Entrepreneur

Shanti L Poesposoetjipto: Persahabatan, Kunci Sukses Samudera Indonesia

Shanti L Poesposoetjipto: Persahabatan, Kunci Sukses Samudera Indonesia

Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, Komisaris Utama PT Samudera Indonesia Tbk. (SI) masih terlihat energik di usianya yang sudah menginjak 63 tahun ini. Dia adalah generasi kedua dari Soedarpo Sastrosatomo, pendiri SI.. Sepeninggal ayahnya, lulusan Technische Universitat Munchen, Jerman ini meneruskan nahkoda perusahaan pelayaran tersebut.

Bersama jajaran kelompok usaha SI, PT Soedarpo Informatika, PT Asuransi Bintang, PT Indo Marine, dan perusahaan lain yang dirintis orang tuanya bersama rekan-rekannya, dia dituntut untuk lebih aktif. Karier profesionalnya diperoleh berdasarkan hasil pembelajarannya kepada sang ayah dalam praktik-paktik pengembangan bisnisnya.

Nah, seperti apa pengalaman-pengalaman dan pembelajaran yang didapat Shanti dalam mengurus perusahaan sebesar SI, berikut penuturannya kepada Gustyanita Pratiwi dari Swa Online:

Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto

Bagaimana Anda melihat pembelajaran-pembelajaran penting yang didapat dari ayah hingga Samudera Indonesia menjadi seperti sekarang?

Kalau melihat Samudera Indonesia, Asuransi Bintang atau Niaga, itu yang menjadikan perusahaan besar adalah Bapak dan kawan-kawannya. Jadi bukan Pak Soedarpo saja. Memang mungkin yang menonjol di masyarakat atau yang ketahuan Pak Darpo, tapi sebetulnya banyak kawan-kawannya yang sampai sekarang merupakan pemilik. Bahwa akhirnya memang Bapak di Samudera Indonesia mungkin yang terbesar, ya patut disyukuri. Tapi satu aspek yang saya belajar dari Bapak waktu itu adalah kalau kita masuk ke dalam satu perusahaan dan kita berperan sebagai anggota dewan komisaris, nah peran kita kan bukan sebagai pemilik. Berarti kita adalah anggota dewan komisaris di mana para anggota itu mempunyai hak suara yang sama. Di situ tidak bisa berperan persentase kepemilikan. Di situ yang dijaga mungkin aspek governance yang kadang-kadang agak sulit bagi orang biasa yang tidak bergerak di korporasi untuk menyelami itu. Tapi kalau di dalam komisaris dan direksi artinya sama haknya. Semua punya hak suara.

Pengalaman-pengalaman apa saja yang Anda dapatkan terkait dengan wewenang pengambilan keputusan di dalam sebuah bisnis?

Saya menarik pengalaman bahwa seringkali kalau kami sedang berada di dalam rapat dewan komisaris/direksi terjadi suatu diskusi mengenai satu jurus yang harus diambil. Kebetulan apa yang disuarakan Bapak tidak disetujui, dan mayoritas tidak menerima, maka Bapak akan terima. Jadi itu satu hal yang mungkin buat saya menjadi bahan pembelajaran buat generasi berikut dan rekan-rekan direksi yang lainnya. Bahwa jangan lihat saya sebagai pemilik saja. Dan kepada keponakan-keponakan juga agak sukar ternyata. Kadang timbul pertentangan yang ada di dalam nilai-nilai luhur falsafah kekeluargaan. Kita harus menghormati yang tua, jadi adik saya itu paling bisa bicara begitu.

Saya sering keras sama Bapak, kalau dalam konteks ‘usaha’. Kalau ada adik saya, itu saya bisa dibilang dosa. Kurang ajar. Tapi saya tahu di konteks mana saya berada. Jadi saya pernah begitu dan disuruh minta maaf, tapi saya bilang saya tidak mau, karena saya tidak merasa salah. Tapi adik saya itu berani minta maaf, meskipun memang tidak salah sebenarnya. Kalau saya tidak akan melakukan itu.

Keberhasilan bisnis, tentu tak lepas dari yang namanya networking. Menurut Anda apa contoh networking yang bisa menunjang kebesaran nama perusahaan? Adakah pengalaman menarik yang dapat di–share?

Jadi perkara persahabatan itu saya kira belakangnya trust. Saya ingat sekali, waktu saya mahasiswa, Ayah mewakili suatu perusahaan Jerman. Nah, Ayah kenal baik dengan pemilik maupun dirut/komisaris utamanya. Saya di Kota Munchen kan jauh dari Hamburg. Karena pusatnya di Hamburg. Jadi kepala cabang di sana itu mendapat mandat dari dirutnya harus ngopeni saya. Bagi dia mungkin itu peluang. Kapan lagi saya dapat perhatian dirut? Konsekuensinya adalah tiap bulan dia ngajak saya makan. Fine dining lagi. Waktu itu kami kan karena mahasiswa kalau bisa casual, sebab kalau di Eropa gap antara yang formal dengan casual itu besar sekali. Lain kalau di Amerika, dimana-mana bisa casual. Jadi saya itu gerah. “Ngapain sih Pa, saya nggak ada urusan bisnisnya Papa, tapi saya musti tiap bulan jalan”. Terus Ayah bilang gini : ”Ti, gnashing goes beyond friendship.” Saya tanya : “Kenapa Pa?” Ayah pun menjawab : “Kalau saya tidak kenal dia dulu secara pribadi, Samudera Indonesia itu tidak akan ada. Kenapa? Karena waktu Samudera Indonesia dibentuk berdasarkan atas dekrit dari Bung Karno yang ingin supaya di Indonesia ada perusahaan pelayaran. Sehingga waktu itu perusahaan-perusahaan keagenan, itu kawin paksa disuruh jadi satu perusahaan pelayaran. Tapi persyaratannya dalam waktu 3 tahun tadi yang ikut itu setor satu kapal. Nah, waktu itu, dirutnya bilang, “Sudah beli saja kapal saya. Beli kapal bekas, terus anak-anak buahmmu latihannya di kapal saya. Kru-krunya bisa magang di situ”. Ya itu kan satu blessing buat kami sebab rekan-rekan lain banyak yang tidak berhasil. Jadi sejak itu saya selalu persahabatan itu, nggak ada urusan saudara, nggak ada urusan suku, etnik, dll. Itu besar sekali pengaruhnya.

Zaman dulu kan kental sekali persahabatan dan network dibatasi oleh adanya ras atau etnik tertentu, bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini? Apakah ini menjadi masalah dalam menjalin network?

Saya juga ada satu pengalaman di Jerman. Di sana ada perkumpulan pelajar Indonesia. Pada suatu saat ada pemilihan pengurus baru. Itu stagnan. Tidak ada anak-anak Indonesia yang ibaratnya mau. Nah terus terang, kalau 1967 kebanyakan China daripada pribumi yang bersekolah di Eropa. Jadi kebalik, kalau di sini era 1966 kebanyakan dari Indonesia asli, sementara saya di sana minoritas. Kalau libur diomelin sama angkatan 66, ngapain jalan ama China mulu di situ? Ya saya bilang, “Gue di sana minoritas. Hahaha…..” Tapi lepas dari itu, kebetulan waktu itu ada kelompok anak-anak mahasiswa China-Indonesia yang mau mampir ke pengurusan itu. Ya saya support. Jadi, malam itu saya didatangi anak-anak Indonesia. Kok bisa yang China-Indonesia yang jadi. Ya, saya jawab :”Kalian nggak ada yang mau, sementara ini mau, jadi kenapa nggak dipakai? (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved