Entrepreneur

UMKM Indonesia Masih Bergerak di Sektor Informal

UMKM Indonesia Masih Bergerak di Sektor Informal

Banyaknya pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia yang muncul dan tenggelam, menjadi perhatian bagi TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang bekerja sama dengan AKATIGA, sebuah lembaga penelitian non-profit yang berdiri sejak tahun 1991, untuk melakukan studi dalam rangka merancang ulang kebijakan UKM di Indonesia.Peningkatan-Produk-UMKM

Penelitian tersebut memberikan pemahaman yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan UKM menghadapi kendala usaha dan mencoba untuk merekomendasikan langkah-langkah untuk mengurangi kendala tersebut. Menurut Indrasari Tjandraningsih, peneliti dari AKATIGA, ada tiga kendala yang dihadapi oleh pelaku UKM. “Yang pertama harga bahan baku yang tidak stabil. Selain harga juga terkadang ketersediaan bahannya tidak menentu. Kedua, kurangnya tenaga kerja yang terampil. Dengan tenaga kerja seadanya akan sulit bagi UKM untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dan, yang ketiga adalah pelatuhan yang diberikan oleh pemerintah terlalu mendasar. Padahal kebutuhan UKM saat ini sudah semakin kompleks,” katanya.

Ari Perdana, Ketua Pokja Kluster 3 TNP2K, menambahkan, saat ini masih banyak pelaku UMKM yang memilih untuk tetap informal. “Permasalahaannya bukan hanya tiga hal tadi, tapi juga banyak yang lebih memilih untuk tetap informal. Dalam artian mereka tidak memiliki CV atau PT. Dengan demikian akan sulit bagi pemerintah untuk mendeteksi dan memantau yang akan berpengaruh terhadap pemasukan pajak negara,” ujarnya.

Menurut Ari, pelaku UMKM lebih memilih untuk tetap informal dikarenakan mereka tidak melihat benefit yang bisa mereka dapatkan ketika usahanya sudah legal di mata hukum. “Di negara kita ini kan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa adanya oknum yang merugikan pengusaha. Mereka (pengusaha) sering berpikr kalau mereka sudah bayar pajak tapi tetap saja ada oknum, apakah itu dari preman setempat atau mengatasnamakan ormas tertentu, yang meminta jatah,” papar Ari.

Terkait dengan lembaga yang membina para pelaku UMKM, Ari menjelaskan lebih lanjut bahwa setiap kementrian di Indonesia melakukan pembinaan UMKM di masing-masing kementriannya. Dengan demikian, kementrian menjadi kurang fokus dalam melaksanakan tugasnya. “Contohnya kementrian kelautan kan ada binaan untuk pelaku UKM yang bergerak di bidang budidaya ikan atau produk hasil laut, kemudian di perindustrian ada lagi UKM di bidang garment dan lain sebagainya. Menurut saya dibuat saja satu untuk mengurus UMKM ini dan kementrian bisa fokus membuat peraturan yang bisa mendukung UMKM tersebut,” lanjut Ari.

Dari hasil temuan riset tersebut juga ditemukan bahwa dana bantuan dari peerintah sering kali tidak mencapai seluruh pelaku UKM yang ada. Hal tersebut diakibatkan adanya ketidak tahuan dari pemerintah terhadap UKM yang ada di Indonesia. “Karena ketidak tahuan, maka biasanya yang mendapat dana bantuan itu hanya pelaku yang memiliki hubungan atau dekat dengan orang-orang dari kementrian atau dinas-dinas yang ada di daerah. Mungkin ini terjadi karena sama seperti bank yang tidak mau mengambil resiko. Istilahnya orang lebih suka investasi pada ikan yang sudah gemuk. Tapi masalahnya kalau setiap orang maunya investasi ke ikan yang gemuk, maka ikan yang masih kecil ini kapan bisa gemuknya,” ungkap Ari.

Untuk menjamin agar dana bantuan tersebar merata, Ari berpendapat bahwa dana tersebut sebaiknya diserahkan kepada lembaga keuangan yang sudah berpenaglaman dalam mengelola dana. “Lembaga keuangan kan pasti tahu UKM mana saja yang membutuhkan,” tutupnya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved