Entrepreneur

Sano, Lulusan ITB yang Berbisnis Sampah

Sano, Lulusan ITB yang Berbisnis Sampah

Tak seperti layaknya pemuda-pemuda lain, sosok Bijaksana Junerosano punya pilihan yang terbilang cukup kontroversial dalam hidupnya. Alih-alih bekerja di kantoran, pria berusia 34 tahun ini memilih berkotor-kotor ria mengurusi sampah. Padahal, Sano, sapaan akrabnya merupakan salah satu lulusan universitas ternama Bandung. Ia merupakan alumni dari jurusan Teknik Lingkungan ITB, kampus yang notabene banyak diminati oleh banyak perusahaan dalam mencari karyawan.

tumblr_static_2skiytv0sbqcw8csgg8k4gc48

Ketertarikannya pada isu lingkungan, ia ceritakan bermula jauh sebelum ia masuk ke ITB. Ketika masih duduk di bangku sekolah, ia sempat memikirkan jurusan apa yang paling cocok bagi masa depannya nanti. Tak mau salah pilih, ia kemudian melakukan shalat istikharah. Sebuah ritual shalat yang biasanya dilakukan umat muslim untuk meminta petunjuk Allah ketika dihadapkan pada beberapa pilihan atau saat akan memutuskan sesuatu hal. “Usai shalat saya lihat tayangan di televisi yang menggambarkan begitu parahnya sampah di Jakarta, dengan segala permasalahannya. Sejak itu saya langsung tertarik ingin menyelami dunia sampah. Berarti saya harus mengambil jurusan Teknik Lingkungan,” kenang Sano yang masuk kuliah tahun 2000.

Begitu lulus kuliah, ia langsung tancap gas mendirikan Yayasan Greeneration Indonesia yang membawahi sejumlah usaha yang dijalankannya. Mulai dari produksi tas ramah lingkungan ‘Bagoes’, yayasan Diet Kantung Plastik, hingga kemudian lahirlah Waste4Change, yang selain mengelola sampah juga bergerak di bidang konsultan lingkungan, training serta studi kelayakan.

Waste4change ia dirikan sejak tahun 2014, untuk lebih bisa ekspansif dalam hal bisnis sampah.” Yang membedakan GI dengan LSM, atau organisasi lingkungan lainnya, adalah kami ini perusahaan. Kalau isu tetap sama berkaitan dengan lingkungan. Jadi, kami berwira usaha dengan sampah. Kami hidup berdikari, dan tidak hanya dari donasi, “ ujarnya.

Hampir 1,5 tahun berdiri, waste4change, kini telah mengakut sampah dari 2000 rumah tangga yang berada di bekasi. Waste4change juga mengangkut sampah dari dua gedung perkantoran, dan melakukan traning serta konsultasi di bidang lingkungan.

947355_10151364732011831_545822550_n

Ia percaya sampah merupakan sesuatu yang bernilai bisnis. Di Amerika Serikat ia mengungkapkan nilai omzet bisnis dari sampah mencapai 500 miliar dolar, di Inggris 8 miliar dolar per tahun. “Sayang di Indonesia kita tak punya data,” ujarnya.

Kota besar seperti Jakarta, ia contohkan, menghasilkan sampah kurang lebih 7000 ton per harinya. Volume tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Eropa yang hanya menghasilkan sampah 1.500-2.000 ton per hari.

Bukan pilihan bijak, menurut dia, bila hanya melakukan pendekatan konservatif seperti mengumpulkal lalu dibakar. Perlu terobosan, untuk menjadikan sampah mempunyai nilai lebih dengan cara melakukan 3 R ( Reuse, Reduce, Recycle). Di Waste4change, ia memastikan melakukan pengumpulan sampah secara bijaksana. Waste4Change memproses sampah di Material Recovery Facility (MRF), di mana sampah akan dipilah berdasarkan kategorinya dengan lebih detail. Hasil pilahan sampah yang sudah dikategorikan diberikan kepada pihak yang dapat menyalurkan sampah untuk didaur ulang, seperti bandar sampah atau langsung ke industri yang membutuhkan bahan daur ulang. “Sampah yang tidak dapat didaur ulang akan dibuang di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) milik pemerintah setempat,” dia menegaskan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved