Book Review

Iman ETHIKA di Era Pandemi

Judul buku : The Survival of Human Capital

Penulis : Naufal Mahfudz dkk.

Penerbit : Balai Pustaka dan BPJS Ketenagakerjaan, 2021

Tebal : 290 halaman

Tahun 1954, dalam salah satu bab buku klasiknya, The Practice of Management, guru manajemen Peter Drucker menulis judul “Is Personnel Management Bankrupt?” (hlm. 273). Drucker tidak bercanda. Dia serius membahas karena ada masalah serius yang dihadapi divisi manajemen sumber daya manusia (human resource management [HRM] perusahaan).

Persoalan yang diungkap Drucker itu ada karena gap antara peran yang diharapkan dan realitas yang ditampilkan HRM. Secara khusus, masalah itu berpusat pada gap antara peran yang diharapkan dan peran yang sebenarnya dari bagian HRM yang sebelumnya disebut administrasi personalia. Di buku itu, Drucker menulis bahwa orang-orang HRM sering mengeluhkan posisi mereka yang tidak dihargai, tidak memiliki status yang seharusnya diberikan, dan tidak diperlakukan sebagai anggota penuh dari manajemen senior.

Persoalan yang diungkap Drucker lebih dari 60 tahun silam itu sampai kini masih terus menjadi pembicaraan. Beberapa buku dan jurnal bereputasi juga masih membahasnya. Tahun 2005, Sari Caudron menulis di Workforce dengan judul “HR Is Dead, Long Live HR.” Tahun 2012, Andrew Mayo menulis buku Human Resource or Human Capital? (Farnham, Gower, 2012).

Kemudian, di pengantar bukunya, Human Resource Transformation, William J. Rothwell dkk. menulis subjudul “Is HR Dead?” Dengan kalimat lain, isu yang ditulis Drucker puluhan tahun lalu itu telah berkembang menjadi pemikiran terkini tentang transformasi sumber daya manusia (SDM).

Pandemi 2020 seakan-akan menciptakan VUCA: volatile (bergejolak), uncertain (tidak pasti), complex (kompleks), dan ambigue (tidak jelas) jilid kedua. Selama waktu itu, berlangsung dua bentuk disrupsi, yakni disrupsi teknologi digital dan disrupsi pandemi Covid-19. Beruntung, selama periode ketidakpastian itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) bereaksi menanggapi situasi itu, meski reaksi tersebut memiliki efek riak yang mendobrak di dalam perusahaan.

Sebelum pandemi, gangguan yang disebabkan oleh perubahan teknologi membuat perusahaan berjuang agar kesejahteraan emosional dan finansial karyawan terjamin. Sehingga, karyawan semakin bergairah dan tetap bersemangat untuk secara bersama-sama mencapai tujuan perusahaan.

Pada 2014, pemerintah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional sebagai jaminan sosial bagi masyarakat. Untuk itu, pemerintah mengganti nama Askes menjadi BPJS Kesehatan dan Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang mengemban amanah melaksanakan program perlindungan jaminan sosial kepada seluruh tenaga kerja Indonesia dan keluarganya melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun.

Sebelum perubahan hukum dari Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan, di internalnya dilakukan revolusi SDM. Revolusi ini menegaskan terjadinya perubahan SDM yang semakin berkualitas dan jauh melampaui batas profesionalitas dan loyalitas. Dalam transformasi ditanamkan semangat untuk memberikan yang lebih baik dan disertai keinginan kuat manajemen untuk menciptakan “Jamsostek yang Baru”, yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Dalam menjalankan amanah itu, BP Jamsostek merumuskan visi “Menjadi badan penyelenggara jaminan sosial kebanggaan bangsa, yang amanah, bertatakelola baik, serta unggul dalam operasional dan pelayanan” dan memiliki misi “Melalui program jaminan sosial ketenagakerjaan, BP Jamsostek berkomitmen untuk melindungi dan menyejahterakan seluruh pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas dan daya saing pekerja, dan mendukung pembangunan serta kemandirian perekonomian nasional”.

Harus diakui bahwa visi dan misi tersebut hanya akan terwujud jika didukung organisasi yang kuat dan SDM yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Dalam masa kepemimpinan Direksi Periode 2016-2021, BP Jamsostek meneguhkan tujuh nilai budaya organisasi, yaitu Iman, Ekselen, Teladan, Harmoni, Integritas, Kepedulian, dan Antusias yang disingkat Iman ETHIKA.

Budaya organisasi itu diinternalisasikan dan BP Ketenagakerjaan menjadikan karyawan sebagai aset utama organisasi. Ini menegaskan perubahan pengelolaan SDM organisasi menjadi berbasis human capital. Pendekatan human capital menjadikan karyawan sebagai aset (modal manusia) yang nilainya dapat diukur dan nilai masa depannya dapat ditingkatkan melalui investasi. Sementara itu, SDM adalah istilah umum yang digunakan untuk mewakili elemen orang dalam organisasi.

Dalam buku The Survival of Human Capital ditegaskan bahwa nilai-nilai budaya organisasi itu ditanamkan bukan sekadar sebagai alat, tetapi juga merupakan pelekat keterikatan karyawan pada organisasi. Setiap nilai budaya ini harus diimplementasikan oleh seluruh SDM BPJS Ketenagakerjaan atau Insan BP Jamsostek.

Buku ini menggambarkan perjalanan pengelolaan karyawan menjadi human capital di BP Jamsostek dalam rentang 2016-2020. Pengelolaan human capital oleh BP Jamsostek dilakukan agar mampu bertahan menghadapi tantangan dalam rentang waktu tersebut.

Perubahan dan ketidakpastian membuat karyawan terbebani baik secara fisik, emosional, dan finansial. Covid-19 telah menciptakan banyak kecemasan dan ketakutan di antara karyawan. Pada situasi ini, tanggapan perusahaan yang fokus pada kebutuhan akut orang-orang perlu segera diambil. Di sini, BP Jamsostek mendapatkan banyak pelajaran dari gangguan sebelum Covid-19.

Dalam situasi pandemi, karena perusahaan terus beradaptasi dengan perubahan, kesehatan, ketahanan, dan kesejahteraan tenaga kerja menjadi lebih penting agar perusahaan mampu terus beroperasi optimal. Dengan meluasnya anjuran untuk tinggal di rumah, BP Jamsostek telah menyesuaikan, mengurangi, atau menangguhkan operasi, dan mengalihkan tenaga kerja secara online.

Sejak Maret 2020 ketika awal masuknya virus corona ke Indonesia, BP Jamsostek menerapkan metode bekerja dari rumah (work from home). Harus diakui bahwa beberapa kebijakan penyesuaian saat itu, sampai batas tertentu, memengaruhi karyawan secara keseluruhan. Ketika pembatasan diberlakukan, kebijakan tersebut mengubah kebiasaan dengan pertemuan tatap muka. Karyawan juga harus menata ulang pola keseharian di rumah mereka karena bekerja di rumah di sini bukan hanya memindahkan pekerjaan untuk dilakukan di rumah.

Ketika bekerja di rumah, ada beberapa hal khusus yang harus diterapkan secara lebih disiplin. Persyaratan minimal yang harus dipenuhi antara lain ruang dan peralatan kerja yang memadai, berpakaian rapi, disiplin terhadap waktu kerja dan waktu istirahat, serta tidak terganggu dengan suasana rumah.

Saat perusahaan mulai menata ulang pola dan tempat kerja baru, kesehatan dan keselamatan karyawan dilihat manajemen sebagai hal yang krusial. Untuk itu, pimpinan perusahaan memastikan bahwa ada kerangka kerja yang tepat, dan strategi kesejahteraan manajemen cukup mengatasi masalah karyawan yang utama sambil meminimalkan risiko perusahaan.

Dalam buku ini ditulis bahwa pada situasi VUCA ini, manajemen dan seluruh karyawan memahami bahwa pengelolaan human capital dalam proses ini diperoleh melalui kombinasi antara pengetahuan dan pengalaman kedua pihak. Pada akhirnya, kebersamaan itu menghasilkan berbagai pengakuan dan penghargaan yang diterima BP Jamsostek, khususnya dalam pengelolaan human capital.

Ini menunjukkan bahwa strategi yang disusun dan program kerja yang telah dilaksanakan berada pada arah yang tepat. Namun, perubahan di masa depan tetap akan terjadi. Tantangan yang dihadapi organisasi saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah menjadi digital (digitalized).

Buku ini perlu dibaca praktisi dan penggiat human resources karena merekomendasikan pentingnya mempertahankan sifat humanistis di dunia kerja. Caranya, dengan menerapkan nilai-nilai budaya organisasi di tengah-tengah dunia yang dipenuhi pekerja robot, coding, uang digital, dan kemajuan teknologi lainnya. (*)

Edhy Aruman*) Dosen LSPR Communication and Business Institute

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved