Entrepreneur

Petarung Samudra Harumkan Bangsa

Petarung Samudra Harumkan Bangsa

Sondi dan Raymond berhasil mempromosikan wisata bahari Indonesia di dunia internasional dengan menggagas Sail Indonesia. Bagaimana perjuangan mereka sejak 10 tahun silam untuk memperkenalkan kegiatan reli kapal layar terbesar di Asia itu?

Pada 23 Juli 2011 Sail Indonesia yang ke-10 kembali digelar. Perhelatan kapal layar (yacht) terbesar di Asia dan menjadi rangkaian reli kapal pesiar dunia itu akan diikuti oleh 150 kapal layar dari 30 negara.

Keberhasilan ajang Sail Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jasa dua sosok pelaku wisata bahari di Tanah Air. Mereka adalah Son Diamar (Sondi) dan Raymond Lesmana. Keduanya memiliki dedikasi tinggi memperkenalkan Indonesia ke forum internasional melalui kekayaan dan keindahan perairan lautnya.

Sondi adalah pemegang gelar Ph.D dari Public Policy Graduate School of Public Analysis, Harvard University. Pria kelahiran Jakarta 12 Mei 1953 ini memiliki keahlian dan jam terbang yang lama di bidang maritim, sehingga dikenal sebagai salah seorang ahli maritim dunia. Selain menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor, dia juga Ketua Tim Studi Pembangunan Ekonomi Bank Dunia.

Prestasi Raymond tidak kalah hebat. Setamat kuliah di Glass Art Class atau Touch of Glass, Los Angeles, dia jatuh cinta pada dunia bahari Indonesia. Lelaki kelahiran Bandung 15 Oktober 1954 itu sekarang dipercaya menjabat sebagai Direktur Eksekutif Sail Indonesia.

Terinspirasi dari kesuksesan pariwisata kelautan di Lautan Mediterania dan Karibia yang tersohor di dunia, lantaran pesisirnya selalau ramai kedatangan banyak kapal cruise, Sondi dan Raymond ingin menjadikan Indonesia seperti itu. Apalagi, perairan laut negara kita lebih luas ketimbang Eropa Barat. Keanekaragaman hayati laut kita luar biasa dengan spesies terumbu karang dan ikan yang beragam. Juga, Indonesia dikenal memiliki sekitar 600 suku bangsa dan bahasa. Jelas, potensi itu dahsyat, sehingga turis asing ingin berkunjung ke Indonesia. “Kata orang Prancis, separuh dari kapal cruise dunia ingin main ke Indonesia. Dengan demikian, bakal ada sekitar 10 ribu yacht dunia parkir di pesisir lautan kita,” Sondi menerangkan.

Bila ada ribuan kapal pesiar asing parkir di Indonesia, multiplier effect-nya juga signifikan. Daerah pesisir yang disinggahi kapal-kapal itu untuk merapat akan beroleh berkah dari biaya sewa kapal yang istirahat atau ditambatkan dengan charge US$ 10-30. Itu belum termasuk perputaran uang di jasa penyewaan rumah penduduk untuk tinggal para turis, penjualan makanan, kebutuhan kapal ataupun cenderamata. Sebagai gambaran, lanjut Sondi, di Prancis Selatan saja yang disinggahi sekitar 20% cruise dunia selama musim dingin (6 bulan), pemasukannya mampu untuk menghidupi masyarakat di sana selama dua tahun. Tentu, peluang di Indonesia lebih gede mengingat iklim di Indonesia tropis, sehingga kapal pesiar itu bisa parkir sepanjang tahun atau 12 bulan tanpa jeda.

Sondi menegaskan, 70% pariwisata di dunia terkait dengan laut, bukan budaya. Maka, pihaknya ingin terus mendorong pariwisata kelautan Indonesia menjadi objek wisata laut terkemuka di dunia. Cita-cita mulia terwujud melalui bendera kegiatan wisata laut Sail Indonesia.

Cikal bakal Sail Indonesia bermula ketika Raymond bergabung dengan Gabungan Pengusaha Wisata Bahari Indonesia (Gahawisri) pada 2001. Ketika itu, Gahawisri bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menggelar Indonesia Marine Tournament di Bali dan Kupang. Salah satu acaranya reli yacht Darwin-Bali yang diikuti sejumlah negara. Di ajang inilah pertemuan Sondi dan Raymond. Raymond diundang Sondi meninjau lapangan untuk mencari tempat pendaratan kapal yacht dari Darwin (Australia) di Kupang (Indonesia).

Rupanya, di tahun-tahun berikutnya lomba kapal layar ini mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat. “Sebelum namanya Sail Indonesia, reli layar ini disebut Darwin-Kupang Rally,” kata Sondi mengenang. Karenanya, tahun 2003 Raymond dan Sondi sepakat membentuk Yayasan Cinta Bahari Indonesia (YCBI), lembaga nirlaba yang mempunyai misi membantu pemerintah mengembangkan potensi laut dan pesisir pulau tujuan wisata. Dari sini muncul ide menyelenggarakan reli kapal layar internasional.

Selama 10 tahun digelarnya reli kapal layar, diakui Sondi, nama event-nya beberapa kali mengalami perubahan. Mula-mula Indonesia Marine Tournament (2001-2002), lalu Darwin-Kupang Rally, kemudian sejak tahun 2009 resmi digunakan branding Sail Indonesia. Kegiatannya pun bervariasi mulai dari berselancar, voli pantai, menyelam, fotografi bawah laut, seminar plus phinisi.

Guna menyemarakkan acara wisata laut itu, Raymond aktif mendekati warga pesisir, kepala adat, bupati atau gubernur untuk mendukung kegiatan Sail Indonesia. Untungnya, mereka semua merespons positif. “Mereka yang tinggal di pantai, yang dikenal pusat wilayah kemiskinan, digali potensinya dengan acara yang tidak perlu rumit. Mereka cukup sediakan keramahan dan kesederhanaan untuk para pelayar dunia,” Raymond menegaskan.

Para pelayar asing antusias mengikuti Sail Indonesia. Alasannya, banyak orang asing yang sudah bosan dengan rutinitas hidupnya, sehingga mereka yang kaya memutuskan untuk berkeliling dunia selama 20 tahun. Ketika turis itu masuk ke Indonesia, sangat senang diterima oleh masyarakat di sekitar tempat kapal pesiar mereka singgah. “Jadi, tidak perlu birokrat yang tampil di depan, cukup masyarakat yang kami dorong untuk tampil,” ujar Raymond lagi.

Tingginya permintaan masyarakat untuk mendatangkan kapal asing singgah di daerah mereka, mendorong Sondi-Raymond dan pejabat Kementerian Kelautan (Meriyanto dkk.) mendirikan Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa (YCBAN, sebelumnya bernama YCBI) tahun 2005.

YCBAN inilah yang menggerakkan Sail Indonesia dengan menetapkan acara yang berlangsung tiga bulan nonstop dan melewati lebih dari 15 titik destinasi. Di setiap titik destinasi dibentuk acara dengan pemda setempat dan masyarakat. Pemda hanya diminta memfasilitasi kegiatan menggerakkan ekonomi rakyat di pesisir. Awalnya, hanya 18 negara yang ikut dan datang ke daerah destinasi tersebut, lalu tahun 2005 naik menjadi 22 negara dan tahun 2011 diperkirakan 30 negara berpartisipasi.

Dalam perkembangannya, tahun 2007 Sail Indonesia (dulu disebut Darwin-Kupang Rally) sudah menjadi acara layar terbesar di Asia, bahkan masuk agenda kegiatan layar dunia. Selain itu, YCBAN sudah berhasil membentuk jalur layar di Indonesia: lintas barat di Kupang sebagai entry point, lintas timur di Saumlaki, dan lintas utara di Tarakan. Destinasi yang sudah terbentuk pada Sail Indonesia: Kupang, Alor, Lembata, Maumere, Ende, Riung, Lab Bajo, Rote, Sabu, Sumba Barat, Sumba Tengah, Bima, Lombok Utara, Bali Selatan, Bali Utara-Buleleng, Karimunjawa, Banjarmasin, Kumai, Belitung dan Batam. Juga, Saumlaki, Debut (Maluku Tenggara), Banda, Ambon, Wakatobi, Bau Bau, Makassar dan kemudian menyatu ke Flores mengikuti jalur Western Pass. Termasuk Tarakan-Bulungan, Tana Tidung, Berau, Sitaro, Bitung, Jailolo, Ternate, Tidore, Bacan, Obi, Gebe, Raja Ampat, Biak dan exit di Jayapura.

Sukses Sail Indonesia mendorong kemunculan Sail Bunaken milik pemerintah, sehingga peserta diarahkan ke sana. Total peserta ada 128 kapal, tetapi akhirnya cuma 17 kapal yang sampai ke Bunaken. Pasalnya, terjadi salah arahan daerah destinasi. Setelah Sail Bunaken, tahun 2010 digelar Sail Banda dan 2011 ini ada Sail Wakatobi-Biliton.

Pasca pengambilalihan sebagian destinasi Sail Indonesia oleh negara, maka Wakatobi-Biliton dipegang pemerintah. “Untuk tahun 2012, temanya Sail Morotai,” Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan RI, menimpali. Mengapa tidak pakai nama Indonesia? Menurut Fadel, pihaknya ingin mengenalkan lebih luas daerah destinasi. Toh, pada akhirnya semua orang tahu bahwa tujuannya adalah Indonesia.

Tahun 2011, Sail Indonesia membuka dua destinasi, yaitu 120 kapal di Kupang dan 120 kapal di Saumlaki (Maluku Tenggara Barat). “Kami tidak ingin destinasi ini menjadi bisnis besar. Tujuan utama kami adalah menggerakkan pemerintah daerah dan masyarakatnya,” Raymond menjelaskan.

Dari mana sumber pendanaan kegiatan Sail Indonesia yang digelar saban tahun? Mereka sepakat mencari dana sendiri untuk mengenalkan maritim Indonesia. Misalnya, melalui pengadaan pelatihan, penerbitan buku, atau kegiatan kerakyatan dari daerah lain. “Tidak ada dukungan pemerintah. Kami volunteer, jangankan ada untung, dana cukup saja sudah untung,” cetus Sondi. Dia juga menegaskan, tidak ada duit serupiah pun yang masuk kantong mereka dari pendaftaran kapal layar yang berpartisipasi. “Dulu, untuk membayar operasional, technical meeting hingga survei, terpaksa kami biayai dari penjualan mobil pribadi,” ungkap Raymond.

Selain modal dana, kendala lain juga dialami dalam menggelar Sail Indonesia ini. Contoh, soal pengurusan izin kapal yang masuk, yaitu aturan Clearance Approval for Indonesia Territory yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri membuat ribet. Ini diperparah lagi dengan aturan izin Security Clearance dari Mabes TNI di Cilangkap. Lalu, kewajiban izin Sailing Permit dari Kementerian Perhubungan. Izin tersulit adalah dari Kantor Bea Cukai yang disebut Custom Immigration for Clearance and Guarantee. Mengapa? Rupanya, yacht dianggap sebagai barang impor yang pemiliknya diwajibkan membayar uang jaminan sebesar 47% dari harga kapal yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Kesulitan lain, masa izin tinggal turis yang terlalu pendek yakni satu bulan. Lama izin itu tidak masalah jika dipakai untuk keliling laut di Jepang yang tidak terlalu luas. Sementara jika keliling Lautan Indonesia butuh waktu setidaknya dua tahun. “Ya, sebaiknya visa turis diperpanjang hingga satu tahun agar mereka bisa menikmati wisata laut Indonesia lebih lama,” kata Amirul Tamim, Wali Kota Bau Bau, Sulawesi Tenggara.

Tidak hanya masalah birokrasi yang menjadi batu sandungan. Minimnya infrastruktur pun menghambat kemajuan Sail Indonesia. Yaitu, terbatasnya jumlah pelabuhan marina. Itulah sebabnya pada event tahun 2006 hanya dibatasi 100 kapal layar yang ikut, padahal ada 300 permohonan yang sudah masuk ke panitia.

Baik Sondi maupun Raymond tidak berharap balas jasa atau penghargaan dari negara. Mereka hanya berharap, pemerintah mampu mengatasi kendala yang dialami Sail Indonesia selama ini. “Nantinya, kami ingin Indonesia bisa menjadi kawasan wisata bahari terbesar di dunia dan rakyat Indonesia menikmatinya,” ujar Sondi tandas.

Manfaat kegiatan Sail Indonesia dirasakan daerah setempat. Chrispin Mesima, Kepala Seksi Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, NTT, misalnya, mengakui, Sail Indonesia bermanfaat bagi upaya pengembangan destinasi pariwisata. “Untuk jangka panjang sangat bagus. Sebab, di dalamnya ada misi pengembangan sosial, kemanusiaan dan ekonomi daerah destinasi, terutama daerah pesisir,” dia menegaskan.

Eva Martha Rahayu & Herning Banirestu

Riset: Rachmanto Aris Daryoko

Infografis:

Perjalanan Sail Indonesia

Dirintis tahun 2001 dengan ajang bernama Indonesia Marine Tournament (2001-2002).

Lalu, namanya berubah menjadi Darwin-Kupang Rally.

Tahun 2009 resmi branding Sail Indonesia. Kegiatannya pun bervariasi mulai dari berselancar, voli pantai, menyelam, fotografi bawah laut, seminar plus phinisi.

Tahun 2011, Sail Indonesia membuka dua destinasi, yaitu 120 kapal di Kupang dan 120 kapal di Saumlaki (Maluku Tenggara Barat).

Juli 2011 Sail Indonesia ke-10 kembali digelar dengan peserta 150 kapal layar dari 30 negara.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved