Book Review

Memakai Big Data untuk Membuka Tabir Perilaku Manusia

Judul : Everybody Lies

Penulis : Seth Stephens-Davidowitz

Penerbit : HarperCollins, 2017

Tebal : 357 halaman

Oleh: Edison Lestari

Tesis dasar buku ini adalah bagaimana memanfaatkan data dalam bentuk big data dan new data untuk membuka tabir perilaku manusia. Memahami perilaku konsumen dengan psikologi dan neuroscience bukannya hal yang mudah sehingga bagaimana kalau kita langsung memakai data untuk melihat perilaku manusia yang sebenarnya?

Survei University of Maryland memberikan hasil, 2% responden mengakui bahwa GPA mereka kurang dari 2,5. Faktanya, sekitar 11% memiliki GPA kurang dari 2,5.

Kenyataan dari survei itu adalah semua orang berbohong. Manusia memiliki kecenderungan memberikan kesan bagus sehingga jawaban kita dalam survei kemungkinan besar akan mengalami social desirability bias. Hal ini akan menyebabkan survei menjadi tidak reliable bila digunakan untuk memahami perilaku, pikiran, ataupun keinginan.

Kabar baiknya, big data memungkinkan kita mengorek fakta. Dengan data yang begitu besar jumlahnya, kita akan mampu menganalisis pola perilaku dan preferensi yang mungkin tidak kita sadari sebelumnya.

Sesuai dengan namanya, data dalam big data sedemikian besarnya sehingga kita tidak akan mempu menganalisisnya tanpa bantuan komputer. Data science merupakan sebuah proses yang bersifat intuitif, tetapi intuisi bukannya ilmu. Nenek penulis buku ini, berdasarkan pengalaman hidupnya yang sangat panjang, menyimpulkan di umur 88 tahun bahwa hubungan akan bertahan lama kalau pasangan tersebut memiliki mutual friend. Hal ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadinya. Kenyataannya, kesimpulan tersebut diambil dengan data point yang sangat sedikit. Faktanya, studi pada 2014 dari Lars Backstorm dan John Kleinberg menemukan bahwa pasangan yang banyak memiliki mutual friend justru lebih sering berakhir. Data memberikan kita material untuk menemukan pola dan prediksi yang tepat dibandingkan dengan pengalaman orang per orang.

Keunggulan big data adalah tidak akan pernah berbohong. Siapakah yang akan mengakui perilaku seksual yang aneh-aneh dalam survei? Untuk mengambil data mengenai hal ini, penulis buku ini berhasil mendapatkan data dari situs porno untuk mengamati perilaku pencarian kata kunci yang aneh-aneh. Fakta ini membuktikan bahwa manusia menyimpan data yang mengejutkan yang tidak ingin dia bagi dengan manusia lainnya.

Kelebihan big data lainnya adalah memungkinkan kita memilah data menjadi small data. Profesor Harvard Raj Chetty ingin membuktikan apakah American Dream memang nyata

terjadi? Untuk membuktikan hal ini, dia mengajukan pertanyaan “Apakah orang yang orang tuanya miskin akan mampu menjadi kaya di Amerika Serikat?” Dia memakai data 1 miliar data pelaporan pajak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hasilnya adalah tingkat American Dream lebih buruk daripada Denmark dan Kanada. Orang AS yang orang tuanya miskin hanya memiliki kemungkinan 7,5% untuk menjadi kaya, sementara orang Denmark 11,7% dan Kanada 13,5%.

Apakah hal itu berarti American Dream tidak nyata? Ternyata, faktanya adalah tergantung pada kota! Pada waktu Chetty men-zoom data tersebut berdasarkan kota, warga AS yang tinggal di San Jose California memiliki peluang 12,9%, sementara yang tinggal di North Carolina hanya 4,4%. Fakta ini menunjukan bahwa big data, bila dipilih dan dipilah, akan memberikan nuansa untuk menambah pemahaman kita akan dunia.

Big data juga memungkinkan kita menjalankan A/B Test. Di dunia konvensional, A/B Test harus dilakukan dengan percobaan manual. Hal ini berarti harus merekrut partisipan, melakukan survei, kemudian menganalisis hasilnya. Kampanye Barack Obama banyak memakai A/B Test untuk mengoptimalkan desain dan lay-out situs webnya guna memaksimalkan jumlah sumbangan.

Hal ini bukan berarti big data akan mampu menyelesaikan semua persoalan dengan sendirinya. Kekurangan big data adalah tidak memiliki small data. Walaupun Facebook mampu memanen data klik dan like dengan big data, Facebook tetap memakai survei biasa untuk mengukur pendapat dan pengalaman pengguna. Mereka juga mamakai psikolog dan sosiolog untuk mengukur pengalaman konsumen.

Setiap penggunaan digital kita pasti akan meninggalkan digital footprint. Di manakah batasan etis penggunaannya? Apakah Google harus langsung menghubungi polisi apabila ada yang mengetik “saya ingin bunuh diri” di mesin pencari Google? Faktanya, ada korelasi yang kuat antara aktivitas pencarian kata kunci dan aktivitas yang akan dilakukan. Riset Christine Ma-Kellams, Flora Or, Ji Hyun Baek, dan Ichiro Kawachi pada 2016 membuktikan korelasi ini secara signifikan. Dengan demikian, apakah pemerintah berhak memiliki dan menggunakan data mesin pencari ini? Apakah hal ini akan mencegah bunuh diri ataukah justru melanggar privasi?

Buku ini memberikan argumen bahwa pemerintah seharusnya memakai data tersebut secara agregat. Misalnya, untuk program pencegahan bunuh diri di daerah tertentu.

Buku ini sangat mudah dibaca dan dimengerti sebagai bacaan santai untuk memahami dunia dengan perspektif baru dengan memakai big data. Buku ini akan membuka wawasan kita bagaimana memanfaatkan data untuk mengerti perilaku konsumen yang sebenarnya.

Tidak mengherankan, buku ini juga merupakan buku New York Times Best Seller. Mengerti perilaku manusia memang tidak mudah, tetapi data akan membuka semuanya dan data tidak akan pernah berbohong.(*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved