Book Review

Mantan CEO DHL Berbagi Pelajaran Kepemimpinan

Oleh Editor
Mantan CEO DHL Berbagi Pelajaran Kepemimpinan

DHL adalah salah satu perusahaan terbesar di dunia dengan pendapatan EUR 14 miliar (sekitar Rp 200 triliun) setiap tahun. DHL memiliki kantor di 227 negara, jauh lebih banyak daripada negara tempat kantor Coca-Cola berada dan lebih banyak daripada jumlah anggota PBB. Bagaimana mungkin perusahaan sebesar itu tidak menghasilkan keuntungan sama sekali?

Judul : Radical Simplicity

Penulis : Ken Allen

Penerbit : Ebury Digital, 2019

Tebal : 217 halaman

Inilah kenyataan pahit yang dihadapi DHL. Pada waktu dijual ke Deutsche Post di tahun 2002, kerugian tahunan mencapi EUR 150 juta. Puncaknya, kerugian mencapai EUR 2,2 miliar (sekitar Rp 33 triliun) di tahun 2008. Singkat kata, DHL sudah nyaris bangkrut. Beruntungnya, Ken Allen berhasil membalikkan situasi menjadi untung EUR 1,9 miliar di tahun 2018.

Di tahun 2009, Ken Allen dilantik menjadi CEO. Dia langsung memperkenalkan konsep SELF Reflection (Simplicity-Execution-Leadership-FocusReflection).

Simplicity berarti hanya menjual produk “international express”. Execution berarti “doing things”. Leadership bearti “hanya enam direktur, selebihnya expert dan multifunctional”. Focus berarti “rencana terinci sampai 2015”.

Strategi tersebut memiliki empat pilar, yaitu People yang menyampaikan Great Service Quality, sehingga menghasilkan Loyal Customers, yang merupakan akar dari Profitable Network.

Di tahun 2011, hasil transformasi mulai terasa dan DHL meluncurkan kampanye iklan “Speed of Yellow”. Di tahun 2012, DHL sudah mencapai EUR 1 miliar EBIT berkat disiplin, proses, dan fokus pada konsumen. Di tahun 2017, EBIT mencapai EUR 1,62 miliar dengan EUR 1 milliar cash flow. Di tahun 2018, EBIT mencapai rekor: EUR 1,95 miliar. DHL merayakan ulang tahunnya yang ke-50 di tahun 2019 dengan menjadi sebuah perusahaan yang kuat secara keuangan yang memiliki 100.000 karyawan, dan Ken Allen menyerahkan tampuk CEO kepada John Pearson.

Karier Ken dimulai dari DHL Bahrain di tahun 1985. Di masa lalu, DHL bekerja dengan semangat entrepreneurial, yang juga berarti disiplin. Ken masuk dan membawa disiplin keuangan. Operational excellence harus dipadukan dengan financial sophistication. Perlahan, salah satu daerah yang paling kacau menghasilkan data operasional dan hasil keuangan terbaik. Pelajarannya: proses yang benar dapat mengubah lingkungan apa pun bila memiliki disiplin.

Dari Timur Tengah, Ken dipindahkan ke Asia Pasifik di tahun 1998. Krisis moneter 1998 mengajarkan dia pentingnya pricing sehingga dia terinspirasi untuk melakukan pricing review setiap tahun, dengan mempertimbangkan faktor mata uang, inflasi, dan upah tenaga kerja.

Dari Asia Pasifik, Ken dipindahkan ke Kanada. Begitu sampai Kanada, dia menemukan salah seorang konsumennya complain karena invoice yang sering tidak akurat. Alhasil, dia memutuskan tidak menambah konsumen baru sebelum memiliki proses yang benar. Pelajaran yang dia petik adalah tidak ada hal yang dasar untuk hal yang mendasar: service quality dan customer loyalty merupakan hal yang tidak terpisahkan. Kita tidak akan memiliki loyalitas konsumen tanpa memberikan kualitas layanan.

Dari perjalanan kariernya men-turnaround operasi DHL di Amerika, Ken memberikan lima pelajaran: segera balikkan situasi bila situasi mulai memburuk; miliki pengertian yang sangat mendalam terhadap bagaimana konsumen kita memikirkan kita dan kemampuan kita sehingga kita bisa membuat keputusan berdasarkan fakta dan bukan Excel; kita tidak akan bisa mencapai semuanya sendirian, tetapi kita membutuhkan orang dengan keahlian yang mendalam; komunikasi yang efektif merupakan hal yang penting; dan eksekusi yang kuat sudah merupakan strategi.

As one” merupakan mantra sakti untuk prinsip operasi dasar dan budaya perusahaan. Semua pegawai DHL harus berpikir dan bertindak “sebagai satu jaringan”. Semua karyawan juga diingatkan akan aturan 1-10-100: total biaya adalah 1 bila seluruh karyawan mengikuti proses dan mengirimkan barang sebagaimana mestinya, biaya akan menjadi 10 bila masalah diketahui dan dibenarkan di hub, tetapi akan menjadi 100 bila telah sampai ke konsumen dan harus dikembalikan. Rahasia untuk mencapai kualitas yang konsisten adalah rutinitas. Keuntungan selalu menjadi fokus perusahaan sehingga Ken juga memperkenalkan formula “Revenue is vanity, EBIT is sanity, and cash is reality”.

Dalam perjalanan kariernya, Ken menyadari bahwa atasan memiliki dampak langsung terhadap bawahan, lebih daripada CEO. Atasan merupakan alasan utama seorang pegawai memutuskan keluar dari pekerjaannya.

Menyadari bahwa karyawan di level supervisor merupakan level yang paling kritikal untuk menginspirasi frontline dan menaikkan produktitivas, mereka meluncurkan Supervisory Excellence Program. Begitu pentingnya peran supervisor sampai buku ini menyarankan agar kita bekerja di sisi supervisor sehingga menyadari tantangan mereka dan dampak mereka terhadap karyawan frontline sehingga kita dapat memberikan supervisor kita peralatan, keahlian, dan pengetahuan yang mereka butuhkan dalam pekerjaan kita.

Dari sisi hasil, DHL fokus pada empat hal: keuangan, pelanggan, karyawan, dan dampak sosial. Ken juga dikenal sebagai “The Singing CEO” karena kesukaannya menyanyikan lagu Ain’t Mountain High Enough untuk menggambarkan semangat DHL. CEO tersebut memang berencana memakai lagu untuk menyentuh emosi dan keinginan bertindak karyawannya.

Setiap kali bertemu karyawan, CEO tersebut selalu menanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan untuk memberikan hasil yang lebih baik untuk diri kita sendiri, untuk konsumen kita, dan untuk dunia?”

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar dari semua bisnis adalah, “Apakah kita benar-benar mengetahui kebutuhan konsumen dan kita memiliki kemampuan untuk memberikan solusi yang layak secara menguntungkan?”

Buku ini ditulis langsung oleh CEO DHL berdasarkan pengalaman pribadinya dalam men-turnaround perusahaan. Dengan demikian, banyak sekali pelajaran kepemimpinan yang dapat kita petik. (*)

Edison Lestari

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved