Profile

Sihol Aritonang, Jadi Humanis Karena Krisis

Sihol Aritonang, Jadi Humanis Karena Krisis

Krisis, apapun bentuk dan tingkatnya, merupakan pertanda bahwa terdapat suatu yang tak beres dengan kondisi hidup. Dalam konteks makro, krisis dalam perekonomian yang kian kerap terjadi pada dekade belakangan ini merupakan indikasi bahwa kontradiksi merupakan hal nyata dalam sistem kapitalisme sehingga kapitalisme perlu terus memutakhirkan dirinya agar dapat terus bertahan hidup (sustain) dan tidak cepat membuat lubang kuburnya.

Sihol Aritonang, Head of Executive Boards Tanoto Foundation, mengatakan pihaknya menargetkan akan menjangkau 200 sekolah di daerah terpencil di Propinsi Riau, Sumatera Utara, dan Jambi dalam tiga tahun ke depan.

Maka dari itu, sebagai alternatif, muncullah berbagai bentuk baru dari kapitalisme dengan berbagai macam istilahnya yang mungkin sebenarnya sama saja esensinya, dari mulai kapitalisme hijau, bisnis sosial, hingga kapitalisme sadar diri (conscious capitalism). Selain alternatif yang muncul dari rumpun paradigma yang sama ini, juga terdapat alternatif dari paradigma yang berbeda. Pendekatan ekonomi neo-klasik yang kerap disebut sebagai ortodoks, berusaha dipatahkan asumsi-asumsinya oleh pendekatan ekonomi heterodoks di mana di dalamnya terdapat berbagai aliran ekonomi, mulai dari ekonomi institusionalis, ekonomi Pasca-Keynesian, hingga ke ekonomi sosial Schumpeterian juga Marxian.

Dalam hal ini, kesimpulan sementara yaitu krisis mengandaikan alternatif sebagai jalan keluarnya agar dapat bertahan. Begitu juga halnya yang terjadi dari sisi ‘mikro’ (individu). Krisis pada konteks makro pasti berdampak pada keputusan yang diambil entitas pada level mikro, termasuk Individu. Begitu pula yang terjadi pada Sihol Aritonang, Head of Executive Board Tanoto Foundation. Pada 2003, Sihol Aritonang memutuskan untuk meninggalkan profesinya sebagai bankir di PT DKB Panin Finance yang sudah ia geluti sejak pertengahan 1990-an akibat krisis moneter yang dialami Indonesia sejak 1997. Ia mencari alternatif dengan pindah ke sebuah lembaga swadaya masayarakat (LSM) internasional di bidang kemanusiaan dan pembangunan, CARE International Indonesia, sebagai Program Leader – SEAD (Small Economic Activity Development).

“Saya pikir capek juga kerja di sektor keuangan karena kerjanya waktu itu mengurus kredit macet. Sudah di-reschedule, tetap masih macet. Waktu itu disenchanted, kecewa karena pekerjaannya yang seperti ini saja,” terang Sihol mengenai alasan kepindahannya. Saat itu pula pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dan peraih gelar MBA (Master of Buniess Administration) dari University of Hawai ini, bertemu langsung dengan masyarakat miskin di pedesaan. “Di situ perjumpaan pertama saya dengan masyarakat miskin, khususnya di daerah pedesaan dan saya betah,” ujar pria kelahiran Tarutung, 30 Januari 1967.

Dari pertemuannya dengan masyarakat miskin di pedesaan itu, Sihol seperti ingin mengatakan bahwa mereka miskin bukan karena karakter malas atau faktor internal individu, sehingga muncul anjuran yang sifatnya “psikologis” macam n-Ach (need for Achievment) yang dipopulerkan oleh David C. McClelland. Namun, faktor penyebab kemiskinan lebih bersifat struktural. Oleh karena itu Sihol mengatakan, “Interaksi dengan mereka benar-benar menginspirasi saya bahwa kalau orang-orang yang miskin ini diberi kesempatan dan peluang, sebetulnya mereka mampu mengambil peluang dan membawanya untuk perubahan yang sangat besar”.

Pengalamannya sekitar tujuh tahun di LSM internasional itu membuat ia dapat melihat peluang bahwa banyak pengusaha global yang ingin membantu orang miskin. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor penentu baginya untuk pindah ke yayasan di Indonesia yang fokus untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. “Kemudian saya melihat ada peluang bahwa pengusaha global ingin membantu orang miskin. Saya pikir bahwa prinsip-prinsip praktek terbaik yang saya pelajari di LSM internasional, mungkin ada baiknya diterapkan di yayasan di Indonesia agar yayasan di Indonesia bisa jadi lebih profesional, programnya lebih bermutu, dan dampak programnya terhadap pengurangan kemiskinan bisa lebih terasa,” ujar Sihol yang tengah menjabat sebagai Asisstant Country Director – Finance and Administration CARE International Indonesia di mana ia bertanggung jawab terhadap bidang micro finance dan pengembangan usahakecil, ketika ia pindah dari sana pada 2009.

Akhirnya ia berlabuh ke Tanoto Foundation untuk mengimplementasikan apa yang ia dapatkan dari LSM internasional itu. Dikatakan Sihol bahwa dirinya ingin mendukung aspirasi Sukanto Tanoto sebagai pemilik dari Tanoto Foundation, yang fokus pada bidang pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, ketika ia bergabung dengan yayasan itu, ia menggencarkan kembali program-program pendidikan dan pengentasan kemiskinan yang sebelumnya, menurutnya, kurang aktif. “Nah, sejak berdiri secara resmi pada 2002, sebetulnya program beasiswa kami cukup aktif. Sudah ada sejak 2006, tapi masih kurang aktif. Nah, yang dirindukan oleh Pak Sukanto Tanoto bahwa Tanoto Foundation ini hadir hingga tingkat daerah pedesaan yang sebelumnya tidak ada,” ceritanya.

Upayanya itu dilakukan dengan merekrut sekitar 20 orang yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil di Jambi, Riau, dan Sumatera Utara. Orang-orang ini yang sehari-hari berinteraksi dengan guru, anak, dan masyarakat sehari-hari. Sihol percaya bahwa capacity building tidak dapat dilakukan hanya dengan sekali kegiatan. “Kalau hit and run, tidak akan jadi. Jadi kami merasa bahwa interaksi dan pendampingan yang melekat, sangat penting untuk suksesnya sebuah program,” ungkap Sihol yang sangat menekankan pada pentingnya integritas dalam menjalankan profesinya.

Saat ini, pihaknya baru bisa menjangkau 125 sekolah di tiga propinsi itu. Ia menargetkan dapat menjangkau 200 sekolah hingga 3 tahun mendatang. Pertemuannya dengan kemiskinan membuatnya semakin peduli terhadap upaya pengurangan kemiskinan. Walaupun upayanya hanya berdampak pada setetes air masalah di antara lautan masalah kemiskinan, upayanya patut didukung dan diapresiasi seluas-luasnya oleh kita yang masih belum mampu berkontribusi lebih terhadap pengurangan masalah kemiskinan. Krisis yang mempertemukannya dengan kemiskinan. Krisis yang menjadikannya lebih humanis. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved