu-ibu sebagai target pasarnya, tidak perlu yang terlalu canggih karena ini segmennya mass. Jadi, kekuatan merek juga tidak terlalu menjadi masalah. Yang pasti, model bisnis Haneda, yaitu kredit, banyak disukai orang Indonesia. Tinggal kanal yang harus terus diperkuat.(*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved