Entrepreneur

Tantangan Edi Membudidayakan Hidroponik di Bahrain

Tantangan Edi Membudidayakan Hidroponik di Bahrain

Memberi sumbangsih untuk Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Edi Sugiyanto, Founder Agrifam ini sudah membuktikannya. Langkah ini dimulai tahun 2012, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan salah satu proyek pertanian hidroponik di kawasan Timur Tengah, khususnya hidroponik sayuran dengan teknologi greenhouse dan perangkatnya.

Sejak 16 tahun yang lalu, ia berkomunikasi dengan beberapa grower yang secara komersial menggunakan greenhouse sebagai bagian dari produksi sayuran dengan sistem hidroponik. “Grower” adalah nama populer di sebagian pelaku hortikultura di luar negeri. Istilah grower sebenarnya sama saja dengan petani di Indonesia. Akan tetapi, grower lebih pada kemampuan personal, baik teknologi maupun dalam mengelola usaha pertanian yang dimiliki.

Edi Sugiyanto (kiri), Diaspora Pengembang Hidroponik di Bahrain

Edi Sugiyanto (kiri), Diaspora Pengembang Hidroponik di Bahrain

Pilihan pun jatuh pada negara Bahrain. Menurutnya, para grower dan pengembang teknologi hidroponik dan greenhouse sudah sejak lama berlomba-lomba menawarkan dan menerapkan teknologi ini ke kawasan Timur Tengah, sebagai alternatif “food security” yang memang sedang gencar dilaksanakan oleh negara-negara kawasan Timur Tengah.

“Sebagian besar lebih melihat teknologi dari Eropa dan Australia, sehingga pertumbuhan produksi pertanian sistem hidroponik terus berkembang. Sejak 10 tahun terakhir berdiri perusahaan pertanian berbasis teknologi tersebut hampir di setiap kawasan jazirah ini,” ungkap pria kelahiran Tegal, 2 September 1970 ini.

Lantas, apa tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan hidroponik di negara yang terkenal dengan suhu panasnya tersebut? Musim panas dan badai pasir di negara tersebut dapat mencapai 40-50 derajat celcius, terutama daerah kawasan pertanian padang pasir. Hampir sebagian besar saat musim panas antara bulan Juni sampai dengan September, petani lebih baik memilih berhenti menanam. Hal ini juga terjadi di pertanian hidroponik. Mereka kesulitan mengatur suhu setinggi itu. Tidak hanya suhu yang sangat tinggi, tetapi kelembaban saat musim panas pun bisa mencapa 95%, dan seringnya badai pasir yang melanda kawasan timur tengah.

“Untuk itu, yang utama adalah bagaimana mendesain dan membangun sistem hidroponik dan greenhouse yang sesuai dengan kebutuhan budidaya tanaman yang telah ditentukan di lokasi tersebut. Dengan kondisi iklim di Bahrain, bukan perkara mudah untuk memproduksi sayuran, 6 jenis lettuce, tomat cherry, tomat beef, paprika, herbs, iceberg dan strawberry. Kenapa sayuran jenis ini? sebab sayuran inilah yang mempunyai nilai ekonomis tinggi berdasarkan market di Timur Tengah, khususnya Bahrain,” jelasnya.

Hingga saat ini, dari produksi sayuran hidroponik seperti Lettuce, dari 45 kg/m2/tahun menjadi rata-rata produksi lettuce 60 kg/m2/tahun. Kemudian sejak Desember 2012, produksi tomat cherry 20 kg/m2/tahun, saat ini meningkat menjadi 48 kg/m2/tahun. Edi menargetkan minimal menjadi 55 kg/m2/tahun. Hasil produksi dipasarkan di semua supermarket di Bahrain dan diekspor ke Arab Saudi.

20150211_123217

Untuk bisa mencapai itu, teknologi hidroponik harus menganut Greenhouse Crop Production System, melalui technical success (engineering, science dan commercial grower), production success (pengalaman, edukasi kepada pekerja), dan economic success (model bisnis, financial, marketing & sales). Sistem ini sudah ada sejak 100 tahun yang lalu.

“Kami sedang mengembangkan sistem aeroponik modern dan hidroponik dalam ruangan menggunakan teknologi LED,” kata pria yang berprofesi sebagai Hydroponics Commercial Growers & Greenhouse Vegetable Consultancy. Tidak hanya itu, adanya hidroponik ini dapat menjadi salah satu potensi wisata yaitu studi banding dari pelajar dan kelompok masyarakat tertentu. Nantinya ia ingin pertanian hidroponik buka semata-mata produksi dan menjual, tetapi harus dikemas dalam standar industri.

Sebagai penutup, ia memberikan pendapat mengenai pertanian hidroponik di Indonesia. Menurutnya dibanding 20 tahun lalu, Indonesia sudah lebih baik. Hal ini pun didukung dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin memudahkan mencari informasi mengenai hidroponik.“Jika dibandingkan negara lain, Indonesia masih belum bisa memanfaatkan teknologi pendukung hidroponik dengan baik. Padahal jika bisa mengelola dan memanfaatkannya, akan sangat tinggi kualitas dan jumlah produksi. Ke depan, peran petani hidroponik di Indonesia, akan lebih baik jika sebagian besar produksi bisa diekspor, sebab peluang tersebut sangat besar. Hidroponik itu, masa depan any plant, anywhere and anytime,” tjelasnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved