Book Review

Menerawang Dunia Pascapandemi

Oleh Editor
Ten Lessons for a Post-Pandemic World

Judul : Ten Lessons for a Post-Pandemic World

Penulis : Fareed Zakaria

Penerbit : W.W. Norton & Company

Cetakan : Pertama, Oktober 2020

Tebal : xiii + 204 halaman

Fareed Zakaria, penulis buku ini, merupakan seorang jurnalis ternama Amerika Serikat (AS) kelahiran India. Karya monumental dia sebelumnya, Post-American World yang terbit pada 2008, telah dengan baik memprediksi dan menggambarkan memudarnya peran AS dalam kancah global saat ini.

Walaupun AS mencapai puncak dominasi dalam bidang politik dan militer global saat itu, perannya di bidang ekonomi, teknologi, budaya mulai dapat disusul negara-negara lain. Di pengujung 2020, Fareed menerbitkan buku baru yang hendak menerawang, bukan hanya nasib AS, tetapi lebih luas lagi, nasib dunia pascapandemi ini.

Banyak hal yang bisa dijadikan bahan pembelajaran berharga dari kondisi pandemi ini. Pembelajaran berhasil diperoleh ketika kita mampu melakukan refleksi yang tepat atas apa yang telah terjadi. Refleksi dan pembelajaran perlu dilakukan karena meskipun nantinya pandemi berakhir, dunia yang kita tempati bersama ini telah berbeda dengan sebelumnya. Banyak hal telah dan akan terus berubah, dan kita perlu banyak melakukan penyesuaian dengan berbagai hal baru ini. Perasaan dan ingatan manusia akan pandemi ini tidak akan kembali seperti semula. Kondisi ini akan memengaruhi sikap dan perilaku kita terhadap banyak hal di masa mendatang.

Untuk melawan musuh dan melindungi warganya, banyak negara sudah berhasil membangun berbagai infrastruktur dan kekuatan militer yang besar dan canggih. Namun, ternyata ancaman nyata yang muncul malah berasal dari mikroba/virus yang sangat kecil bentuknya. Ketika dunia berhasil membuat dan menciptakan banyak yang hal besar, kita diingatkan untuk juga memperhatikan hal-hal kecil.

Walaupun ukurannya sangatlah kecil, virus ini ternyata mampu mengganggu tatanan dunia dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial yang merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia sejak masa Perang Dunia II. Sesuatu yang awalnya sangat kecil dan dipandang sepele ternyata mampu mendatangkan gelombang kerusakan yang sangat besar di seluruh dunia. Banyak negara terpaksa menghentikan aktivitas sosial dan ekonomi dalam besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dunia menjadi sadar bahwa di balik segala kemajuan umat manusia yang bisa diraih, ternyata masih ada banyak kelemahan mendasar. Segala sesuatu yang telah diraih bisa dengan cepat diporak-porandakan oleh virus yang ukurannya sangat kecil. Dengan segala kemajuannya, dunia ternyata sangat rentan, bisa hancur karena virus yang sangat kecil.

Namun di sisi lain, kerakusan manusia tidak berkurang. Umat manusia semakin memiliki harapan hidup yang lebih lama, memproduksi dan mengonsumsi segala sesuatu yang lebih banyak, menghuni tempat yang lebih besar, mengonsumsi energi yang lebih banyak, dan akhirnya menghasilkan sampah dan hal-hal yang tidak berguna lainnya dalam jumlah yang sangat besar pula. Ini membuat masalah yang dihadapi menjadi semakin besar dan kompleks. Dan, tidak ada satu pun negara, seberapa kuatnya negara itu, yang mampu mengatasi masalah yang sudah besar, kompleks, dan saling terkait ini sendirian.

Bencana mengajarkan pada kita untuk selalu waspada dan responsif. Semua akan terlena ketika semua hal yang terjadi dianggap merupakan hal yang bersifat rutin saja. Sebagai contoh, pada Oktober 2019, hanya beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, John Hopkin University meluncurkan Global Health Security Index, yang menunjukkan seberapa bagus suatu negara dalam mempersiapkan dan menangani epidemi atau pandemi yang mungkin terjadi.

Dalam indeks tersebut, AS ditempatkan dalam posisi tertinggi di antara negara-negara di dunia karena memiliki banyak perusahaan farmasi terbaik, laboratorium riset terbaik, dan institusi kesehatan yang paling unggul. Namun, ternyata pada Maret 2020, hanya beberapa bulan kemudian, terbukti AS tidak mampu mempersiapkan diri dan mengatasi pandemi yang melanda. Segala keunggulan yang dimilikinya seakan menjadi tidak berguna, bahkan menjadi salah satu negara terburuk dalam menangani pandemi jika dilihat dari jumlah orang yang terinfeksi dan korban yang meninggal akibat Covid-19 ini.

Pemerintah AS seakan tidak berdaya menghadapi hal ini. Pendapat ahli sering dikesampingkan, kalah dengan berbagai pertimbangan politis. Kebetulan AS memasuki periode pemilihan umum ketika pandemi terjadi. Keputusan yang diambil acapkali lebih bernuansa politis daripada didasarkan pada pendapat ahli yang semestinya menangani hal itu. Beberapa kali terlihat perbedaan pendapat secara terbuka antara Presiden Donald Trump dengan Dr. Anthony Fauci, ahli epidemiologi ternama di negara tersebut.

Pandemi kali ini juga semakin memperkuat pendapat bahwa pandangan politik lebih kuat memengaruhi diri seseorang daripada pendapat ahli dalam menangani Covid-19 ini. Perilaku, sikap, dan preferensi lebih ditentukan oleh pandangan politik daripada berbagai hal lain.

Terlihat di AS, bagaimana berbedanya pendukung Donald Trump dan Joe Biden dalam menyikapi pandemi ini. Misalnya, dalam menyikapi penggunaan masker, orang terbelah oleh pandangan politik, bukan oleh pendapat ilmiah atau ahli dalam hal ini. Secara umum pendukung Trump lebih meremehkan penggunaan masker dibandingkan pendukung Biden. Tidak mengherankan, pendukung Biden waktu itu lebih banyak menggunakan jasa kantor pos daripada datang langsung ke tempat pemilihan ketika pemilihan umum digelar.

Hal itu membuat masyarakat tidak mudah untuk belajar dan bertindak secara bersama-sama dalam menghadapi masalah besar yang terjadi, karena pikiran dan sikap masyarakat sudah sedemikian terbelah oleh pandangan politik yang berbeda. Polarisasi yang terjadi sudah sangat mendalam sehingga mempersulit penanganan pandemi secara lebih cepat dan efektif. Kerjasama yang dibutuhkan dikalahkan oleh adanya saling kecurigaan antarpihak.

Dalam menghadapi pandemi ini, optimisme harus tetap dipelihara. Pandemi yang kita alami bersama saat ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Di masa lampau umat manusia telah beberapa kali melewati masa pandemi dengan korban yang sangat besar. Namun biasanya setelah melewati masa pandemi yang menakutkan, kemudian muncullah ilmu, kemajuan, dan pertumbuhan yang membuat kondisi dunia menjadi lebih baik dibandingkan masa sebelumnya.

Ketika pandemi flu spanyol melanda dunia pada 1919, jumlah korban di dunia diperkirakan mencapai 50 juta orang dan jumlah korban di AS sendiri mencapai 700 ribu orang. Namun setelah pandemi berlalu, AS mampu menjadi pemimpin dunia dalam segala hal. Mampu bangkit dan berkembang dengan sangat cepat, menjadi lebih baik daripada masa sebelumnya.

Secara umum, manusia pun tidak bisa diisolasi di rumahnya sendiri dalam waktu lama. Ada waktunya mereka akan mulai berkelana ke seluruh penjuru dunia lagi, apalagi jika program vaksinasi global berhasil dijalankan. Kita lihat peristiwa 9/11 yang sempat melemahkan industri penerbangan pada tahun 2000. Namun kemudian, dari 2001 hingga 2018, jumlah penumpang penerbangan dunia telah meningkat drastis, dari 1,7 miliar penumpang menjadi 4,2 milar penumpang per tahun. Pergerakan manusia ternyata tidak bisa dihentikan.

Secara khusus, dalam buku ini, Fareed Zakaria mengharapkan peran besar AS dalam mengatasi pandemi ini, sama seperti ketika di masa lampau mampu membantu memulihkan ekonomi Eropa dan Jepang yang terpuruk oleh PD II. Inisiatif kepemimpinan harus dimulai dari negara besar yang memiliki sumber daya yang lebih besar.

Namun, saat ini sepertinya AS malah mengambil arah yang sebaliknya. Lebih sibuk mengurusi masalah domestik, dan mengabaikan peran besar kesejarahannya dalam kancah global. Tidak mampu mengambil inisiatif atau melakukan koordinasi tingkat global untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Di dunia yang semakin memiliki ketergantungan yang tinggi ini, AS malah hanya mengurusi diri sendiri. Kurang memiliki inisiatif dan kepemimpinan global yang sangat dibutuhkan saat ini.

Kita bisa memilih menjadikan pandemi ini untuk melihat ke dalam negeri dan memperkuat nasionalisme, atau melihat pandemi sebagai peluang untuk mulai melakukan berbagai tindakan dan kerjasama dalam skala global. Kerjasama yang lebih baik diperlukan untuk memecahkan masalah yang tidak mengenal sekat batas antarnegara ini.

Pandemi ini seharusnya memunculkan peluang untuk membuka, membangun, dan memperkuat kerjasama antarbangsa yang semakin baik di masa mendatang. Ini menjadi peluang baru bagi umat manusia untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Eko Widodo*) Peresensi adalah Dosen Magister Administrasi Bisnis Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved