Profile Editor's Choice

Solusi Jitu dari Cipto Santoso bagi Petani di Lereng Gunung Bromo

Solusi Jitu dari Cipto Santoso bagi Petani di Lereng Gunung Bromo

Cipto Santoso lewat PT Suryajaya Abadiperkasa (SA) memelopori pembudidayaan jamur kancing (champignon) di kawasan Gunung Bromo. Lahan di Gunung Bromo terkena abu vulkanik yang tebal setelah terjadi letusan pada 2010. Para petani tidak bisa menanam sayuran lagi. Maka, Cipto pun langsung memberikan solusi dengan menawarkan kepada petani untuk menanam jamur kancing. Maka, di atas lahan seluas 20 hektare, para petani Bromo pun dibimbing membudidayakan jamur kancing. Hasilnya, kini setiap hari rata-rata dihasilkan sekitar tiga ton jamur. Bagaimana lika-liku Cipto membina dan memberdayakan petani? Cipto Santoso menuturkannya kepada Suhariyanto:

JamurBromo

Cipto Santoso, founder PT Suryajaya Abadiperkasa (SA)

Bagaimana ide awalnya hingga SA terjun ke kegiatan sosial yang berkelanjutan?

Hidup ini sepertinya kurang berarti ya … kalau hanya berangkat ke kantor lalu pulang. Rasanya kering. Kebetulan tahun 2004, saya ikut ESQ-nya Pak Ary Ginanjar di Jakarta. Itu yang menjawab pertanyaan, siapa sejatinya diri kita? Untuk apa diciptakan. Dan kemana akan menuju?

Dari sini kita bisa temukan. Ternyata kebahagian akan kita peroleh kalau kita bisa berbagi dengan orang lain. Kalau dalam Islam, selain kita punya iman, kita harus beramal sholeh. Itu panggilan. Amanat. Termasuk ketika saya menjadi ketua Kadin. Jangan berpikiran jika jadi ketua Kadin lalu banyak proyek dan banyak duit. Justru ketua Kadin itu harus berpikir bagaimana bisa berbagai dengan UMKM.

Menurut saya, kalau kita banyak memberi, justru kita akan banyak menerima. Kalau kata Yusuf Mansur: sodaqoh… sodaqoh.. Kita tidak berpikir seberapa besar yang akan kita terima. Tapi pada apa yang dapat kita perbantukan dan berikan pada lingkungan ini. Allah sudah berjanji akan melipatgandakan.

SA sebagai usaha, memang harus profit center. Namun saya pribadi sebagai petinggi atau penanggung jawab — bukan sebagai pemilik (pemiliknya adalah investor di Jakarta, yang mohon maaf tidak bisa saya sebutkan namanya) — akhirnya memengaruhi filosofi perusahaan. Bahwa mengembangkan usaha, apalagi di bidang agroindustri, akan tumbuh dan membesar apabila bekerjasama dengan petani, peternak, dan petambak.

Dalam hal budidaya jamur, kita berdampingan dengan petani jamur di Bromo. Sewaktu datang ke Bromo, bukan kita ingin memperoleh berapa banyak jamur yang bisa kita terima. Namun saat itu, petani Bromo baru saja tertimpa erupsi pada 2010. Kita datang pada 2011. Kita ingin memberi bantuan. Solusi. Kepada petani yang tidak bisa menanam. Mulai dari kubis, kentang, jagung, dan semua jenis tanaman. Karena tebalnya abu vulkanik yang menimpa lahan mereka.

Saat itu, kita melihat ada gudang-gudang yang menganggur. Gudang kentang-kentang. Atau gudang-gudang hasil pertanian lainnya. Terus kita berpikir, bagaimana kalau gudang itu kita buatkan rak-rak untuk menanam jamur.

Dari kepedulian itu, sekarang tercipta kemitraan. Bisnis. Kita berikan teknologi dan sarana produksi. Begitu panen, kita kalengkan di sini. Jadi, kepedulian kita kepada lingkungan (dalam hal ini petani jamur Bromo) akhirnya menjadi kemitraan strategis dalam rangka memasarkan hasil.

Sejatinya, yang berinisiatif masuk ke petani jamur, kita gunakan Kadin. Karena adalah Kadin lembaga sosial. Kita rumuskan. Memberikan bantuan tidak dalam bentuk ikan. Tapi kail. Lalu kita usulkan, bahwa yang bisa dilakukan di sana hanya budidaya jamur. Karena udara sudah cocok (dingin) dan ada gudang menganggur. Maka pengurus Kadin memutuskan memberikan pelatihan-pelatihan jamur dan rak-rak tempat jamur kepada petani Bromo. SA, yang sudah lama berkecimpung di budidaya jamur, langsung memberikan arahan-arahan.

Dari sini akhirnya sama-sama berbuah profit. Petani untung. SA juga. Dan yang terpenting, bisa berkelanjutan. Tidak sekedar charity. Habis seremonial, selesai. Kalau ini, sudah berlangsung salama tiga tahun. Volume sudah tiga ton per hari.

Ciptopetani

Cipto dan para petani jamur binaan

Biasanya produksi sebesar itu bisa saja tercapai, namun yang susah justru di pemasarannya…

Itulah… Kita itu mampu mengemas dan memasarkan jamur tidak hanya di Probolinggo atau pasar domestik. Tapi kita mampu menembus pasar mancanegara. Seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara lain. Menurut saya, keahlian SA belum dimiliki oleh negara lain se Asia Tenggara.

Di Indonesia, profesi budidaya jamur kancing, amat langka. Hanya dua perusahaan yang masuk ke bidang ini. Selain kita, ada satu perusahaan lain (milik Bpk. Cholid) di Malang.

Yang di Malang itu bukan Rodeo?

Rodeo itu salah satu merek kami. Kemasan dalam bentuk plastik, kan.. (CS mengambil contoh jamur kemasan plastik merek Rodeo). Ini salah satu contoh karya kerjasama kami dengan petani jamur Bromo.

Kita beralih SA. SA berdiri tahun berapa?

Tahun 1990. Dulu didirikan oleh Henson Farma (orang Surabaya). Pada 1996, berganti pemilik dan manajemen. Manajemennya ya kami ini. Sejak awal memang produksi jamur. Di sini, hanya tempat pengalengan. Produksi jamurnya di gunung. Di daerah Sumber. Dekat Krucil. Di salah salah lereng Bromo juga. Luasnya sekitar 20 hektare.

Produksi per hari?

Kami punya fasilitas dengan hasil pada kisaran 5 – 10 ton per hari. Jamur juga masuk ke produk lain. Kita gabungkan dengan produk kita yang lain. Corned. Kita punya deferensiasi. Kalau biasanya cuma daging yang tinggi kolesterolnya. Kita campuri serat jamur sehingga kolesterol rendah. Dan menyehatkan.

Selain jamur dan daging apa lagi produk SA?

Kombinasi. Olahan lauk pauk dan sayuran. Misalnya sayur asem, lodeh, nangka. Pokoknya hampir seluruh sayuran kita kalengkan. Kita ekspor bahkan sampai ke Belanda.

Bagaimana status petani yang mengelola lahan milik SA seluas 20 hektare?

Kombinasi terbaik tetap. Mereka adalah mitra kita. Khusus untuk key persons, seperti manajer dan supervisor, orang SA. Kalau pembudidayanya, yang terbaik kita berdayakan orang sekitar.

Kan tidak gampang membina masyarakat?

Betul.

Dibina-bina… Eh… barang dijual ke orang lain?

Betul itu. Itu juga terjadi pada kita. Sampai sekarang itu masih tetap terjadi. Kita akan menekan hal itu. Kita eliminir dengan cara membina. Namun kalau sudah enggak bisa dibina, terpaksa harus kita putus.

Yang saya tahu, pertama kita kan harus melihat karakter petani. Apakah bisa dipercaya ataukah tidak. Bisa tidak dijadikan mitra. Karena kita menaruh uang pada mereka. Apakah ada proses penilaian seperti demikian?

Kita melakukannya sambil berjalan. Namanya bekerjasama dengan petani, ya enggak bisa kita seleksi kayak karyawan, yang harus misalnya psikotest, dan lain sebagainya. Kita nyisir berdasarkan minat dan kesungguhan. Kalau minat dan bersungguh-sungguh, kita tampung. Nah, kalau dalam perjalanan dia tidak komit, ketahuannya ya di belakang.

Karena evaluasi dalam tiap tahap perjalanan harus dilakukan. Sehingga akan terjadi screening secara alami.

Yang di Bromo, SA punya kelompok-kelompok?

Ya. satu kelompok terdiri dari 20-an petani. Kita, untuk membina mereka, punya tenaga pengawas dan penyuluh sebanyak tujuh orang, yang bertugas memberikan pemecahan masalah. Tapi tidak terkait dengan budidaya. Yang budidaya diberikan di awal. Sewaktu petani belum bisa sama sekali, diberikan teori, dan contoh kongkret. Oh disiramnya begini. Dipetiknya begitu. Yang paling efektif dalam pengembangan cluster, adalah melihat orang lain yang sudah bisa melakukan.

Di tataran mereka kita tidak taruh beberapa orang QC?

Tidak. QC kita sentralkan di sini. Pada saat peneriman jamur. Penyuluh memiliki wilayah umum. Misal, tingkat kelembaban yang pas, kompos, dan hal-hal lain. Dan, masing-masing petani bertanggungjawab terhadap jamurnya sendiri-sendiri. Dia punya datasheet yang merekam suhu, kelembahan, dan hal-hal lain.

Sejak awal petani diharuskan membuat datasheet, atau mulai kapan?

Sejak awal petani harus mencatat semua hal dan mendokumentasikannya. Petani mengontrol dirinya sendiri. Penyuluh melihat, menimpali, membenarkan atau memberikan saran-saran agar hasil panen bisa optimal.

Berapa lama usia jamur?

Media tumbuh jamur dan benihnya, setelah kita kirim ke sana, butuh waktu 35 hari untuk panen. Selama 35 hari itu, petani harus menyiram, membuka pintu, jendela, dan lain sebagainya. Yang terpenting, petani harus mengendalikan suhu, kelembaban, kadar air di media tumbuh, dan kadar oksigen.

Setelah panen, akan panen terus tiap hari. Namun jumlahnya tidak selalu stabil. Kadang sedikit kadang banyak. Kadang jeda. Begitu terus. Maksimal sampai 35 hari. Kalau kita skala industri, enggak sabar dengan hasil yang sedikit. Tiga minggu sudah kita ganti dengan tanaman baru. Kalau petani Bromo, kan eman. Mereka pertahankan hingga 35 hari.

Berarti SA memasok ke petani berupa media tanam dan benih jamur?

Ya. Karena bila tidak dibuat pada skala industri, kualitas kurang bisa dipertanggung jawabkan. Petani fokus di budidaya, hasilnya kita tampung. Kalau misalnya, hasil belum sesuai harapan, kita beri keringanan dalam bentuk menunda pembayaran. Dia kita didik utang. Dia minus. Kita beri lagi media tumbuh dan benih. Kita minta tanam dengan baik agar terbayar juga minusnya.

Jadi, kita buat laporan untuk petani. Petani bisa mengetahui kondisinya sendiri-sendiri.

Setiap petani kita berikan berapa utangnya?

Macam-macam. Tergantung kemampuannya. Ada yang 2 ada pula yang 8 paket. 1 paketnya sekitar Rp 3 juta. Untuk membuat media tumbuh dan benih, butuh modal, mahal. Ini berbeda dengan jamur tiram. Kalau jamur tiram itu merakyat. Siapapun bisa. Ada gergajian kayu diberi benih, selesai sudah. Jamur kancing tidak begitu. Butuh keahlian, bahan, alat khusus untuk membuatnya.

Kalau jumlah petani 200 dan rata-rata petani minta 4 paket, minimal kita nomboki petani Rp. 2,4 milyar (800 X 3 juta). Faktanya kan lebih dari itu, karena model tanaman secara berurutan.

Iya. Tapi kita didik mereka. Kita dampingi mereka agar hasil sesuai harapan. Itu cost production dari mereka. Bukan bantuan. Kalau misalnya, kita katakan ini hibah. Terus kalau enggak berhasil, tidak ada utang, ya… repot kita. Kita didik mereka agar survive. Kalau panen bagus. Ono susuk. Ada kembaliannya. Kalau gagal, ya mereka punya utang Rp 3 juta per paket.

Dan, petani… untuk dididik seperti itu tidak masalah. Rata-rata mereka sudah paham. Maksudnya kalau bertani, ya ada untung ada rugi. Kalau bantuan, kan hanya sekali. Setelah itu, selesai sudah.

Untuk 1 paket, berapa luas gudang yang dibutuhkan petani?

Sekitar 3 X 3 meter. Kan ukuran petani. Mereka kan punyanya segitu. Bahannya juga macam-macam. Ada yang batako, kayu, bata, gedhek.

Kontrol terhadap suhu dan kelembaban udara kan susah?

Betul. Tapi kita kan dalam kondisi darurat. Petani tidak punya apa-apa selain hanya itu kekayaannya. Pertanian lain, gagal. Ditimpa debu vulkanik mati semua. Case by case kita selesaikan. Bayangkan, ukuran ruangnya berbeda. Ketinggian berbeda. Jumlah jendela tidak sama. Ketinggian jendala beragam. Enggak standar.

Itu memang satu hal yang, ketika kita bicara industrialisasi, menjadi enggak masuk. Wegah… Di situlah ketukan sosial kita keluar. Peduli memperhatikan satu per satu dari mereka. Nah, jika mereka bangkit, terus ingin menambah gudang, gudang yang baru ini kita standarkan sesuai industri.

Dalam kondisi tidak standar, berapa rata-rata produksi petani?

Pasti di bawah rata-rata industri. Kalau industri, satu paket menghasilkan 600 kg. Petani hanya 375 kg. Dan, nilai itu memang sudah kita perkirakan. Karena perfomance mereka di bawah industri.

375 kg masih menguntungkan?

Kita beli Rp 12.500 per kg. Bila 375 kg berarti senilai Rp. 4,7 juta. Jadi masih untung Rp 1,7 juta.

Harga 12.500 apa tidak di bawah harga pasar?

CS: Jangan dibandingkan dengan harga end user. Ini harga supplier industri. Saya bisa jamin harga saya yang paling tinggi dibandingkan dengan kompetitor. Gambaran kasarnya begini. Kalau saya mengambil terlalu rendah, pasti petani akan menjual ke perusahaan lain.

Lah, yang bosok itu begini. Neng pasar kan didol 16 ewu. Lah, yang imannya goyang – jumlah mereka enggak banyak — menjual ke sana. Namun, dengan jumlah sebanyak tiga ton, kan enggak mungkin mereka menjual ke pasar tradisional lokal yang kebutuhannya hanya sedikit.

Untuk mereka yang agak nakal, kita bina supaya kembali ke jalan benar. Bila tidak bisa, ya terpaksa kita putus.

Kalau ditotal, dari yang kita training sebanyak 250 petani, yang terus berlanjut sampai sekarang sekitar 180-an petani. Sisanya 70-an petani tersortir secara alami. Bagi saya, itu tidak mengapa. Yang penting, akhirnya tercipta tim yang solid.

Pemasarannya semua untuk pasar ekspor?

Tidak semua, 60% untuk pasar ekspor (Amerika, Jepang, Eropa, Timur Tengah). Sedangkan 40% untuk domestik. Jamur kita juga masuk Indofood untuk campuran mie.

Saya pernah interview dengan orang seperti Bapak. Namanya Mbak Ida. Dia membina agar produksi UKM sesuai harapan, pemasaran dia yang handle. Awalnya, lancar. Di tengah jalan ditipu orang terdekatnya. Beruntung bisa bangkit lagi hingga sekarang. Apakah Bapak juga merasakan hal serupa

Semua memang tidak selalu berjalan mulus. Di tahun awal, saya mengalami hal serupa. Orang yang saya percaya mengkoordinir petani, menelikung. Menghabiskan uang, yang nilainya amat besar. Maaf saya tidak bisa sebutkan nilainya. Saya memang sempat kaget. Di hadapan komisaris, untungnya saya mampu memberi keyakinan soal kejadian ini. Bahwa kejeblos itu memang benar. Tapi bukan merupakan akhir dari segala-galanya. Kita lantas meletakkan kerugian ini sebagai bagian dari investasi. Dan, alhamdulillah nilai yang ditelikung orang itu, sekarang sudah hampir balik.

Pelajaran terbesarnya adalah, kita harus totalitas dalam mendampingi petani. Termasuk dalam keuangan petani. Kita monitor dan kontrol dari hari ke hari. Bagian keuangan, manajer dan supervisor saya bisa mengontrol keuangan petani. Supervisor teknis dan budidaya juga tahu. Sistem yang mengontrol.

Makanya ketika masuk ke peternakan dua tahun, kita langsung handle semua. Handle total, agar kasus serupa tidak terjadi. Kita bermitra dengan peternak untuk mengembangkan sapi perah. Sekarang sudah produksi susu 200 liter per hari. Lokasinya disekitar lahan kita yang 20 hektare itu.

Apa harapan ke depan?

Ke depan kita berharap memberdayakan kelompok. Dalam hal punishment, pembinaan budidaya, dan hal-hal lain menjadi tanggungjawab kelompok. Agar kelompok lebih mandiri. Kalau enggak, capek terus-terusan terjun. Kalau makin lama jumlah kelompok bertambah, berapa PPL yang harus saya rekrut lagi. Dan, kita berharap juga jamur menjadi ikon baru petani Bromo di masa mendatang.

Ada juga kelompok tani dari Nongkojajar Pasuruan yang ingin bermitra dengan kita. Tapi kita belum bisa jajaki. Kita masih perkuat dulu yang di sini. Kita buat standar. Sedangkan untuk sapi perah, bila sudah tidak produktif, kita potong. Dagingnya untuk pasokan produk Corned kita. (Suhariyanto)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved