Profil Profesional

T.P. Rachmat, “Jaga Kejujuran dalam Kondisi Apa Pun”

T.P. Rachmat, pendiri Grup Triputra.
T.P. Rachmat, pendiri Grup Triputra.

Theodore Permadi (T.P.) Rachmat, atau yang biasa dipanggil Teddy Rachmat, adalah pendiri Grup Triputra. Kelompok perusahaan yang dia dirikan pada Oktober 1998 ini sekarang menjadi salah satu konglomerasi besar di Tanah Air, yang bergerak di beberapa sektor usaha, seperti karet olahan, batu bara, perdagangan, manufaktur, agribisnis, dealership motor, dan logistik.

Lulusan Teknik Mesin Intitut Teknologi Bandung ini pernah berkarier di PT Astra International Tbk. (Grup Astra). Mulai bergabung pada 1968, tahun 1984 Teddy mendapat kepercayaan sebagai Presiden Direktur Astra International. Di bawah kepemimpinannya, Grup Astra berkembang pesat dengan memiliki 235 anak perusahaan yang bergerak di berbagai sektor pada 1989. Jabatan sebagai orang nomor satu di Grup Astra itu dia pegang sampai 1998. Selanjutnya, dia mendirikan Triputra.

Namun, Teddy dipilih kembali menjadi Presdir Astra International (tahun 2000–2002) untuk membenahi Grup Astra yang dihantam krisis 1998, dan dari tahun 2002 hingga 2005 menjadi presiden komisaris. Bagaimana pengalaman dan wisdom Teddy ketika menghadapi krisis? Inilah penuturannya:

Selama 25 tahun, baik saat memimpin Grup Astra hingga mengelola usaha sendiri, saya mengalami beberapa kali kondisi makro yang berat, terutama tahun 1998. Kala itu ada penarikan besar-besaran uang dari Asia ke Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah turun drastis dari Rp 2.300 ke Rp 16.000-17.000 per 1 dolar AS. Saat itulah kondisi terberat yang terjadi di Indonesia. Perbankan bahkan mengalami kolaps, sehingga didirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Ditambah lagi krisis politik hingga Soeharto lengser dari jabatan Presiden RI.

Jadi, saya pernah memimpin Grup Astra melewati masa-masa sulit. Juga, ketika mendirikan Grup Triputra, yang bergerak di bidang agribisnis seperti karet dan kelapa sawit, manufaktur, pertambangan batu bara, dealership motor, dan logistik tahun 1998 setelah lepas dari Astra. Kemudian, pada 2008 terjadi krisis ekonomi lagi akibat subprime mortgage, tetapi krisis tersebut dirasakan paling besar di Amerika dan Eropa. Indonesia bisa melewati dengan baik.

Terakhir, terjadi pandemi Covid-19 yang juga mengakibatkan krisis sekarang ini. Tiap krisis penyebabnya berbeda-beda. Yang sekarang, krisis bukan karena adanya bubble, tetapi karena kesehatan. Masalahnya, dengan adanya krisis akibat pandemi ini, kita harus mencari cara bagaimana menyeimbangkan antara ekonomi dan kesehatan. Tidak bisa ekstrem ke kesehatan atau ekonomi saja yang menjadi fokus utamanya.

Menurut saya, krisis akibat pandemi Covid-19 ini tidak terlalu berat dibandingkan dengan krisis tahun 1998. Memang benar, terbatasnya gerak masyarakat membuat bisnis mengalami masa-masa yang berat. Namun, ekonomi masih berjalan. Sebab, institusi besar di negara ini masih berjalan dengan baik, seperti Bank Indonesia dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Bank juga tidak ada yang kolaps, juga ada upaya penyelamatan dunia usaha. Jika masalah kesehatan ini cepat berakhir, masalah ekonomi akan segera teratasi. Saya yakin tahun 2022 kondisi ekonomi kita akan normal kembali karena sudah terbiasa.

Walau spending kurang, kalau kita lihat di jalan, beda sekali dengan kondisi krisis pada Mei 1998. Jadi, kondisi pembatasan gerak saat ini merupakan penyesuaian. Masyarakat akan terbiasa dan menerapkan kondisi aman dan disiplin demi mencegah penularan. Asalkan displin menjaga diri agar tidak kena virus ini dan kita harus hidup dengannya, pada akhirnya ekonomi tetap berjalan.

Memang banyak perusahaan yang terdampak besar, seperti perusahaan di industri pariwisata, hotel, dan penerbangan. Akan tetapi, di sisi lain, ada banyak industri yang diuntungkan, seperti e-commerce, farmasi, kimia, dan logistik. Saya kira yang kolaps tidak banyak. Lihat di bursa, perusahaan yang sudah go public, tidak ada yang tutup akibat pandemi. Untuk yang food & beverage, memang benar banyak yang tutup. Namun, setelah pembatasan sosial berskala besar dilonggarkan, banyak juga yang mulai membuka kembali.

Bagi pelaku usaha, langkah yang harus diperhatikan dalam menghadapi kondisi krisis, yang utama adalah menjaga cash. Jadi, ada dua langkah, yaitu jangka panjang dan pendek. Untuk jangka pendek, yang terpenting menjaga ketersediaan cash untuk membayar pegawai. Itu juga bisa dilakukan melalui negosiasi dengan pihak bank, jika terkait pembayaran bunga utang. Kalau kesulitan cash flow, kita bisa minta relaksasi ke bank. Intinya, pengusaha harus melakukan penghematan, memastikan cash cukup, terutama untuk membayar pegawai dan bunga bank. Ini strategi jangka pendek.

Untuk jangka panjang, kita harus memperhatikan model bisnisnya untuk dikaji ulang. Apa yang dulu jalan, belum tentu bisa berjalan sekarang. Dulu ada ponsel Nokia, sekarang sudah tidak ada. Harus dilakukan analisis pada setiap bisnis. Harus bisa beradaptasi, jangan sampai seperti Nokia. Beradaptasi dengan kondisi yang sudah berubah akibat pandemi ini. Misalnya, dengan kondisi masyarakat yang terbatas geraknya, pemanfaatan artificial intelligence (AI), digitalisasi, dan big data harus sudah mulai diperhatikan. Kalau krisis tahun 1998 yang saya kira sepuluh kali lebih berat dibandingkan sekarang saja bisa kita lewati, mestinya krisis sekarang bisa kita lewati juga.

Krisis ini mengajarkan bahwa dalam bisnis kita tidak bisa terlalu agresif. Jangan berutang terlalu banyak. Jadi, dalam menghadapi krisis, pelaku bisnis harus bisa mengendalikan diri. Ekspansi tidak boleh terlalu berlebihan, ada batasnya, meminjam uang secukupnya, dan jangan serakah. Kemudian, beradaptasi dengan teknologi baru. Ini hal yang penting. Untuk mereka yang kini merasakan kondisi diuntungkan akibat pandemi, biasanya dalam bisnis yang sedang naik daun, masuk pemain-pemain baru, sehingga makin banyak pesaing. Ini tidak mudah.

Nilai-nilai yang selalu saya pegang dalam memimpin bisnis sehingga bisa melewati masa-masa sulit dengan baik adalah kejujuran dan amanah. Kedua nilai inilah yang selalu menyelamatkan perusahaan saya. Dan, yang juga penting, harus didukung orang-orang terbaik, carilah supportteam terbaik. Ini sangat membantu dalam menghadapi kondisi yang sulit.

Dalam kondisi pandemi, perusahaan mestinya juga harus lebih memperhatikan masyarakat yang terdampak. Untuk Grup Triputra, social initiative dilakukan bukan semata karena adanya pandemi. Bahkan, pada 2019 pernah dinobatkan Forbes sebagai perusahaan paling dermawan nomor dua di Asia.

Bagi para pelaku bisnis, dan next-gen (generasi penerus bisnis keluarga), pesan saya adalah harus jaga kejujuran dalam kondisi apa pun, bahkan di saat krisis. Itu semua akan berpengaruh pada reputasi, kita harus bisa menjaga reputasi. Nilai-nilai baik harus tetap dijaga. Hidup itu marathon, bukan sprint. Jadi, kalau melihat ada bisnis atau industri yang sedang naik daun. jangan ikut-ikutan semata. Jangan asal tubruk. (*)

Herning Banirestu

KUTIPAN

“Nilai-nilai yang selalu saya pegang dalam memimpin bisnis sehingga bisa melewati masa-masa sulit dengan baik adalah kejujuran dan amanah. Kedua nilai inilah yang selalu menyelamatkan perusahaan saya.” (T.P. Rachmat)

Jurus Menghadapi Krisis

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved