Book Review zkumparan

Antologi Kajian Empiris tentang Corporate University di Indonesia

Oleh Editor
Antologi Kajian Empiris tentang Corporate University di Indonesia

“Corporate university” bisa jadi merupakan istilah baru yang sering kita dengar dalam dunia bisnis. Walaupun mengandung kata “university”, sesungguhnya ini bukanlah universitas yang secara tradisional memberikan gelar akademis. Demikianlah penjelasan editor, yang membuka buku ini di bagian Epilog.

Corporate University

Judul : What You Should Know About Corporate University

Penulis : 26 praktisi corporate university di Indonesia dan tiga editor

Penerbit : PT Swasembada Media Bisnis dan PLN Corporate University

Tebal : 462 halaman

Mari kita melakukan tinjauan lainnya sejenak. Wikipedia mendefinisikan “corporate university” sebagai entitas perusahaan yang menjadi alat strategis untuk membantu perusahaan mencapai tujuannya dengan mengadakan aktifvitas yang mengembangkan pembelajaran organisasi dan pengetahuan.

Selaras dengan definisi di atas, tidak mengherankan kalau sejumlah perusahaan besar di dunia, termasuk di Indonesia, memiliki corporate university sendiri. GE pada 1956 mendirikan corporate university pertama di dunia, di Crotonville, yang menjadi corporate university legendaris. GE membangun corporate university untuk memecahkan masalah bisnis yang dihadapinya. Perusahaan raksasa ini menghabiskan dana US$ 1 miliar (sekitar Rp 14 triliun) setiap tahun untuk pelatihan.

Deloitte membangun Deloitte University dengan investasi US$ 300 juta untuk kampus seluas 107 hektare. PLN, Telkom, dan Pertamina memiliki corporate university sendiri yang semuanya dibangun pada tahun 2012. Saat ini, 14 BUMN telah memiliki corporate university sendiri.

Survei Boston Consulting Group menunjukkan, jumlah corporate university tumbuh dua kali lipat, dari 2.000 menjadi 4.000 dalam kurun waktu 10 tahun (1997-2007). Hal ini tidak mengherankan mengingat berkembangnya corporate university seiring dengan berkembangnya teori learning organization di tahun 1990-an. Konsep “learning organization” dipopulerkan oleh Peter Senge dalam bukunya, The Fifth Discipline: The Art and Practices of Learning Organization.

SWA bersama PLN Corporate University telah dua kali menyelenggarakan kompetisi best practices mengenai corporate university (tahun 2016 dan 2018). Hasilnya menunjukkan, corporate university di Indonesia ada yang masih berada di tahap pemula dan ada yang sudah matang dalam hal aplikasi.

Sebagai kelanjutannya, SWA dan PLN Corporate University menerbitkan buku pertama dengan judul Indonesia’s Best Practices of Corporate University. Di akhir 2019, keduanya kembali berkolaborasi menerbitkan buku What You Should Know About Corporate University ini.

Buku ini dibagi menjadi enam bagian. Yaitu, (1) kultur pembelajaran, (2) corporate university dan agenda strategis perusahaan, (3) faktor kunci, sistem, dan struktur organisasi corporate university, (4) corporate university dan adopsi teknologi, (5) corporate university and people development, dan (6) gagasan pengembangan corporate university.

Esensi pembelajaran adalah belajar dari masa depan. Perubahan teknologi terjadi dengan begitu cepatnya seiring dengan berkembangnya teknologi 5G, blockchain, artificial intelligence, machine learning, big data, IOT, dan augmented reality. Perubahan teknologi ini terjadi dengan begitu cepatnya sampai istilah VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) menjadi populer –bahkan, kini beberapa pakar memperkenalkan istilah TUNA (turbulence, uncertainty, novelty, dan ambiguity). Situasi VUCA (ataupun TUNA) menuntut organisasi menjadi agile dan memiliki learning culture agar tidak menjadi korban seperti Nokia, Kodak, ataupun Blackberry.

Dengan mengutip Harvard, tiga elemen penting dari karakter pembelajar agile adalah pola pikir pembelajar bahwa kompetensi sekarang belum tentu sesuai untuk hari besok, motivasi belajar melalui engaged learning, dan kemampuan belajar adaptif terhadap tantangan bisnis.

Corporate university juga dapat menjadi simbol untuk continuous learning, early adopter teknologi baru, serta influencer untuk adopsi inovasi dari luar perusahaan. Corporate university harus dibangun dengan empat prinsip: dimulai dari akhir, tidak ada dikotomi antara belajar dan bekerja, memakai pendekatan modern, dan memakai model crowdsourcing.

Sekitar 80% program pembelajaran korporasi sekarang sudah berbasis digital. Survei studi digital di tahun 2017 menunjukkan, 53% peserta program pembelajaran lebih menyukai kelas yang menggunakan teknologi digital learning. Solusi digital yang tepat bergantung pada konteks, budaya pembelajaran, infrastruktur, dan output yang ingin dicapai. Solusi digital tersebut dapat berupa bite-sized learning, gamified learning, augmented reality learning, ataupun virtual reality learning. Tantangan dalam implementasi teknologi digital learning adalah people, process, technology, dan culture.

Studi kasus yang paling menarik adalah mengenai evolusi Training Center BCA sampai menjadi Learning Institure. Training Center BCA di tahun 2000-an berubah menjadi unit terpisah dengan nama Divisi Pelatihan dan Pengembangan. Berikutnya menjadi Divisi Pembelajaran dan Pengembangan di tahun 2012, sampai akhirnya menjadi BCA Learning Institute di tahun 2016. Perubahan nama ini melukiskan perubahan cara pandang, bahwa learning memiliki arti yang lebih luas daripada training. BCA Learning Institute memiliki 50 trainer full-time dan 1.500 trainer part-time untuk memberikan pelatihan bagi 800-1.000 orang setiap hari.

BCA memiliki empat pilar besar pengembangan SDM untuk mendukung strategi bisnis BCA, yaitu learning development cycle, leadership development, knowledge management, dan learning technology. Hasil BCA Learning Institute ini cukup menakjubkan: leader di level manajer yang dikembangkan dari dalam mencapai 89%. Dalam menilai keberhasilan training, BCA melihatnya dari dampak pada kinerja ataupun perubahan perilaku peserta.

Di tempat lain, PLN Corporate University mengadopsi konsep Kirkpatrick 4 Levels of Training Evaluation dan Return on Investment dari Jack Philips untuk mengevaluasi dampak pembelajaran.

Studi yang dilakukan BCG menunjukkan bahwa keberhasilan program corporate university dapat diukur dari delivery satisfaction, knowledge generation, learning application, impact on KPI, dan return on investment.

Studi kasus lainnya yang dibahas adalah mengenai komitmen BRI untuk corporate university-nya. BRI memiliki chief learning officer (CLO) dan delapan dean, serta mengalokasikan 5% biaya tenaga kerja untuk mengembangkan BRI Corporate University. CLO tersebut memiliki tiga peran, yaitu sebagai desainer yang menerjemahkan visi-misi perusahaan, sebagai guru yang mengembangkan orang yang di bawahnya, serta sebagai penjaga visi-misi dan core values perusahaan.

Corporate university dapat berperan lebih dari sekadar pemberian pelatihan, tetapi dapat juga menjadi assessment center dan think tank perusahaan. Kepala kampus GE di Crotonville harus mampu menjalin kerjasama dengan universitas. Selain itu, kampus GE ini juga dipakai untuk program yang melibatkan sharing dengan pelanggan utama. Singkat kata, corporate university bertanggung jawab bukan hanya untuk pengembangan karyawan tetapi juga pengembangan organisasi.

Tantangan corporate university ke depan adalah bagaimana membuat karyawan memiliki rasa ingin belajar yang mendalam agar tetap ter-update. Training hanya 10% dari pembelajaran, 20% dari coaching, dan sisanya dari learning by doing.

Tantangan lainnya adalah bagaimana membangun knowledge management agar thinking perusahaan tidak bergantung pada satu orang saja mengingat rata-rata karyawan kini hanya bertahan 3-4 tahun.

Bagian akhir buku ini memberikan sudut pandang yang sangat menarik. Bagaimana bila 14 corporate university milik BUMN dikoordinasikan menjadi BUMN University? Bagaimana bila BUMN yang memiliki corporate university harus menyisihkan 30% kursi pelatihan untuk BUMN lain yang serumpun tetapi tidak memiliki corporate university? Bagaimana bila corporate university yang sudah ada menawarkan program untuk BUMN lainnya, misalnya corporate university Inalum memberikan pelatihan untuk analis perbankan sektor pertambangan?

Jelas, tidak semua perusahaan akan membangun corporate university sendiri. Survei membuktikan, 72% perusahaan yang disurvei tidak ingin membangun corporate university sendiri karena ukuran perusahaan (46%), prioritas strategic (31%), dan biaya (19%). Walaupun demikian, buku ini akan memberi kita perspektif dan pemahaman baru mengenai peran strategis dan tantangan corporate university. Buku ini penuh dengan studi kasus yang ditulis oleh praktisi HR Indonesia sehingga memberikan wawasan tentang aplikasi dalam perusahaan nyata.

Bagaimana (r)evolusi corporate university di masa pembelajaran digital akan menjadi sesuatu yang menarik untuk diantisipasi dan diperhatikan. Corporate university tidak akan kebal dari perubahan VUCA and TUNA. Apakah ruang fisik masih dibutuhkan untuk corporate university di masa depan? Bagaimana bila kurikulum corporate university disampaikan secara online sama seperti Harvard Business School yang sudah menawarkan beberapa kursus secara online? Bagaimana corporate university bisa memanfaatkan augmented reality dan vvrtual reality sama seperti AT&T yang sudah memanfaatkan teknologi ini dalam penyampaian pembelajarannya? Bagaimana corporate university bisa memanfaatkan platform pembelajaran berkelas dunia seperti edX, Coursera, udemy, ataupun LinkedIn Learning?

Ya, sama seperti tujuannya, yaitu melatih karyawann agar agile, corporate university sendiri juga harus agile. Inilah tantangan sekaligus masa depan corporate university. (*)

Edison Lestari

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved