Entrepreneur

Mantan Profesional yang Sukses Bertaruh Membesarkan CTI

Mantan Profesional yang Sukses Bertaruh Membesarkan CTI

Berbekal kejelian meneropong potensi bisnis distribusi infrastruktur TI di masa depan, dua profesional menghidupkan kembali bisnis yang dibekukan induk perusahaan tempat mereka bekerja. Delapan tahun kemudian, bisnis mereka mampu menangguk omset ratusan miliar rupiah. Bagaimana strateginya?

Harry Surjanto merupakan contoh sukses profesional yang loncat ke kuadran pengusaha. Ketika di tahun 2000 menjabat sebagai Chief Operational Officer PT Computrade Indonesia (CTI), anak usaha PT Multipolar Tbk., ia dan rekannya, Rachmat Gunawan, General Manager di perusahaan yang sama, melihat peluang besar. Kala itu Multipolar yang membidangi jasa dan konsultansi integrator sistem tengah menajamkan fokus bisnisnya dengan ‘membekukan’ lini usaha yang tidak sejalan dengan bisnis intinya.

Bidang usaha CTI, yakni perdagangan solusi server, dianggap kurang sesuai dengan bisnis inti Multipolar. Padahal, saat itu CTI sudah berjalan cukup baik dan telah memiliki existing business partner dan end user. Setelah CTI ‘dibekukan’ maka, kedua petingginya, Harry dan Gunawan, memutuskan menghidupkan kembali bisnis tersebut dengan entitas berbeda, PT Computrade Technology International, yang juga disingkat CTI.

Tak mau setengah-setengah, bersamaan dengan pendirian perusahaan pada tahun 2003, mereka berdua lantas mundur dari Multipolar. “ Selain memang harus terjun langsung dan fokus membesarkan perusahaan yang bagi kami masih baru itu, rasanya juga tidak enak kami bergerak di dua tempat,” ujar Harry yang mengaku mengucurkan dana Rp 5 miliar untuk pendirian dan operasionalisasi CTI sepanjang tahun 2003 itu.

Dan, keuntungan ‘meneruskan’ usaha dari bisnis yang telah berjalan sebelumnya adalah: entitas tersebut telah memiliki jejaring dan produk yang dapat diandalkan. PT Computrade Indonesia yang dimiliki Multipolar sebelumnya memang telah memegang hak distribusi produk server IBM dan Oracle. Nah, oleh Harry dan Gunawan, produk dari kedua merek itu lantas turut dipegang hak distribusinya di bawah PT Computrade Technology International.

Di bisnis terkait teknologi informasi (TI), dua bidang yang sangat sarat menggunakannya adalah perbankan dan telekomunikasi, kendati bidang lain juga banyak menggunakan TI, seperti ritel, pemerintah dan hospitality. Demi meluaskan pasar, mereka pun merambah berbagai industri, menggandeng banyak mitra bisnis, dan mengedukasi pasar. Sekadar informasi, dalam bisnis perdagangan atau distribusi produk TI untuk kalangan korporat seperti yang dilakukan CTI, para pemainnya diharuskan menjual melalui reseller alias mitra bisnis. Nah, reseller inilah yang menjual ke end user di berbagai industri.

Meski CTI bisa dibilang diawali dari titik nol kembali, namun di akhir 2003 omsetnya sudah mencapai US$ 10 juta. Dan, dalam kecepatan yang tidak bisa dibilang lambat, bisnis mereka terus berkembang.

Selanjutnya, dalam berbisnis perusahaan yang berkantor pusat di Gedung BIP Lantai 7 Jalan Gatot Subroto, Jakarta itu menerapkan beberapa protokol untuk mengatur persaingan yang wajar. Tujuannya, menghindari konflik antarmitra bisnis. Misalnya, ada mitra bisnis baru yang hendak memasukkan penawaran produk CTI ke end user yang sudah “dipegang” mitra bisnis lain, maka CTI wajib menginformasikan dulu. ”Kami bilang ke pemain baru ini, ‘Lahan ini sudah ada yang garap, si A. Saran kami, Anda masuk ke lahan yang belum ada pemainnya, bidang x,y,z’,” Harry menguraikan. Kepada si pemain yang sudah masuk alias incumbent, CTI juga menginformasikan bahwa ada pemain baru yang akan memasuki lahannya. Pemberitahuan dua arah ini diinformasikan kepada kedua pihak, calon pemain baru dan pemain lama, dengan terbuka. Tujuannya, demi menghindari konflik. “Sudah kenyang Mas kami menghadapi masalah konflik business partner,” tutur Harry menjelaskan alasan diterapkannya protokol tersebut.

Kedua, Harry membuatkan sistem online pipeline center lengkap dengan sistem business intelligence di dalamnya. Sistem yang sejatinya merupakan tools customer relationship management (CRM) ini mengelola dan mencatat data sejarah transaksi dan proses bisnis yang telah, sedang, ataupun akan berlangsung antara CTI dan para mitra bisnis. ”Jadi, business partner cukup berbicara dengan staf kami dan akan kami input-kan secara manual. Jadi, kami tahu business partner mana saja yang telah membeli produk kami, kami juga akan mengetahui business partner tersebut sudah melakukan transaksi apa di end user mana,” ujar Harry.

Sebagai distributor, CTI rupa-rupanya sudah hapal dengan persoalan konflik antarmitra bisnis. Intinya, perselisihan itu berpangkal dari masalah “wilayah kekuasaan”. ”Jadi, dengan online pipeline center ini, kami jadi tahu detail siapa yang masuk duluan ke dalam suatu perusahaan yang tengah diincar kedua belah pihak,” kata Harry. Dengan demikian, tidak ada lagi debat kusir mempersoalkan siapa yang lebih berhak menawarkan solusi untuk suatu perusahaan.

Adapun untuk dapat memanfaatkan sistem ini, yang diperlukan hanyalah kemauan melaporkan proses bisnis yang tengah berlangsung di mitra bisnis. ”Karena sistem ini hanya melacak yang dicatat. Jadi, kalau business partner tidak mau mencatatkan di sistem ini, ya terserah mereka. Tapi jika nanti ada konflik, yang keluar hanya yang tercatat,” ujar Harry lagi, menyinggung sistem yang dipasangnya pada 2008 itu. Dan, demi meningkatkan nilai tambahnya, sejak 2006 CTI juga telah memiliki sentra teknologi. Fungsinya untuk mengujicoba antara perangkat server, dan software server dengan sistem di perusahaan klien. ”Kan gak lucu kalau sistem down pas uji coba di perangkat klien. Apalagi, di perbankan yang kalau error bisa bikin duit nasabah jadi nol, sama sekali tidak lucu itu,” ungkap Harry.

Sarana yang tidak dimiliki semua distributor itu juga dilengkapi dengan belasan unit komputer dalam satu ruang hingga menyerupai ruang kelas. ”Jadi, selain bisa untuk uji coba sekaligus training bagi end user. Business partner yang sedang mendekati kliennya silakan saja memakai tempat ini. Kami sendiri hanya mencoba memikirkan apa kebutuhan business partner kami,” kata Harry seraya menyebutkan, sarana ini sangat memudahkan mitra bisnis dalam menjaring klien.

Terkait produk yang didistribusikannya, CTI rata-rata menambah satu prinsipal saja per tahun. “Berhubung sudah memiliki nama baik, belakangan beberapa prinsipal dengan merek yang tidak sepopuler produk sebelumnya mulai didistribusikan juga,” Harry menerangkan. Total kini terdapat lebih dari 15 merek yang didistribusikan, antara lain dari IBM, Oracle, EMC, Fortinet, Sopphos, Redhat dan Riverbed. Adapun solusi yang ditawarkan berupa solusi server, solusi penyimpanan (storage) dan sistem operasi. Sementara mitra bisnis CTI kini mencapai 300 pihak lebih yang terdiri dari integrator sistem, vendor software independen, dan konsultan TI.

CTI pun memiliki kriteria tersendiri dalam memilih prinsipal, di antaranya keunggulan teknologinya dan komitmennya dalam memasuki pasar Indonesia. Tak ketinggalan, seberapa banyak distributor yang sudah eksis di Nusantara. “Karena distributor itu ibarat istrinya prinsipal. Kami tidak mau dong yang sudah memiliki istri banyak, nanti kurang perhatian ke kami, ha–ha–ha,” ujar Harry sembari tertawa.

Kini struktur organisasi tertata lebih rapi, tidak seperti saat awal merintis dulu. Dan kerja keras pun terus dilakukan, misalnya setiap Jumat meeting pukul 8 pagi. Staf yang terlambat meeting didenda Rp 20 ribu, manajer Rp 50 ribu, general manager Rp 100 ribu, dan direktur Rp 500 ribu. “Hasilnya, dibelikan makanan dan minuman ringan untuk mengisi kulkas kejujuran. Masukkan sendiri uangnya ke kotak uang bagi yang mau beli. Yang bahaya, kalau kulkas itu kosong, tapi gak ada duitnya. Pada gak jujur berarti, ha-ha-ha,” ujar Harry, lagi-lagi sambil tertawa.

Harry sendiri lebih banyak mengurusi laporan keuangan, sedangkan Gunawan di pemasaran. Meski demikian, Harry mengaku tidak terlalu memusingkan uraian tugas karena lebih berfokus mengelola perusahaan dengan gaya management by objective. “Jadi, kalau karyawan merasa suatu fungsi membantu dalam pencapaian tujuannya, itu menjadi pekerjaan dia juga,” ujarnya. Namun, tambahnya, “Kalau laporan keuangan jelek, itu jadi urusan saya. Gunawan banyak mengurusi marketing. Untuk urusan yang bersifat strategis, kami semua terlibat. Sementara sistem eksekusi pada saya.”

CTI juga menerapkan keleluasaan bekerja bagi karyawan. Contohnya, tidak menerapkan sistem absensi secara ketat. Yang terpenting, kemajuan pekerjaannya terpantau. Akan tetapi, jika seorang karyawan tidak masuk sebulan lebih, tentu atasan akan diminta mengingatkan bawahannya.

Karyawan juga diberi kartu membership salah satu pusat kebugaran di Jakarta. Tujuannya, agar CTI bisa meningkatkan produktivitas karyawan dan perusahaan. “Tapi, dari 200 karyawan kami, yang memakainya cuma 100. Banyak yang gak sempat memakainya dengan berbagai alasan, sibuk, macet, dan sebagainya. Termasuk ini nih, ” ujar Harry seraya menunjuk Lugas M. Satrio, Kepala Komunikasi CTI yang turut mendampingi wawancara dan hanya bisa tertawa ditunjuk seperti itu.

Produktivitas juga menjadi salah satu alasan mengapa CTI memecah diri menjadi lima anak usaha di awal tahun 2011 ini. Menurut Harry, dengan membagi fokus ke dalam lima bidang, fleksibilitas akan tetap terjaga. Anak usaha tersebut adalah PT Blue Power Technology, PT Central Data Technology, PT Virtus Technology Indonesia, PT Niaga Prima Paramitra dan PT Xsis Mitra Utama. Ketiga perusahaan yang disebut terakhir merupakan hasil akuisisi CTI. Adapun CTI kemudian membagi pengelolaan produk-produk yang mereka distribusikan ke tiga anak perusahaan. Blue Power mengurus produk IBM, Central Data menangani produk Oracle, dan Virtus menangani produk dari prinsipal lainnya seperti Kace, EMC, Sopphos dan Redhat. Dua anak usaha lainnya menangani solusi infrastruktur alih daya dan pendidikan.

Hasil berbagai pembenahan yang dilakukan berkala dari tahun ke tahun itu terasa hingga kini. Hanya dengan 25 karyawan dan omset US$ 10 juta pada 2003, kini di akhir 2010 pendapatan CTI berlipat sembilan, menyentuh angka US$ 90 juta dengan 200 karyawan. “Tahun ini saya targetkan Rp 1 triliun. Dan di 2013 saya ingin omset mencapai Rp 1,5 triliun dan go public,” ujar Harry yang kini memegang 30% saham, sementara Gunawan 15% dan selebihnya dipegang beberapa partner mereka yang tergabung dalam perusahaan solusi TI Anabatic Technologies.

Tidak puas hanya dengan pasar dalam negeri, Harry dan timnya juga akan mengembangkan perusahaannya ke regional. “Sepengetahuan saya, belum ada perusahaan distributor TI yang masuk ke regional. Kalau dari luar ke Indonesia sih, banyak,” kata Harry yang akan memfokuskan diri berekspansi ke negara ASEAN dulu.

Ketika diminta komentarnya, Harijono Suwarno, Direktur Pengelola Multipolar, yang kini menjadi salah satu mitra bisnis CTI, mengatakan, keunggulan layanan CTI bukan semata dari hubungan bisnis. “Tetapi juga pendekatan personal dan technical support. Saya melihat CTI menerapkan layanan menyeluruh karena sebagai late comer harus memberikan value added,” ujarnya.

Harijono pun menyarankan CTI untuk mempertahankan winning values tersebut meskipun perusahaan bertambah besar. Selain itu, CTI diminta menempatkan diri dalam posisi pelanggannya, sehingga bisa selalu memberikan layanan terbaik sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Harry dinilai Harijono sebagai pemimpin yang tegas. “Meski demikian, pendekatan personal tetap tidak dilupakan,” ungkap Harijono.

Pengamat dan praktisi pemasaran dan branding, Sumardy, pun memuji pencapaian Harry CS. “ Jika dilihat dari pencapaian revenue-nya, tentu saja ini adalah kesuksesan yang luar biasa dengan pencapaian yang fantastis di tengah iklim bisnis di kategori IT yang juga semakin meningkat tajam,” urai konsultan pemasaran di Octovate tersebut.

Sumardy memaparkan di dalam segmen business to business (B2B) seperti ini, salah satu kunci adalah kemampuan membangun jalur ke perusahaan yang merupakan pelanggan utamanya. “ Menggunakan business partner bisa menjadi pilihan yang cerdas karena CTI cukup fokus di core-nya sebagai distributor dan penyedia produk sedangkan urusan membangun relationship dan penjualan diserahkan kepada business partner.

Tantangan channel conflict menurut Sumardy sudah berhasil diatasi CTI dengan baik. “ Di dalam bisnis seperti ini yang mengandalkan business partner, konflik antar sesama partner merupakan hal yang paling krusial. Namun demikian, seiring dengan semakin banyaknya produk yang didistribusikan, melakukan spesialisasi dan fokus harus menjadi prioritas, sepertinya inisiatif ini sudah dilakukan dengan adanya 5 perusahaan yang dikhususkan untuk lini bisnis yang berbeda,” urai Sumardy.

Terakhir, Sumardy memaparkan, kecenderungan berbagai bisnis serupa CTI adalah mencoba masuk ke kategori lainnya misalnya dengan menjual sesuatu yang terintegrasi. “ Ada baiknya tetap fokus sehingga bisa menguasai industrinya dengan baik. Jadi fokus merupakan kunci utama yang akan membedakannya,” ujar Sumardy memberi saran.

Riset: Evi Maulidiyyah Amanayanti


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved