Entrepreneur

Mantan Pengacara yang Berkibar di Bisnis Fashion Muslim

Mantan Pengacara yang Berkibar di Bisnis Fashion Muslim

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, pasar busana muslim terus tumbuh di industri mode Indonesia. Bahkan, beberapa tahun terakhir, hijab menjadi tren fashion seiring semakin menggeliatnya “kesadaran” kaum Muslimah mengenakan busana syar’i. Tak pelak, sejumlah model busana muslim, seperti kaftan dan gamis menjadi primadona di bisnis ritel busana muslim dan melambungkan busana muslim dalam lanskap mode tersendiri di Tanah Air. Dan, Jakarta menjadi poros utama bisnis ritel fashion busana muslim.

Peluang besar itu ditangkap dengan cermat dan jeli oleh Hikmat Saleh Ahmad. Lewat bendera Hikmat Fashion, pria berdarah Irak ini sejak 2012 menjajaki pasar Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Hikmat – begitu pria ramah ini akrab disapa – mendirikan pabrik di Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara. “Salah satu alasan kami masuk Indonesia adalah negara ini berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Selain kondisi tersebut menjadi peluang pasar yang sangat bagus bagi kami, di sisi lain kami juga ingin mengenalkan kepada dunia sebuah busana yang elegan dikenakan kaum perempuan, tidak terbatas pada Muslimah, tapi non-Muslimah juga bisa mengenakannya,” papar Hikmat kepada SWA di butik Hikmat Fashion, di kawasan Kelapa Gading, Jak-Ut.

Hikmah Saleh Ahamad

Hikmah Saleh Ahamad

Sebelum merangsek pasar Indonesia, Hikmat yang pada 1 Januari lalu genap berusia 36 tahun, lebih dulu menggarap pasar Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat. Pergumulan dengan dunia bisnis dilakoninya sejak semasa kuliah. Bersama temannya, Hikmat – yang sejak SMP sudah suka mendesain – membuat sendiri abaya dan menjualnya secara grosir. Abaya adalah busana muslim yang biasa dikenakan perempuan Timur Tengah. Modelnya mulai dari yang sederhana sampai mewah. Ada pula yang berwarna hitam saja. Di Indonesia, abaya lebih dikenal sebagai gamis. Tentu saja model dan warnanya lebih beragam. “Abaya adalah busana syar’i untuk segmen Muslimah yang mirip dengan gamis. Asalnya dari budaya Timur Tengah. Abaya selalu identik dengan warna hitam,” CEO Hikmat Fashion ini menjelaskan.

Sempat menjadi pengacara di Baghdad, lulusan College Law of Baghdad, Irak ini di tahun 2000-an fokus mengembangkan bisnis fashion-nya. Lewat bendera Hikmat Fashion, ia mengaku mantap menjadi pengusaha garmen abaya. “Jadi pengacara itu harus banyak bohongnya, saya tidak suka,” kata Hikmat yang sempat mengenyam pendidikan formal di bidang fashion di Esmod Syria, Baghdad. Damaskus di Suriah dipilihnya untuk membangun pabrik abaya. Produknya diekspor ke sejumlah negara, mulai Timur Tengah, Eropa, hingga AS. Sejak 2005, ia dan keluarga memilih menetap di Damaskus.

Konflik berkepanjangan di Timur Tengah membuat bisnisnya tersendat. Akhirnya, ia memilih kembali dan menjalankan bisnisnya di Indonesia. “Saya memilih balik ke Indonesia karena juga lebih dekat dengan bahan baku seperti kain,” katanya. Selama menjalankan bisnis di Damaskus, bahan baku kain memang dipasok dari Indonesia. Menurutnya, kain Indonesia sudah dikenal para desainer luar negeri karena kualitasnya bagus dan harganya lebih terjangkau. “Sejak dulu, kain produksi Indonesia itu terkenal bagus kualitasnya dan harganya lebih terjangkau. Di luar negeri, kain Indonesia jadi pilihan daripada China walaupun harganya lebih murah. Soal kualitas, jauh dari Indonesia,” paparnya.

Indonesia dipilih sebagai basis produksi Hikmat Fashion adalah strategi Hikmat untuk perluasan pasar dan memenuhi kebutuhan pasar ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. “Kami terus melebarkan pasar ke mancanegara,” ujarnya. Untuk menjajaki pasar ASEAN, selain membangun pabrik di Jakarta, ia membuka kantor perwakilan di Kuala Lumpur, Malaysia. Diakuinya, produk Hikmat Fashion cukup diterima di pasar internasional. “Selain di Asia Tenggara, kami juga mengekspor produk busana ke kawasan Asia Timur hingga ke daratan Afrika,” ungkapnya.

Sebagai diferensiasi, ia fokus mengembangkan desain dan produksi abaya. Menurutnya, abaya sebenarnya hampir mirip dengan gamis, tetapi abaya hadir dengan konsep busana tersendiri. “Jauh lebih elegan, modern, stylish, dan tentunya syar’i, serta membuat pemakainya kelihatan anggun dan menawan,” ungkapnya. Selain abaya, Hikmat Fashion juga memproduksi beberapa jenis busana muslimah lain seperti manto (blazer), dan mayoritas memang jenis busana yang berasal dari kawasan Timur Tengah.

Diakuinya, kelebihan Hikmat Fashion dari merek lain adalah bahan, aksesori dan desain abaya yang semuanya berkualitas tinggi. Di samping itu, mengedepankan customer-oriented. “Abaya hasil produksi kami merupakan hasil karya dan desain kami sendiri,” ujar Hikmat yang mendesain sendiri koleksi Hikmat Fashion bersama sang istri, Ataa Alsaffar.

Desain abaya Hikmat tidak ingin mengikuti arus model yang sedang berkembang di Indonesia. Ia ingin desain abayanya selalu berbeda. Setiap bulan, sekitar 30 desain dibuat dan disimpan sampai tiba waktunya diproduksi. Memproduksi abaya bisa disesuaikan dengan order, bisa pula dengan desain yang telah dibuatnya. “Saya akan malu jika membuat abaya dengan model yang sama dengan desainer lain. Saya merasa gagal karena nggak bisa bikin yang lebih bagus,” ucapnya.

Untuk mendapatkan desain yang menarik, Hikmat dan istrinya mengambil beberapa inspirasi dari tayangan fashion show merek terkenal seperti Gucci, Chanel dan lainnya, kemudian dimodifikasi sana sini. Itu sebabnya, sampai saat ini, Hikmat masih enggan menggunakan kain tradisional Indonesia seperti batik. Ia melihat banyak desainer yang sudah mengeksplorasi kain tradisional untuk desain busana muslim, termasuk abaya atau gamis. Ia mempertahankan abaya seperti dari negeri asalnya, Timur Tengah. Tetap dengan ciri khas potongan simpel dan elegan. Untuk lebih mempercantik tampilannya, abaya disematkan aneka detail bordir, bebatuan dan payet. “Aplikasinya bisa di bagian dada dan ujung lengan, sehingga abaya terlihat lebih mewah dan elegan,” ungkapnya.

Menyasar segmen kelas menengah-atas dengan harga produk Rp 800 ribu-1,5 juta, untuk memberikan nilai lebih pada produknya, Hikmat mengaku menggunakan bahan kain kelas satu. Termasuk, aksesori yang terpasang di setiap abaya merupakan jenis aksesori terbaik, terutama aksesori yang mengeluarkan kilau-kilau cahaya. “Aksesori abaya dari Hikmat Fashion tidak cepat pudar dan terlepas dari abaya, karena dikerjakan dengan teknik detail dan quality control yang sangat ketat,” kata Hikmat yang sempat mengenyam sekolah fashion di LaSalle College Jakarta. Contohnya, ia menggunakan jet black (superhitam) kualitas ekspor yang berasal dari Indonesia dan pernak-pernik aksesori dari Korea.

Sebagai pendatang baru yang ingin menjadi pelopor desain abaya di Indonesia, berbagai upaya pemasaran dan edukasi pun digeber Hikmat. Jaringan komunikasi dimanfaatkan untuk membangun brand awareness. Mulai dari mengikuti pameran, menyebar ratusan katalog ke seluruh pelanggan dan reseller, beriklan di media, dan ambil bagian di ajang Indonesia Fashion Week 2015, hingga kegiatan public relation. Tak ketinggalan, Hikmat juga memanfaatkan kekuatan media digital dan media sosial.

Menurutnya, dunia online tidak hanya berisi tentang produk dan koleksi busana Hikmat Fashion. Ia juga menampilkan artikel yang informatif dan menambah pengetahuan pembaca terutama tentang abaya, gamis, hijab, busana syar’i, kisah inspiratif, dan hal menarik lainnya. “Kami juga ingin memberikan nilai tambah kepada fans yang sudah lebih dari 15 ribu orang di Facebook,” ungkapnya.

Keputusan memindahkan basis produksi di Indonesia berbuah manis. Saat ini, Hikmat Fashion sudah memiliki lebih dari 100 reseller yang tersebar di seluruh Tanah Air. Abayanya tersebar pula di beberapa department store ternama seperti Metro, Sarinah, Star dan Pasaraya. Untuk menyasar segmen urban, situs belanja online dipilihnya. “Sampai saat ini, kami baru memasarkan abaya Hikmat Fashion di Zalora. Ke depan, kami akan menambah jumlah kemitraan dengan situs belanja online lainnya,” katanya.

Tahun 2014 Hikmat Fashion berhasil menjual 50 ribu potong busana abaya, 2015 meningkat menjadi 60 ribu potong. Jika dulu kontribusi pasar lokal (Indonesia) 10%, saat ini mencapai 70%. Untuk memenuhi ekspansi pasar ke mancanegara, tahun ini Hikmat menargetkan memperluas pabrik hingga kapasitas produksi bisa menjadi dua kali lipat. Targetnya, memproduksi hingga 10-12 ribu abaya per bulan.

“Cita-cita saya menjadi pengacara, karena itu saya ambil jurusan hukum. Tapi jalan hidup berkata lain. Sekarang saya lebih menikmati berbisnis,” kata ayah Mohamed Hikmat dan Osama Hikmat ini.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved