Entrepreneur zkumparan

Totalitas Donald Sihombing Melambungkan Totalindo

Donald Sihombing
Donald Sihombing, Pendiri dan CEO PT Totalindo Eka Persada Tbk

Aset perusahaan konstruksinya melejit hingga Rp 3,5 triliun. Ia merintis bisnis konstruksi dari uang pesangon dan bermodalkan kepercayaan pengusaha properti. Bagaimana liku-likunya membangun Totalindo?

Donald Sihombing mengisahkan peristiwa yang tidak bakal dilupakan ketika menerima surat pemutusan hubungan kerja pada 24 April 1995. Kala itu, ia terpaksa berhenti dari pekerjaannya di PT Total Bangun Persada Tbk. Pangkal penyebabnya bukan karena perilakunya, melainkan ulah rekan kerjanya yang melakukan perbuatan tidak terpuji. Gara-gara ini, Donald terkena getahnya. Ia dituding melakukan perbuatan yang tidak pantas. Akibatnya, pada pukul 10.00 WIB hari itu ia menerima sepucuk surat tanda pisah. Ia pun diberi pesangon sebesar Rp 10,8 juta.

Biasanya, di balik musibah, terselip berkah. Itulah yang dialami Donald karena peristiwa ini mengubah haluan hidupnya menjadi pengusaha konstruksi yang disegani. Cikal bakal Donald menjadi pengusaha memang berawal ketika di hari itu menerima telepon dari pengusaha properti dan pendiri Grup Mulia, Djoko S. Tjandra. “Saya ditelepon Pak Djoko untuk menemuinya pukul 2 siang. Setelah berjumpa dengannya, saya diberi kepercayaan melanjutkan proyek pembangunan Mal Taman Anggrek,” ujarnya mengenang. Tanpa berpikir panjang, ia menyanggupinya.

Peristiwa itu mengawali kiprah Donald sebagai pengusaha konstruksi. Modalnya hanya uang pesangon Rp 10,8 juta. Ia kemudian mendirikan PT Totalindo Eka Persada Tbk. pada 31 Oktober 1996, atau setahun setelah mendapat proyek pembangunan konstruksi Mal Taman Anggrek (MTA) yang dimiliki oleh Grup Mulia. Relasi antara Donald dan Djoko terjalin semasa Donald berkarier di Total. Ia bekerja di perusahaan konstruksi itu tahun 1990-95. Nah, selama bekerja di Total, ia pernah menangani sejumlah proyek pembangunan properti milik Grup Mulia, di antaranya Wisma GKBI di Jakarta dan Menara BRI di Surabaya, Jawa Timur.

Donald menuturkan, dirinya semasa bekerja di Total melebihi jam normal ketika menangani suatu proyek. “Saya setiap hari bekerja 20 jam,” ungkapnya. Rekan kerja mencibirnya karena ia dianggap mengincar posisi tertentu. Faktanya, ia salah seorang karyawan berprestasi, antara lain gajinya pernah naik sebanyak 10 kali dalam setahun. Persaingan tidak sehat pun muncul sehingga ia diterpa isu tidak sedap yang memaksanya hengkang dari Total. Ia menjelaskan, pengalaman bekerja di Total telah menempa kompetensinya menguasai setiap aspek pembangunan konstruksi. Dedikasi yang ditunjukkannya selama berkarier di perusahaan itu bukan untuk menarik simpati, melainkan untuk meningkatkan pengetahuan dalam mempelajari teknik konstruksi, operasional, dll. Intinya, menurut Donald, ia termotivasi mempelajari hal-hal teknis dan operasional dalam menangani suatu proyek besar. Prinsip ini menjadi bekal bagi pria kelahiran Medan, 23 Juli 1956, ini tatkala dipercaya untuk menyelesaikan proyek MTA yang kala itu merupakan proyek super block terbesar di Asia Tenggara.

Tentu saja, Donald disokong dana dari pemilik Grup Mulia. “Saya diberi uang dalam dua tas, tapi saya lupa nilainya. Uang itu untuk menggaji 200 staf dan 2 ribu buruh bangunan. Setiap dua minggu sekali saya berikan gaji ke pegawai,” ungkapnya. Sebagian besar stafnya itu adalah mantan karyawan Total yang dibajak olehnya. Mereka digaji tiga kali lipat agar bisa bergabung dengannya. Rekam jejaknya yang positif memudahkannya mengajak mereka bergabung di proyek MTA. Singkat cerita, ia bersama stafnya berhasil menyelesaikan pembangunan konstruksi MTA. Mereka bahkan berhasil mengungguli penyelesaian konstruksi MTA yang dikerjakan bersama perusahaan asal Korea Selatan dengan BUMN karya. Donald dan timnya menjaring keuntungan bersih dari proyek MTA itu lebih dari Rp 1 miliar. Dana ini diputarnya sebagai modal kerja untuk menggarap proyek berikutnya.

Tak disangka-sangkan, Djoko sekali lagi menunjuk Donald untuk membangun konstruksi Hotel Mulia di Senayan, Jakarta. Babak baru pun dimulai karena Donald sudah mendirikan Totalindo sebagai bendera bisnisnya di industri konstruksi. “Saya bersama empat kawan mendirikan Totalindo. Tetapi, mereka membeli saham dari saya 2-3 tahun setelah Totalindo berdiri,” tutur Donald. Totalindo pada Desember 1996 memulai pembangunan konstruksi Hotel Mulia di lahan seluas 100 ribu m2. Perusahaanya ini menorehkan prestasi yang mengundang decak kagum. Sebab, konstruksi struktur Hotel Mulia itu dirampungkan hanya dalam enam bulan dan hingga detik ini rekor ini belum dipecahkan oleh perusahaan lain untuk bangunan sejenis. Totalindo mengerjakan konstruksi Hotel Mulia yang terdiri dari 42 lantai dan dua lantai basement.

Donald tidak memiliki trah pengusaha atau mewarisi bisnis keluarga. Ayahnya berprofesi sebagai pegawai negeri sipil dan ibunya adalah wanita rumah tangga. Ketika berusia sembilan tahun, ia hijrah di Jakarta. Ia bersekolah di SD-SMA di Ibu Kota. Selulus SMA, ia kuliah di Jurusan Ilmu Politik Columbia University, AS. Kuliahnya ini berhenti di tengah jalan karena ia pindah haluan ke Ilmu Teknik Sipil di University of Akron Ohio, AS. Gelar sarjana digenggamnya pada 1984. Ia merintis karier di berbagai perusahaan, yakni Shimizu Contractors (1985-86), Balfour Beatty Sakti (1986-90), dan Total (1990-95). Singkat kata, Donald merangkum pengalaman kerja di berbagai perusahaan itu di Totalindo.

Di tahap awal, Donald sibuk memasarkan jasa ke sejumlah pengusaha properti, khususnya yang sudah mengenal reputasinya. Sayang, krisis ekonomi di tahun 1997 menahan laju bisnis Totalindo karena pembangunan properti berhenti di masa itu. Akibatnya, Totalindo tidak memperoleh pemasukan dan menanggung biaya operasional, seperti menggaji 100 pegawai. Di saat itu, gaji pegawai dikonversi dengan bahan-bahan kebutuhan pokok yang nilainya setara Rp 500 ribu per orang. Dana diperoleh dari penjualan aset perusahaan. Totalindo nyaris gulung tikar karena kas perusahaan minus. “Tapi, saya tidak PHK pegawai,” ia menegaskan.

Tahan Menghadapi Krisis. Donald nyaris mengibarkan bendera putih. “Kas perusahaan pada 25 Mei 1999 hanya Rp 1,6 juta dan saya harus mendapatkan uang pinjaman untuk membeli sembako untuk karyawan,” ungkap Donald sambil menghela nafas dalam-dalam. Di saat kritis itu, ia ingin meminjam uang di salah satu bank. Tak disangka-sangka, ia menjumpai koleganya, Fajar Umar, ketika berada di bank tersebut. Alih-alih meminjam uang, Donald malah ketiban rezeki. “Pak Fajar memiliki proyek pembangunan Pasar Muka di Cianjur, Jawa Barat. Saya yang ditawari untuk mengerjakannya dan diberi uang muka Rp 50 juta,” katanya. Uang itu digunakan untuk menggaji pegawai, sisanya sebagai biaya operasional.

Peristiwa ini menjadi titik balik Totalindo. Ia pun mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menggarap proyek senilai Rp 19 miliar. Pembangunan konstruksi Pasar Muka, Cianjur, diselesaikan dalam enam bulan. Lalu, Totalindo pada 2001 mendapat proyek pembangunan Pasar Bandar Jaya di Lampung senilai Rp 45 miliar. Berkat dua proyek ini, keuangan Totalindo berangsur-angsur pulih. Namun, badai belum berlalu karena bisnis Totalindo masih seret di awal tahun 2000-an. Berbagai lelang diikuti, tetapi hasilnya nihil. Bayang-bayang kebangkrutan kembali menghantui Donald. Ia pun tidak bisa tidur nyenyak.

Rupanya, keberuntungan terus berpihak kepada Donald. Sebab, Totalindo di tahun 2003 ditunjuk langsung oleh Bachtiar Salim, pengusaha dan pemilik lahan Roxy Square, sebagai kontraktor Roxy Square yang nilai proyeknya sekitar Rp 4 miliar. “Pengalaman ini saya artikan bahwa seorang pengusaha itu harus kompeten, jujur, dan bereputasi baik agar dipercaya klien,” ujar Donald menjelaskan kisahnya dipercaya menggarap Roxy Square. Bapak dua anak ini tak ada celanya dalam memenuhi target klien. Sejak itu, proyek-proyek kosntruksi kian mengalir deras ke meja Donald. Contohnya, proyek konstruksi Mega Glodok Kemayoran yang menyedot dana Rp 100 miliar di tahun 2003.

Keberhasilan itu kian mengangkat reputasi Donald dan perusahaanya di mata pengusaha properti papan atas. “Fase 1995 hingga 2005 adalah masa-masa jatuh-bangun dan mengenalkan Totalindo yang belum dikenal publik,” ujarnya. Pada periode 2005-08, Totalindo dipercaya menggarap konstruksi yang nilainya menembus Rp 1 triliunan. Misalnya, pada 2008 ditunjuk Grup Agung Podomoro untuk membangun konstruksi 18 menara apartemen Kalibata City, Jakarta. Nilai proyek ini Rp 2 triliun. Proyek triliunan rupiah lainnya adalah The Plaza, Jakarta, senilai Rp 1,6 triliun. Fase ini, menurutnya, merupakan periode pengembangan bisnis Totalindo menggarap proyek seperti ini. Selanjutnya, periode 2008-17 adalah fase lepas landas.

Saat ini, Donald mengatakan, Totalindo berada di jajaran elite perusahaan konstruksi swasta yang mampu menyelesaikan proyek konstruksi yang nilai proyeknya triliunan rupiah. ”Bisnis Totalindo berkembang karena owner properti sudah mengenal reputasi kami sehingga mereka sering repeat order (kontrak ulang). Kami dipercaya dan hasilnya memuaskan owner properti,” kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan di Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) ini. Tak mengherankan, Totalindo kembali mendapat proyek dari Grup Agung Podomoro. Tahun 2014, Totalindo ditunjuk untuk mengerjakan Podomoro City, Deli Medan, superblok terbesar di Indonesia dengan nilai proyek hampir mencapai Rp 4 triliun.

Contoh repeat order lainnya berasal dari Grup Agung Sedayu. Pada Juli 2017 Totalindo mendapatkan kontrak baru senilai Rp 440 miliar sebagai kontraktor utama Sedayu City Phase I sebanyak tiga menara dari total 20 menara di Kelapa Gading, Jakarta. Grup Agung Sedayu merupakan mitra sekaligus pelanggan yang telah banyak menggunakan jasa Totalindo. Sedayu City Phase I Kelapa Gading merupakan proyek keempat yang dikerjakan Donald dkk. dari Grup Agung Sedayu. Sebelumnya, perusahaannya dipercaya mengerjakan tiga proyek lainnya, yakni Menteng Park, Puri Mansion, dan Green Sedayu.

Proyek gedung pencakar langit yang dikerjakan Totalindo adalah Basura City Tower, Capital Place & Four Seasons, Grand Indonesia West Mall, apartemen Kota Casablanca, apartemen Pakuwon, dan apartemen Menteng. Tak hanya di dalam negeri, Totalindo juga sudah dipercaya membangun gedung pencakar langit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Di tahun 2009, perseroan membangun konstruksi City of Lights Al-Reem di Abu Dhabi. Di dalam negeri, perseroan mendiversifikasi bisnis dengan menggarap proyek pemerintah daerah, seperti Masjid Raya DKI Jakarta dan dua proyek rusunawa (rumah susun sewa) di Nagrak dan Penggilingan sebesar Rp 760 miliar, perumahan Korlantas Polri, Rusunawa Tambora, dan Rusun K.S. Tubun di 2016.

Sederet portofolio proyek konstruksi itu merupakan hasil dari kompetensi, kerja keras, serta upaya menjunjung tinggi etika bisnis dan menjaga nama baik. “Yang lainnya karena kemurahan Tuhan,” ujar Donald merendah. Pencapaian ini dilanjutkannya dengan melaksanakan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) Totalindo di 16 Juni 2017. Ke depan, ia ingin menggenjot kolaborasi bisnis dengan pemda atau menggarap proyek pemerintah.

Pada November 2017, ia meneken kerjasama dengan PD Pembangunan Sarana Jaya, BUMD DKI Jakarta, untuk mengembangkan kawasan terpadu atau transit oriented development yang terdiri atas menara apartemen, perkantoran, dan area komersial di lahan seluas 1,8 hektare dengan total nilai proyek Rp 3 triliun yang terletak di samping Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Proyek pengembangan kawasan ini merupakan awal kerjasama Totalindo dengan BUMD dan langkah konkret untuk menopang program penyediaan sejuta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Donald sudah memasang kuda-kuda untuk melambungkan bisnis perusahaan di tahun 2018 dan tahun-tahun berikutnya. “Kami di tahun 2018 menargetkan omset Rp 4 triliun dan laba bersih Rp 326 miliar,” ujarnya. Target itu lebih tinggi dari proyeksi pendapatan di 2017 senilai Rp 3,4 triliun dan laba bersih Rp 269 miliar. Pendapatan perseroan pada kuartal III/2017 sebesar Rp 1,84 triliun, atau turun dari periode yang sama di tahun 2016 (Rp 2,43 triliun). Namun, laba bersihnya naik sedikit menjadi Rp 187,3 miliar dari Rp 186,3 miliar. Asetnya di kuartal III tahun lalu turut melonjak ke Rp 3,5 triliun dari Rp 2,7 triliun pada Desember 2016. Pencapaian bisnis Totalindo ini diapresiasi investor. Saham perusahaan berkode TOPS ini pada 29 Desember tahun lalu bertengger di Rp 3.580, atau melejit 1.054% dari harga IPO senilai Rp 310.

Kiprah Donald di sektor konstruksi memang semakin berkibar. Josef Aliwarga, pengamat kosntruksi dan Penasihat Konstruksi Pengembang Properti di Jakarta, mengamati sosok Donald sebagai pengusaha konstruksi yang memiliki daya juang tinggi dan sudut pandang yang positif dalam mengatasi kesulitan “Pengalaman Donald di industri konstruksi lebih dari 30 tahun dan ia menyelesaikan pekerjaan konstruksi dengan segala macam terobosan yang metodenya praktis,” tutur Josef. Ia menggarisbawahi, Donald menggunakan sistim kerangka cetak beton yang dikenal dengan nama Aluma, kerangka modul cetak konstruksi beton yang praktis.

Menurutnya, Donald pandai mengelola SDM karena berhasil membangun budaya kerja di perusahaannya dengan memberikan contoh. “Terutama mencontohkan daya juang tinggi dan berpikir positif, serta memperhatikan dan menghargai pegawai agar keahliannya terus berkembang,” ujarnya. Ia menyarankan Donald untuk meningkatkan SDM Totalindo agar daya saing perusahaan makin tinggi dalam berkompetisi dengan perusahaan konstruksi lainnya.

Pengembangan SDM, lanjut Josef, adalah titik krusial dalam bersaing di bisnis konstruksi. Ia optimistis bisnis konstruksi akan terus berkembang karena industri ini tidak dapat digantikan dengan artificial intelligence atau robot. “Kemajuan suatu daerah biasanya berefek domino ke pembangunan konstruksi. Jadi, industri konstruksi memiliki potensi yang besar ke depan,” katanya yakin. (*)

Riset: Hendi Prahadika


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved