Book Review

Membedah Transformasi BCA 1990–2007

Membedah Transformasi BCA 1990–2007

Judul : Game Changing, Transformasi BCA 1990-2007

Penulis : Kristin Samah

Penerbit : Gramedia, Jakarta

Cetakan : I, 2018

Tebal : xxii + 268 halaman

ISBN : 978-602-03-8118-3

A. M. Lilik Agung, Trainer Bisnis; Mitra Pengelola LA Learning, lembaga pengembangan SDM

Guru kepemimpinan John C. Maxwell berkata, “99% dari seluruh kepemimpinan bukan berasal dari puncak, melainkan dari bagian tengah organisasi.” Maxwell menyebutnya Kepemimpinan 360 Derajat. Mereka memimpin ke bawah untuk anak buahnya, ke samping bagi rekan sesama tingkat (di divisinya dan divisi lain), ke atas kepada pemimpin langsungnya. Lantaran berada di tengah organisasi, para pemimpin ini sebenarnya yang menjadi penentu keberhasilan organisasi.

Di sisi lain, transformasi organisasi memiliki rumus: transformasi dimulai dan diakhiri dari meja direksi; lebih khusus lagi, meja direktur utama. Sang CEO ini yang menjadi pusat sekaligus penentu transformasi organisasi. Menjadi menarik ketika BCA melakukan proses transformasi karena pelaku utamanya para pemimpin dari tingkat tengah organisasi. Pemimpin tertinggi memberi semacam cek kosong kepada para pemimpin tengah untuk mengisi sendiri cek kosong tersebut. Salah satu pemimpin tengah tersebut adalah Aswin Wiryadi, yang kemudian menuturkan dengan bernas proses transformasi BCA menjadi buku bertajuk utama Game Changing ini.

Ada dua pola utama ketika perusahaan memutuskan transformasi. Pertama, ketika perusahaan babak-belur; contohnya IBM yang akhirnya mendatangkan CEO dari luar, Louis Gerstner si tangan midas. Kedua, kinerja perusahaan masih bagus dan tetap menjadi salah satu penguasa pasar, tetapi jika tidak melakukan perubahan total, akan digulung persaingan; contohnya, ketika diangkat menjadi CEO General Electric pada 1980-an, Jack Welch langsung menggelorakan semangat transformasi sehingga perusahaan ini tetap menjadi salah satu perusahaan terbesar di dunia sampai hari ini.

Transformasi BCA tampaknya karena alasan kedua. Kinerja BCA sedang bagus, bahkan agresif buka cabang di mana-mana. Pada 1975 total aset BCA kurang dari Rp 1 miliar. Tahun 1980 menjadi Rp 100 miliar. Sepuluh tahun berikutnya,1990, asetnya melambung jadi Rp 7,5 triliun. BCA pun menjadi bank terbesar nomor enam di Indonesia –nomor satu sampai lima dikuasai bank pemerintah (hlm. 30).

Sukses BCA menjadi besar karena kolaborasi apik antara Soedono Salim (Om Liem) sebagai pemilik dan Mochtar Riady, profesional yang direkrut BCA. Om Liem memberi kepercayaan penuh kepada Mochtar dan Mochtar menggunakan kepercayaan itu untuk membesarkan BCA. Selama 15 tahun memimpin, Mochtar membentuk budaya perusahaan BCA yang kemudian menjadi aset utama organisasi, yaitu sikap profesional tanpa meninggalkan prinsip kekeluargaan.

Mochtar meninggalkan BCA pada 1991 dengan warisan yang belum banyak dimiliki bank lain. Kalaupun bank lain sudah memiliki, kualitas layanan dan produknya di bawah BCA. Misalnya: transfer cepat tiba keesokan hari, program kredit account payable untuk grosir dan eceran, program kredit account receivable untuk pabrikan, kredit berbagai jenis, jual-beli valas dengan harga sangat bersaing, transfer dana tanpa biaya, cek perjalanan, kartu kredit, Tahapan BCA berhadiah, letter of credit, hingga deposito berkala/fleksibel (hlm. 35).

Pemimpin tingkat tengah yang melakukan transformasi seperti diceritakan buku ini masuk BCA tepat pada saat transisi kepemimpinan Mochtar Riady. Agustus 1990, Aswin Wiryadi bersama delapan orang lain jebolan Indomobil, yaitu Andi Zahiri, Arif Budiman, Jahja Setiaatmadja, Edijanto, Barry Lesmana, Haliman Kustejo, Wiryawan, dan sekretaris Widyaningsih, masuk BCA. Andi, Arif, Jahja, dan Edijanto langsung mendapat jabatan. Sementara Barry, Haliman, Wiryawan, Widyaningsih, dan Aswin belum mendapat kejelasan jabatan akibat boyongan dari Indomobil karena terpaksa. Lima orang ini yang oleh Aswin disebut “Tim Sirkus”. Belum jelasnya pekerjaan membuat mereka banyak berdiskusi dan menganalisis model bisnis perbankan nasional ataupun multinasional. Kepada direksi, Tim Sirkus ini kemudian mengusulkan perombakan organisasi bisnis BCA berdasarkan segmentasi, yaitu korporasi, pedagang kecil-menengah, serta perseorangan atau consumer (hlm. 66).

Kinerja BCA sebagai bank yang menangani para pedagang sudah bagus. Namun ketika masuk produk tabungan yang menyasar segmen perseorangan, BCA kewalahan karena karakteristiknya berbeda. Alhasil, Aswin, Barry, dan Wiryawan diminta direksi membangun consumer banking. Tak ada penjelasan lebih lanjut bidang apa yang dikerjakan. “Pokoknya, pegang Tahapan! Gedein Tahapan supaya bisa lewat satu triliun, bagaimana caranya!” (hlm. 68). Dari titik ini transformasi BCA dimulai.

Secacara garis besar, transformasi BCA dibagi dua tahap. Tahap pertama dimulai pada 1990, saat Mochtar mundur dan Tim Sirkus mulai bekerja di BCA, hingga 1997. Tahap kedua dimulai pada 1998, ketika terjadi peristiwa politik hebat di Indonesia yang langsung menohok jantung BCA, hingga 2007, ketika Aswin pensiun dari BCA.

Tahap pertama merupakan perjuangan Tim Sirkus untuk membesarkan consumer banking. Kolaborasi bagus antara Barry Lesmana sebagai kepala suku consumer banking dan Aswin sebagai penjaga gawang teknologi informasi (TI) serta operasional membawa kesuksesan. TI di bisnis perbankan adalah nadi. Produk apa pun yang akan dikeluarkan harus mendapat dukungan penuh TI. Tanpa TI, produk akan lumpuh. Sebaliknya, TI secanggih apa pun, kalau tidak ada link dengan produk serta tidak memberi manfaat bagi nasabah, tidak ada gunanya (hlm. 153).

Ketika ATM sudah terpasang di mana-mana atau TI sudah stabil, consumer banking mulai merancang program payment system. Tahun 1995 mulai dijalankan proses ATM BCA yang selama itu hanya bisa untuk menarik uang tunai, tetapi juga dapat melakukan pembayaran tagihan. Gagasan yang melampaui zamannya pada waktu itu. Divisi consumer banking mulai bergerilya untuk mendapatkan sistem pembayaran tagihan dari Telkom, PLN, dan provider telepon seluler.

Kerjasama hebat lainnya yaitu mengajak Citibank melakukan pembayaran nasabah kartu kreditnya melalui ATM BCA. Ini memunculkan tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Dari eksternal tentu manajemen Citibank menggugat karena kerjasama payment system ini membuat nasabah kartu kredit Citibank harus membuka rekening di BCA. Melalui proses berliku, akhirnya Citibank bermitra dengan BCA. Kerjasama ini memunculkan istilah baru: coopetition. Bersaing sekaligus bekerjasama (hlm. 159).

Keberhasilan BCA itu mengundang perusahaan-perusahaan lain beramai-ramai bekerjasama. Ini membuat citra bagus bagi BCA; ATM adalah BCA, BCA adalah ATM. Ujungnya nasabah berduyun-duyun membuka rekening tabungan di BCA. Divisi consumer banking menjadi andalan baru BCA.

Transformasi tahap kedua pada 1998. Tumbangnya rezim Orde Baru menjadi peristiwa kelam bagi BCA. Apalagi, dua nama anak penguasa Orba tercantum sebagai pemegang saham BCA. Terjadi penarikan dana besar-besaran dari nasabah, plus penghancuran banyak kantor cabang BCA. Setelah 28 Mei 1998, BCA dinyatakan sebagai bank taken over. BPPN membentuk Tim Kuasa Direksi dipimpin direktur BRI, Djohan Emir Setijoso, bankir sejati yang kemudian menjadi CEO BCA (hlm. 181).

Ada dua peristiwa besar dalam proses transformasi kedua ini. Pertama, perpindahan kepemilikan saham mayoritas dari keluarga Om Liem ke konsorsium Farallon Capital dan keluarga Hartono. Kedua, setelah pergantian pemilik dan konsolidasi internal, muncul pertanyaan fundamental: BCA itu bank apa?

Transformasi pertama sukses membentuk consumer banking dengan para maestronya pemimpin tengah berjuluk Tim Sirkus, sedangkan transformasi kedua untuk menjawab “BCA itu bank apa”, kembali kepada khittah transformasi: dimulai dari meja direksi. Proses transformasi ini langsung di bawah kendali D.E. Setijoso sebagai direktur utama dengan pendampingnya Aswin Wirjadi, yang sudah menjadi direksi, bersama anggota direksi lainnya. Mereka disebut The Winning Team.

Tugas The Winning Team melakukan pelepasan saham kepada pihak ketiga, baik nasional maupun internasional. Berikutnya, memformulasikan positioning BCA. Untuk pembanding, Citibank mengibarkan diri sebagai consumer bank. JP Morgan Chase mengukuhkan diri sebagai corporate bank. Dalam diskusi tergambar bahwa selama ini BCA fokus melayani nasabah agar mudah melakukan transaksi pembayaran. Linked yang tercipta ketika BCA memasalkan ATM menjadi keunggulan yang tidak dimiliki bank lainnya. Berbasis pada fakta ini The Winning Team kemudian mengambil keputusan, BCA adalah Transaction Bank.

Konsekuensi dari posisi ini menjadikan manajemen fokus untuk mempermudah nasabah melakukan berbagai macam transaksi melalui BCA. Sejarah kemudian mencatat BCA menjadi salah satu bank paling inovatif dalam menjawab kebutuhan nasabah. Mobile banking muncul ketika telepon genggam mulai populer. Internet banking lahir ketika masyarakat mulai karib dengan internet. Itulah inovasi yang dilakukan terus oleh BCA yang dengan apik diceritakan dalam buku ini.

Hal kosong dari buku ini tak lain kiprah Abdullah Ali, salah satu Presdir BCA. Bahkan ketika Tim Sirkus menjalankan transformasi, dia yang menjadi pemimpin tertinggi BCA. Kehadirannya hanya disebut sekali sebagai pembentuk budaya perusahaan bersama Mochtar Riady (hlm. 33). Setelah itu, tiada lagi jejaknya tertulis di buku ini.

Terlepas dari kekosongan itu, buku ini menjadi salah satu pilihan utama bagi pembaca yang ingin mengetahui secara utuh proses transformasi sebuah perusahaan asli Indonesia. Bahkan, buku ini ada nilai tambahnya yang tidak ditemukan pada buku lain yang membahas transformasi perusahaan: kisah perjalanan kehidupan pribadi pelaku transformasi. Sang pelaku itu, Aswin Wirjadi. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved