Book Review Strategy

Masyarakat Surplus Informasi

Masyarakat Surplus Informasi

Judul : Cognitive Surplus: Creativity and Generosity

in A Connected Age

Pengarang : Clay Shirky Penerbit : Penguin Books, Cetakan Pertama, 2010 Tebal : 242 halaman

Masa setelah berakhirnya Perang Dunia II secara umum ditandai berkurangnya penduduk yang tinggal di kawasan perdesaan dan tumbuhnya daerah perkotaan yang dibarengi meningkatnya tingkat pendidikan di hampir semua kelompok demografi masyarakat. Meningkatnya komunitas urban dan berpendidikan ini menyebabkan peningkatan yang luar biasa orang yang mengandalkan penghasilannya dari aktivitas berpikir dan berbicara dibanding aktivitas memproduksi atau aktivitas memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain (distribusi) yang lebih dominan dilakukan di masa sebelumnya.

Seiring perkembangan zaman, aktivitas pekerjaan secara umum banyak dilakukan di belakang meja atau berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan teknologi semakin memudahkan proses interaksi. Interaksi menjadi semakin intensif dan meluas, melampaui batas-batas yang telah ada sebelumnya. Jika kita dapat sejenak melihat lingkungan sekitar kita sekarang, kita akan melihat banyak sekali orang yang terlalu asyik dengan perangkat komputer ataupun handphone mereka selama berjam-jam. Aktivitas yang mereka lakukan bisa bermain game, SMS, chatting atau ber-BlackBerry ria.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki surplus waktu sehingga dapat melakukan hal itu semua. Jika beberapa tahun lampau, adanya surplus waktu digunakan untuk menonton televisi, mereka melakukan tindakan relatif pasif dibanding ketika berada di depan komputer atau perangkat telepon seluler mereka. Di depan komputer kita dapat melakukan aktivitas yang lebih aktif. Misalnya, ketika chatting kita tidak sekadar membaca informasi, melainkan juga dapat memproduksi, mengirimkan dan menyebarkan informasi yang kita produksi kepada mereka yang kita inginkan. Terdapat produksi informasi secara besar-besaran dari semua pihak.

Semua orang dapat memproduksi informasi dan tidak semua informasi yang diproduksi oleh para amatir ini merupakan informasi “sampah” atau pepesan kosong belaka. Hal-hal kecil yang benar-benar kita ketahui dengan baik dapat kita bagikan kepada orang lain. Misalnya, ketika kita sedang sakit, kita memiliki informasi yang akurat tentang apa yang kita rasakan, dan tindakan apa yang kita lakukan terkait dengan penyakitnya. Jika apa yang kita rasakan itu kita bagikan (sharing) ke berbagai pihak lain lewat sarana media sosial, informasi itu akan menjadi suatu hal yang berharga. Dengan menggunakan media sosial kita dapat berbagi informasi dengan orang lain yang memiliki penyakit serupa dengan kita. Dengan demikian, dalam kondisi sakit pun kita masih dapat memproduksi informasi bagi pihak lain.

Masing-masing dari diri kita dapat memberikan berbagai kontribusi informasi kecil yang berharga bagi mereka yang sedang membutuhkan informasi itu. Persoalannya, bagaimana kita memberikan respons yang proporsional terhadap segala kreativitas, partisipasi dan sharing yang terjadi lewat perantaraan media sosial tersebut. Kecanduan aktivitas ini pun bukan merupakan hal yang baik.

Dewasa ini semakin banyak orang melakukan aktivitas ini secara sukarela dengan menggunakan berbagai perangkat teknologi yang ada. Penggunaannya bukan hanya untuk masalah yang terkait dengan persoalan ranah privat, melainkan telah merambah ke berbagai persoalan ranah publik. Contohnya, penggalangan dukungan besar-besaran untuk menggulingkan penguasa yang telah berkuasa terlalu lama di Timur Tengah ataupun tindakan memobilisasi dukungan untuk kebebasan Prita Mulya Sari dan Bibit-Chandra di Indonesia beberapa waktu silam. Segala aktivitas ini tidaklah dimotivasi oleh aspek personal ataupun finansial. Banyak sekali aktivitas serius yang dikerjakan secara sukarela lewat jejaring Internet ini, seperti ikut serta dalam mengedit ensiklopedia dunia maya Wikipedia atau ikut membuat program open source semacam Linux merupakan kerja serius, yang biasa dikerjakan kaum profesional yang berorientasi uang. Di sini orang awam juga bisa melakukan tindakan untuk memberikan solusi atas masalah publik yang terjadi. Misalnya untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta, seseorang telah mengembangkan situs komunitas online, nebeng.com, yang memungkinkan orang pergi bersama-sama ke tempat kerja, sehingga penggunaan mobil ke tempat kerja bisa dikurangi dan kemacetan bisa dikurangi.

Gerakan yang digalang lewat media sosial menunjukkan bahwa partisipasi sukarela dari warga masyarakat dapat memberi efek yang luar biasa bagi perubahan tata kehidupan masyarakat luas. Batas-batas antara media publik dan media privat, demikian pula antara pekerja amatir dengan pekerja profesional menjadi semakin kabur dalam ranah media sosial saat ini. Aktivitas saling berbagi informasi di media sosial ini termasuk dalam aktivitas produksi sosial (social production), tempat orang membuat dan memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa adanya imbalan. Dalam aktivitas ini sering kali orang yang tidak kenal dapat menjadikan hidup kita lebih baik secara gratis. Dengan membaca kata-kata mutiara atau pengalaman hidup seseorang di Facebook misalnya, kita dapat menarik pelajaran berharga secara gratis. Kita dapat pula memperoleh berbagai solusi gratis atas berbagai masalah yang dihadapi. Fenomena ini menunjukkan bahwa tidak seperti argumen para ekonom Neoklasik, ternyata tidak semua aktivitas ekonomi seseorang dimotivasi oleh hal bersifat rasional yang lebih bertujuan memberi keuntungan bagi diri sendiri semata.

Berbagai bentuk jaringan koordinasi yang dibentuk lewat media sosial akan mampu menggalang dukungan dari para pihak yang sepaham untuk melakukan kerja secara efektif daripada jika dikerjakan secara sendirian, lebih efektif daripada mengandalkan kekuatan pasar yang diatur lewat mekanisme harga, dan juga lebih efektif dari arahan atau perintah yang diberikan oleh pihak pemerintah. Di sini perlu ditekankan bahwa perilaku seseorang terhadap pihak lainnya tidak dapat tergambarkan dengan jelas jika hanya melihat mekanisme pasar, karena transaksi pasar hanya mencakup bagian kecil dari keseluruhan perilaku manusia. Mekanisme pasar sendiri bukanlah sesuatu yang ideal dalam mengatur perilaku manusia.

Perkembangan teknologi informasi menegaskan adanya paradoks dari sebuah revolusi di mana semakin besar peluang yang ditawarkan oleh suatu inovasi baru, semakin sulit memprediksi apa dampak dari inovasi tersebut terhadap kehidupan masyarakat luas. Perkembangan inovasi sering menuju ke arah yang berbeda dari apa yang diharapkan oleh sang pembuat inovasi. Ide atau pengetahuan berkembang dengan sangat cepat. Apa yang akan terjadi dengan teknologi informasi di masa depan semakin sulit diprediksi. Agar suatu ide atau pengetahuan meluas, maka yang diperlukan adalah peningkatan ukuran komunitas, penurunan biaya untuk menyebarluaskannya dan peningkatan kejelasan materi yang disampaikan. Jejaring Internet telah memudahkan itu semua.

Inti buku karya Clay Shirky ini menegaskan bahwa kita kini hidup dalam masyarakat surplus informasi, dan kita bisa menjadikan dunia ini lebih baik dengan saling berbagi informasi.

Eko Widodo

Peresensi adalah staf pengajar

Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi

Unika Atma Jaya, Jakarta.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved