Profile

Sigit Pramono : Rebranding Bromo Lewat Jazz dan Fotografi

Sigit Pramono : Rebranding Bromo Lewat Jazz dan Fotografi

Di luar dunia perbankan, Sigit Pramono ternyata menyukai dua hal : fotografi dan jazz. Bankir senior sekaligus Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) ini mencoba mengawinkan kedua hobinya tersebut menjadi satu konsep yang unik.

Sigit Pramono, penggagas Jazz Gunung/Jkt Post

Sekitar tahun 2009, Sigit sering mengunjungi Bromo. Waktu itu ia sedang menggarap proyek pembuatan buku autobiografinya tentang Bromo. Baginya, Bromo adalah tempat yang sangat fotogenik, terutama dari segi landskap, sehingga dibuatlah buku berjudul “Majestic Mystical Mountain”.

“Nah, karena waktu itu saya seringkali mondar-mandir di Bromo, akhirnya saya kepikiran, mengapa tidak membuat galeri foto. Kemudian saya pikir mengapa galeri foto saja. Mengapa gak sekalian bikin kegiatan, terutama yang berhubungan dengan kesenian. Saya pribadi kebetulan memang suka jazz. Saya bukan pemain jazz, jadi saya tidak bisa main alat musik atau apapun, tapi saya sangat suka mendengarkan jazz. Maka saya bawa jazz ke Bromo,” kenang Komisaris PT Bank Central Asia Tbk (BCA) itu.

Kala itu, Sigit punya ide untuk menghubungi seniman Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, sehingga terciptalah konsep tersebut secara keroyokan. Dan tidak, nyana konser jazz gunung itu terealisasi dan kini sudah mencapai tahun ke-4.

Ya, konser Jazz Gunung digelar sejak tahun 2009, 2010, 2011, dan terbaru akan dilaksanakan pada awal Juli 2012 mendatang. Konsepnya adalah, para seniman, terutama musisi jazz akan didatangkan untuk berlaga di atas panggung dengan ketinggian 2000 meter, di kawasan wisata Gunung Bromo, daerah Tongas. “Lokasinya berada dekat dengan restoran terkenal bernama Rawon Nguling, 15 menit dari Bromo, salah satu pegunungan Tengger, Desa Wonotoro, Jl. Raya Bromo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa timur,” jelasnya.

Mengapa memilih Bromo? Ternyata Sigit mengacu pada keberadaan lokasi wisata berinisial 3B di Indonesia. 3B yang dimaksud adalah Bali, Bromo, dan Brorobudur. Hal ini didasarkan atas kebiasaan turis asing dimana seringnya mereka melewati rute 3B tersebut. Bali, kawasan ini tidak diragukan sama sekali ketenarannya di mancanegara. Meskipun sempat dibom dua kali, faktanya geliat Bali cepat sekali terlihat. Bali pulih dalam waktu cepat. Adapun Borobudur, karena posisinya yang berada di tengah Yogyakarta dan Solo (tepatnya di Magelang), juga maju pesat karena ada inisiatif Pemda setempat. “Nah, yang tengah ini (Bromo) yang masih belum pulih. Makanya kami fokuskan untuk membantu di sini, “ katanya.

Dengan menyelenggarakan kegiatan seni jazz, Sigit dan kawan-kawan juga membangun tempat-tempat untuk galeri foto. Di galeri tersebut, foto-foto mengenai Bromo, dan tema umum tentang Indonesia dipajang. Rebranding ini diperlukan karena setiap orang, bahkan pengambil kebijakan di kepariwisataan pun ketika mereka mempromosikan Bromo, hanya melihat matahari terbit saja. Alhasil, mereka hanya bermalam 1 hari di hotel.

“Bangun pagi-pagi, lihat matahari terbit, besoknya check out-pulang. Tapi kalau kita melakukan banyak kegiatan, orang akan ada pilihan-pilihan lain,” imbuh Sigit. Sebab, sebenarnya bukan sekadar matahari terbit saja yang indah, tetapi alamnya juga bagus. Fotografi yang kami bangun di daerah sana pun akan memberikan gambaran bahwa Bromo bukan hanya terkenal indah dari persoalan matahari terbit. Selain itu masih ada savana, laut pasir, kegiatan masyarakat bercocok tanam, ditambah lagi sekarang ada jazz gunung, pameran kesenian, dan lain-lain. Sehingga orang bisa lebih lama tinggal di kawasan Bromo.

Sigit juga mengatakan bahwa rumus di kepariwisataan adalah stay longer, spend more. Kalau orang tinggal lebih lama, pasti mereka akan belanja lebih banyak. Dia menilai bahwa itu akan membawa dampak positif terhadap perekonomian masyarakat sana. Ia menyebutnya sebagai upaya rebranding dari kalangan masyarakat untuk Bromo. Sigit dkk berinisiatif untuk tidak menunggu pemerintah. “Tentu kami perlu dukungan dari pemerintah untuk masalah infrastruktur. Mudah-mudahan pemerintah juga tergerak untuk memperbaiki infrastrukturnya dalam waktu dekat,” katanya.

Sementara itu, posisinya yang saat ini masih tercatat sebagai bankir, ternyata memberikan kemudahan untuk ajang promosi. “Saya berusaha untuk mengajak semua teman-teman ikut mendukung acara ini. Yang paling berat selalu dari segi dana. Karena tidak seperti acara jazz yang sudah mapan, mereka bisa hidup dengan tiket. Kalau kita, tiket itu diadakan hanya sekadar untuk seleksi saja, karena kapasitasnya terbatas,” ujar Sigit yang menyebut konser Jazz Gunung-nya masih sekelas UMKM jika dibandingkan Java Jazz yang skalanya sudah kakap.

Ke depan, kegiatan ini terbuka untuk gunung-gunung di mana saja di Indonesia. Karena memang namanya bukan Jazz Gunung Bromo, tapi Jazz Gunung saja. Sigit menekankan bahwa yang terpenting adalah kombinasi antara ada orang-orang yang berminat untuk mendukung acara ini serta adanya kesiapan dari daerah-daerah itu sendiri. “Yang jelas tempat-tempat yang dipilih harus menarik. Kami terbuka untuk usulan atau gagasan di gunung manapun,” tutur pria berkacamata ini. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved