Book Review Strategy

Membangun Magnet Merek Asia

Oleh Admin
Membangun Magnet Merek Asia

Judul : The Brutal Truth About Asian Branding:

How to Break the Vicious Cycle

Penulis : Joseph Baladi

Penerbit: John Wiley & Sons, 2011

Tebal : 280 halaman (+ Indeks)

Beberapa waktu lalu, kita menyaksikan fenomena antrean panjang calon pembeli produk iPad milik Apple di Tokyo, Kuala Lumpur, Singapura atau di kota-kota lain. Betapa para pembeli begitu antusias (untuk tidak mengatakan fanatik) rela berantre ria untuk mendapatkan produk yang mereka sukai. Sebelum toko dibuka, mereka sudah mengantre, seakan tidak sabar dan takut kehilangan momentum memperoleh kesempatan pertama.

Sementara itu, di gerai BMW, beberapa keluaran mobil yang dipakai dalam film James Bond 007 terbaru juga mengalami hal yang sama. Tidaklah mudah dan cepat untuk mendapatkan seri dan warna yang diinginkan, meskipun Anda bersedia membayar tunai. Bukan karena BMW jaim alias jaga image. Namun, permasalahannya simpel seperti fenomena iPad di atas: permintaan tidak seimbang dengan penawaran. Akhirnya, inden pun tak terelakkan. Nah, mengapa mereka mau inden mobil yang tidak murah bagi kocek orang kebanyakan?

Mengapa merek-merek di atas, yang kebetulan berasal dari Barat (Amerika Serikat dan Jerman) menjadi magnet yang begitu kuat menyedot para pembeli? Berdasarkan survei yang digelar di kota-kota besar di Asia, 8 dari 10 orang konsumen di Asia menggemari merek Barat. Survei ini tentunya disertai beberapa pengecualian untuk merek produk buatan Jepang. Merek non-Jepang hanya diwakili oleh Samsung (Korea) dan Singapore Airlines (Singapura).

Sementara mengutip hasil survei Interbrand dan Majalah Business Week, The Strait Times melaporkan bahwa merek Asia absen dalam peringkat 100 global brands dalam kurun waktu 2001-2007, nyaris tidak ada perbedaan signifikan masuknya merek Asia non-Jepang. Hanya Samsung dari Korea yang menyodok di kerumunan di peringkat 21. Singkatnya, pertarungan merek antara Barat dan Timur (negara-negara Asia khususnya) sangatlah njomplang, karena Asia hanya diwakili oleh merek-merek dari Jepang. Untuk beberapa kategori, sejumlah merek dari Korea baru mulai bisa berperan serta.

Fakta tersebut mengilhami Joseph Baladi, konsultan penasihat brand-building yang pernah tinggal di New York, Tokyo dan Singapura, serta menjadi konsultan beberapa merek perusahaan besar seperti Procter & Gamble, Mars dan Coca-Cola, menuliskan berdarah-darahnya merek Asia meskipun di kampung halamannya sendiri. Ada apa dengan merek Asia ini sesungguhnya?

Berdasarkan pengalaman Baladi membidani beberapa merek Asia ketika tinggal di Singapura, termasuk proyek membangun merek dari Pemerintah Singapura, dia menyingkap beberapa sebab utama mengapa merek Asia susah berkibar. Intinya ada tiga hal utama. Pertama, lemahnya visi merek dari para pemimpin (CEO) Asia dalam memahami merek. Menurutnya, para CEO lebih di-drive oleh uang semata, bukan passion. Sehingga, tidak jarang terjadi over-promise, under-deliver. Lebih celaka lagi, mereka acap keliru memahami strategi membangun merek. Merek dilihat semata memoles promosi lewat media. Kegagalan memahami proses membangun merek secara utuh inilah yang menyebabkan merek-merek di Asia gagal disukai oleh masyarakat Asia sendiri.

Kedua, budaya perusahaan di Asia yang cenderung aristrokrat. Perusahaan-perusahaan di Asia, meskipun sudah go public, karena kebanyakan berbasis perusahaan keluarga, CEO dan pemimpin seniornya biasanya masih punya ikatan darah keluarga (adik, keponakan, sepupu) dan menjadi penguasa sesungguhnya. Sehingga, CEO sebagai pengetuk palu setiap keputusan tidak boleh diganggu gugat. Akhasil, ide-ide segar dari bawahan sering mentah bila tidak seaspirasi dengan CEO. Baladi melihat, ide segar penguatan merek yang cerdas dari bawahan kerap teronggok jadi ide semata karena tidak disukai oleh big boss.

Ketiga, terlampau banyak praktisi merek yang tidak kapabel dan terlampau sedikit agensi periklanan yang kompeten dalam hal merek di sekitar mereka. Ini memang dilematis. Untuk menjadi praktisi merek yang andal tak bisa dicetak dengan secarik akreditasi seperti di dunia kedokteran. Ini berbicara rekam jejak yang panjang, dari A sampai Z-nya dunia permerekan. Tak heran, banyak orang yang pernah ikut sekali dua kali proyek pengembangan merek mengaku sebagai “konsultan merek senior” di Asia. Tony Fernandes, CEO AirAsia, tak kurang menyebut tingginya turnover di perusahaan agensi juga memperparah inkompetensi mereka (halaman 41-47).

Sebuah buku yang penuh kritik konstruktif untuk para pebisnis Asia, khususnya yang corak perusahaannya masih kental aroma manajemen keluarga. Peran CEO yang terlalu dominan dan kurang peka terhadap merek – Baladi menyebutnya myopic CEO leadership – perlu menerima masukan yang membangun ini. Para CEO Asia yang ingin mereknya diminati konsumen Asia, jelas perlu membaca buku ini di tengah kesibukan mereka.

Baladi juga mengritik agensi periklanan Asia untuk berbenah. Terutama, dengan banyaknya account executive yang sering berganti, yang berandil besar terhadap lemahnya perjalanan merek-merek Asia. Masih banyak diperlukan agensi dan konsultan merek andal yang mengerti pola pikir dan gaya hidup Asia. Ini penting untuk mendorong dan memekarkan merek Asia yang andal di pentas dunia. Sebagai warga Asia tentunya kita lebih tahu tentang keinginan orang Asia.

Akhirnya, buku yang dilengkapi dengan banyak bullet point penting ini memudahkan kita menguyah esensinya. Sebuah buku berisi cemoohan untuk berani menertawakan “kebodohan sendiri” agar kita mampu beringsut ke level yang lebih baik.

Donny Oktavian Syah

Konsultan di Great Management Consultant,

pengasuh Blog Manuver Bisnis


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved