Listed Articles Book Review

Inspirator Perempuan dan Lelaki

Judul : Lead to the Top

Editor : Teguh S. Pambudi

Penerbit : PT Swasembada Media Bisnis, 2020

Tebal Buku : 260 halaman

“Saya tidak suka orang yang iya-iya saja. Saya malah tidak merasa safe. Saya membutuhkan rekan kerja yang tak takut mengkritik.” – Adriani Noeh Abubakar, founder & CEO perusahaan konten KVB | Kennedy, Voice & Berliner –public relations agency.

Kutipan itu saya ambil dari Lead to the Top, sebuah buku yang menceritakan kisah perjalanan para perempuan hebat di Indonesia. Mereka hebat karena telah menjadi perempuan pemimpin yang impactful, minimal bagi perusahaan, karyawan, staf dan lingkungan sekitarnya.

“Saya ingin tim saya menjadi orang-orang berinisiatif dan inovatif, bukan tim yang terus dibimbing yang akan membuat organisasi lemah, karena semangat kerja tim merupakan jembatan jurang target keberhasilan,” kata Jane Fransisca, Chief Financial Officer (CFO) PT Great Giant Pineapple.

Filosofi mereka tentang kerja, memimpin, dan gender sangat keren. Setidaknya dari pemikiran mereka saya menangkap kesan perlunya mendefinisikan ulang beberapa pemikiran yang selama ini mendominasi. Tentang kesuksesan, misalnya, selama ini di ranah umum ada pendapat bahwa keberhasilan seseorang dilihat dari kepemilikannya.

Ini berbeda dengan pendapat para perempuan pemimpin itu. Bagi mereka, ukuran keberhasilan bukan sekadar dilihat dari kepemilikan. “Kunci keberhasilan bukanlah diukur dari banyaknya klien dan penghasilan, tetapi lebih kepada dampak apa yang dihasilkan dari pekerjaan kita untuk mereka,” kata Shirley D. Santoso, CEO Kearney Indonesia.

Ada 14 perempuan hebat yang ditulis di buku itu. Selain Adriani Noeh Abubakar, Jane Fransisca, dan Shirley D. Santoso, di antaranya ada juga Meryati Bandjarnahor (CFO PT Asuransi Adira) dan Siti Choiriana (Direktur Consumer Service PT Telkom Indonesia). Mereka mempunyai latar belakang dan liku-liku perjuangan untuk menjadi sukses yang berbeda-beda.

Namun di antara keberagaman itu, terdapat kesamaan. Pertama, mereka tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi, serta melatih tanggung jawab dan kemandirian sejak dini. Kedua, di level organisasi, munculnya pemimpin ini dimungkinkan karena organisasi tempat mereka tumbuh dan berkembang sangat memperhatikan performa individu, bukan melihat pada gender.

Ketiga, di level individu sendiri, para perempuan pemimpin ini mempunyai karakter yang relatif sama. Antara lain, stay hungry, stay foolish. Mereka tak pernah berhenti merasa lapar untuk menyerap pengetahuan baru, dan berupaya untuk tidak merasa kenyang dengan pencapaian yang ada. Karenanya, mereka merasa harus terus belajar.

Banyak cara yang mereka lakukan untuk mendapat pengetahuan baru itu. Elin Waty, Presiden Direktur PT Sun Life Financial Indonesia, yang memimpin lebih dari 500 karyawan dan hampir 8.000 tenaga pemasar, misalnya, mengajak sejumlah karyawan untuk sarapan pagi. Dalam acara itu, mereka bebas bertanya tentang apa saja tanpa ada sekat-sekat yang membuat mereka takut.

Dengan kalimat lain, proses mendapatkan pengetahuan itu dilakukan melalui dialog. Tidak ada yang membantah bahwa dialog telah digunakan selama berabad-abad untuk membantu menghasilkan makna bersama. Dialog menghilangkan kebencian untuk membangun peradaban modern, karena dialog –menurut Aristoteles dan Plato, filsuf– mampu mengklarifikasi dan mengomunikasikan pemahaman tentang filsafat yang sebenarnya kompleks. Maknanya adalah bahwa serumit apa pun persoalan, setinggi apa pun kebencian, bisa diselesaikan melalui dialog.

Bahkan, untuk memakmurkan suatu bangsa, Paulo Freire –penggagas pendidikan untuk pembebasan– percaya bahwa hal itu bisa dilakukan melalui dialog. Itu berarti komunikasi harus dilakukan tidak satu arah seperti model bank –nasabah setor dan teller (bank) mencatat, dan secara terus-menerus.

Mengutamakan dialog merupakan cerminan kesabaran dan ketelatenan. Saat guru dan peserta didik berdialog, yang harus dikedepankan adalah kesabaran untuk mendengar dan ketelatenan dalam menghadapi keberagaman ataupun dalam memilih argumentasi. Itu sebabnya, bila dua hal itu terpenuhi, dialog selalu memunculkan terobosan.

Intinya, untuk mencapai dan melakukan itu tidaklah mudah karena dalam melakukan dialog selalu ada upaya memediasi realitas sosial dan jarang menghasilkan keputusan yang cepat. Namun, dialog bisa menghasilkan keputusan yang memenuhi kebutuhan jauh lebih banyak pihak.

Dialog merupakan bagian dari membuat perbedaan. Mengapa? Karena, dialog merupakan bentuk praksis kolektif yang secara langsung berkaitan dengan pembukaan selubung kondisi ketidakadilan yang dikaburkan oleh pihak yang merasa di atas. Proses ini penting dan bisa dimaknai sebagai peningkatan komunitas dan pembangunan modal sosial yang mengarah pada keadilan dan perkembangan manusia.

Hal lain yang dibutuhkan dalam dialog adalah kesetaraan. Prinsip kesetaraan ini –dalam buku ini– juga dipegang dan digambarkan oleh Meryati Bandjarnahor, CFO PT Asuransi Adira Dinamika (Adira Insurance). Sebagai seorang komunikator, dalam mendidik karyawan, Meryati selalu menegakkan fair treatment, equality, diversity, dan kesempatan yang tidak tebang pilih.

Diakui atau tidak, dalam dialog dibutuhkan sikap tidak saling merendahkan atau yang satu di atas yang lain. Kesetaraan ini yang menghasilkan keterbukaan karena orang tidak merasa takut untuk mengemukakan pendapat. Bisa jadi, ini yang menginspirasi Adriani Noeh Abubakar seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini.

Bila sikap ini terpupuk dengan bagus, kesetaraan dan toleransi akan tercapai. Dalam konteks kesetaraan peran gender, gagasan ini sangat menjadi penting dalam mewujudkan kesejahteraan.

Pada 25 September 2015, hampir semua negara di dunia mengadopsi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Agenda ini bertujuan memecahkan masalah, seperti mengakhiri kemiskinan global, mengurangi ketidaksetaraan gender, serta mencapai hasil dan kemajuan positif dalam Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030 di seluruh dunia. Agenda ini bersifat universal dan dapat diterapkan di seluruh dunia.

Ada lima tema utama dari Agenda yang disebut dengan 5P: People, Prosperity, Planet, Partnerships, and Peace.Goal ke-5 dari Agenda adalah “Kesetaraan Gender”. Target goal tersebut adalah memastikan partisipasi penuh dan kesempatan yang sama bagi permpuan dalam kepemimpinan di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik.

Hal menarik lainnya yang diungkap dalam buku ini adalah tentang kepemimpinan. Endang Suraningsih, Direktur Keuangan dan SDM PT Bhanda Ghara Reksa (Persero). Sebelum menjabat sebagai direktur di BGR, Endang pernah menjadi Direktur SDM dan Umum PT Perkebunan Nusantara (PT PN) IV. Di perusahaan itu Endang mengelola 25 ribuan karyawan dan 30 ribuan pensiunan.

Endang yang mengaku selalu bekerja di tengah dunia lelaki itu mempunyai prinsip egaliter. Dia sadar benar bahwa dalam menyusun kebijakan, misalnya, ada satu prinsip yang dia pegang, bahwa orang yang paling tahu adalah yang mengerjakan. Misalnya, para pekerja pabrik adalah orang-orang yang secara teknis lebih paham seluk-beluk pekerjaannya. ”Sedangkan saya, sebagai pemeimpin, tahu business process,” katanya.

Kepemimpinan yang memberi inspirasi adalah kemampuan untuk menjadi pengaruh positif kepada orang-orang di sekitar dan memotivasi orang lain menuju kesuksesan. Seorang pemimpin dengan tingkat pengalaman apa pun pada dasarnya dapat mempraktikkan kepemimpinan yang menginspirasi. Ujungya, seorang pemimpin harus memberikan dampak. “Bagi saya, kepemimpinan itu bukan untuk create follower and followership, tapi untuk create other leader,” kata Sherley D. Santoso, CEO AT Kerney Indonesia.

Banyak inspirasi yang didapat dari buku ini. Karenanya, buku ini layak dibaca, bukan hanya oleh kaum perempuan, melainkan juga kaum lelaki yang ingin maju. Banyak pembelajaran yang disampaikan oleh narasumber dalam buku ini. (*)

Edhy Aruman: Dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved