Entrepreneur

Pernah Kena Tipu Petani, Ben Kini Asuh Ribuan Petani

Pernah Kena Tipu Petani, Ben Kini Asuh Ribuan Petani

Nasib petani di Indonesia masih memprihatinkan. Tak heran, arus urbanisasi masih tak terbendung. Para anak-anak muda hijrah dari desa ke kota demi meningkatkan taraf hidup keluarga. Pondok Daya yang lahir sejak 2004 silam, salah satu misinya adalah meningkatkan kesejahteraan petani. Sehingga, mereka lebih fokus membangun desa ketimbang mengadu nasib di kota yang seringkali berujung pada kegagalan.

“Kami memproduksi gula semut (brown sugar). Petani penderes paling miskin diantara petani yang lain. Mereka dulu hanya dapat Rp 2.000-3.000 perkilogram dari pabrik kecap. Bulan puasa lebih tinggi tapi tak sampai Rp 1.000 kenaikannya,” kata Ben Soegoro, founder CV Pondok Daya, produsen produk organik, seperti gula semut, VCO, dan lainnya.

Nah, Pondok Daya bisa sedikit membantu meningkatkan kesejahteraan petani dengan membeli di harga Rp 5.000 perkilogram pada awal-awal berdiri. Saat ini, mereka mampu membeli di harga Rp 18.000 perkilogram dengan standar kualitas yang ditetapkan sesuai permintaan ekspor. Salah seorang petani, menurut Ben, ada yang bisa meraup hingga 15 juta setiap bulannya dari hasil menjual 15 kilogram gula semut setiap harinya.

Ben Soegoro Founder Pondok Daya (belakang-tengah)

“Itu bisa diperoleh dari 40 pohon kelapa miliknya. Kami juga berusaha membuat produk organik lain seperti jahe, kunyit, kayu manis, dan lainnya. Itu agar petani memiliki sumber pendapatan lain, tidak hanya dari gula semut,” kata pria lulusan Universitas Indonesia ini.

Kondisi alam Indonesia yang subur, juga membantu para petani pemilik perkebunan kelapa. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk perawatan tanaman. Kelapa tidak perlu mendapat pupuk kimia dan tidak memerlukan pestisida untuk tumbuh tinggi dan besar, cukup dengan pupuk kandang. Lain halnya dengan padi yang memerlukan perawatan ekstra, mulai dari pupuk dan pestisida. Produk organik memang mengharamkan penggunaan zat kimia.

“Setiap petani yang ingin bergabung dengan kami harus diseleksi dulu. Mereka yang memiliki kebun kelapa dekat sawah kami tolak. Kami telah memiliki sertifikat organik yang harus diperbarui setiap tahun. Kami harus ketat karena kualitas adalah yang utama. Sekali barang kami jelek, susah untuk jualan,” kata dia.

Saat ini, lanjut Ben, sudah ada 1.000 lebih petani yang bermitra dengan Pondok Daya. Mereka semua tergabung dalam 7 kelompok tani yang tersebar di wilayah Banjarnegara, Purbalingga, hingga Pangandaran. Satu kelompok tani ada yang memiliki 100 orang petani, 500 orang, bahkan ada yang 850 orang petani. Di usia yang ke-7, setelah mereka meresmikan usahanya pada 2010 silam, Ben dan kedua rekannya, yang sejak awal membangun dan membesarkan Pondok Daya memiliki sederet rencana besar.

“Organisasi harus dirapihkan, pemasaran diperkuat, sistem yang terkait petani juga harus diperbaiki. Kami yakin peluang masih sangat besar. Dari awalnya, pemasaran via online, kami harus rajin ikut pameran di masing-masing benua. Harapannya, kami bisa dapat dobel sekitar Rp 20 miliar pada tahun ini,” kata pria yang tidak suka dengan rutinitas ini.

Memanjat kelapa, salah satu kegiatan rutin petani yang menjadi mitra Pondok Daya

Ayah dua anak ini tak hanya asal bicara. Ia mendapat info dari salah satu kliennya bahwa kapitalisasi pasar gula semut di Amerika Serikat mencapai US$ 600 juta sepanjang 2016 lalu dan diprediksi akan terus naik pada tahun ini menjadi US$ 800-900 juta. Tak hanya bersaing dengan pemain lokal, Pondok Daya juga harus terus meningkatkan kualitas agar tidak semakin tertinggal dengan para pemain di Filipina meski menawarkan harga sedikit lebih mahal.

“Kualitas produk mereka memang lebih bagus. Tapi, kami masih bisa berjaya karena menawarkan harga lebih murah. Thailand, produknya tidak terlalu bagus. Mereka bahkan ingin belajar dari kami. Kami harus memiliki sertifikat HACCP atau ISO agar daya saing meningkat, juga memiliki gudang yang memenuhi standar tersebut. Potensi dari Amerika dan Eropa masih sangat besar,” ujar Ben.

Saat ini, Negeri Paman Sam masih menjadi negara pengimpor terbesar yakni 80% dari gula semut yang diproduksi Pondok Daya. Disusul, Eropa, dan beberapa wilayah Asia Timur dan Australia. Mereka tengah mengincar Tiongkok setelah mencicipi gurihnya pasar di Taiwan. Dengan jumlah penduduk yang besar, permintaan dari negeri China daratan itu tentunya bakal menggiurkan. Permintaan yang terus naik akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petani.

“Dulu, saya memang pernah ditipu petani. Tapi, saya bertekad menjadikan Pondok Daya sebagai korporasi besar yang menaungi banyak petani. Sehingga, kehadiran kami lebih dirasakan banyak orang. Indonesia kaya produk organik seperti kelapa, jahe, kunyit, kayu manis, dan lainnya. Potensi ini yang harus dikembangkan. Sulit mengatasi China di sektor manufaktur,” kata dia.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved