Book Review

Menjadi Terbuka itu Gampang

Menjadi Terbuka itu Gampang

Judul : Open Leadership: How Social Technology Can Transform the Way You Lead

Penulis : Charlene Li

Penerbit: Jossey-Bass, 2010

Tebal : 334 halaman, termasuk Indeks

Beberapa hari setelah bencana topan Katrina, muncul banyak pertanyaan warga seputar peran pemerintah. Mengapa negara tidak mempersiapkan segala sesuatunya? Bukankah bencana itu sudah diprediksi bakal terjadi? Di tengah-tengah pusaran ini, Palang Merah Amerika (PMA) menghadapi banyak kritik tajam seputar upaya tanggap darurat yang dilakukannya.

Para eksekutif PMA pun khawatir, para pengkritiknya di blog, forum diskusi Internet dan situs jaringan sosial bisa menghancurkan reputasi salah satu organisasi negara yang paling dihormati itu. Untuk menghadapi situasi tersebut, Tim Pelaksana PMA memutuskan lebih transparan tentang pekerjaan yang dilakukannya.

November 2006, PMA menyewa Wendy Harman sebagai manajer media sosial. “Saya dipekerjakan sebagian karena para pemimpin tahu bahwa orang-orang mengatakan hal-hal yang benar-benar buruk tentang PMA dalam merespons bencana Katrina,” ujar Harman, “dan mereka ingin ada seseorang yang bisa berbuat sesuatu untuk menghentikan semua itu.”

Yang pertama dilakukan adalah masuk ke situs media sosial untuk “mendengarkan” suara-suara tentang PMA. Setelah mempelajari “suara-suara” yang muncul di media sosial, Harman menemukan sesuatu yang positif. Ternyata, di tengah hujatan dan kritik yang dilakukan sebagian orang, masih ada sebagian orang lainnya yang memiliki persepsi dan semangat positif terhadap organisasi, ingin dilibatkan dalam kegiatan Palang Merah, dan bersedia memberi bantuan bencana sehingga berlangsung secara efektif.

Sejak itu, Harman menggunakan media sosial untuk menjaring dan menyebarkan

informasi. Dia masuk ke Facebook, Twitter, Flicker, dan media sosial lainnya. Langkah ini kemudian diikuti oleh cabang-cabang PMA di daerah. Perkembangan ini membuat Harman khawatir karena PMA memiliki lebih dari 700 mitra lokal dan wilayah sehingga kesan tidak terorganisasi besar kemungkinan terjadi.

Harman khawatir, mereka nanti tidak konsisten saat berinteraksi dengan online Palang Merah. Betapa tidak, beberapa mitra yang masuk ke media sosial bebas menamakan dirinya. “Kami memiliki banyak orang dengan sebutan masing-masing menurut keinginan mereka. Ada yang menamakan diri mereka Clara Barton, pendiri Palang Merah, atau nama lainnya.” Karena itu, dia pun menyusun semacam buku yang berisi tentang pedoman, prosedur, dan cara-cara terbaik tentang bagaimana Palang Merah daerah menggunakan media sosial. Dia lalu memublikasikannya secara online sehingga siapa saja bisa membacanya.

Responsnya luar biasa. PMA daerah mulai membuat blog, memiliki akun Facebook dan Twitter. Namun yang lebih penting lagi, semua pihak yang terlibat di Palang Merah – pegawai, penanggap darurat dan bahkan donor darah — menyatakan kesediaannya menjadi relawan PMA. Karena itu, ketika PMA memperingatkan akan adanya bencana, tanggapan-tanggapan khas seperti ”Tas sudah saya kemasi dan saya siap pergi” muncul dengan cepat. Pesan itu kemudian mendapat komentar dari teman-teman calon relawan tadi sehingga makin memperbanyak calon relawan baru. Hasil lain dari keterbukaan itu adalah makin banyaknya orang atau lembaga yang bersedia menyumbang PMA. Salah satunya adalah peritel Target yang secara sukarela menggalang dana untuk PMA.

Yang menarik tentang cerita ini adalah bahwa PMA terlibat di media sosial karena menyadari bahwa lebih baik terbuka dan terlibat dengan dekat serta melibatkan semua orang dalam kegiatan PMA. Usaha itu memang membutuhkan ketekunan. Harman harus membuat semacam panduan bagaimana setiap orang harus dan tidak harus bersikap.

Kini Harman banyak mendapat dukungan baik dari dalam dan dari luar. Dampak dari dukungan tersebut kelihatan saat PMA memobilisasi bantuan melalui Facebook, Twitter serta aktivitas mobile lainnya, dan berhasil mengumpulkan dana US$ 10 juta dalam tiga hari. Ia juga memanfaatkan media sosial tersebut untuk mempertanggungjawabkan dana yang terkumpul melalui informasi, tanya jawab tentang penggunaan dana dan bentuk pertangungjawaban lainnya melalui media sosial.

Open leadeship, menurut sang penulis Charlene Li, adalah tentang bagaimana para pemimpin harus melakukan sesuatu hingga berhasil. Li adalah co-author buku laris Groundswell. Melalui buku ini, Li menunjukkan “penguasaan”-nya tentang kekuatan media sosial dan dampaknya bagi organiasi atau perusahaan. Dalam kasus PMA tadi, misalnya, Li seakan-akan menggambarkan bahwa sebuah organisasi bisa hancur saat berhadapan dengan pelanggan, karyawan dan mitra yang telah diberdayakan oleh alat-alat baru yang hampir tak pernah terbayangkan 15 tahun lalu. Di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa transparansi dapat membawa manfaat yang besar kepada organisasi mereka

Di masa lalu, para pemimpin organisasi memiliki kemewahan dan berlindung di ruang suite eksekutif mereka. Mereka membuka diri hanya ketika mereka merasa perlu. Namun, saat ini mereka tidak bisa lagi semewah itu. Perkembangan teknologi informasi membuat informasi tentang perusahaan memiliki peluang besar untuk bocor. Begitu keluar, dalam hitungan detik, informasi tersebut menyebar ke mana-mana.

Semua stakeholder — dari karyawan hingga pelanggan — merasa berhak memberikan pendapat mereka dan marah ketika ide-ide mereka tidak dilaksanakan. Melalui media sosial, mereka bisa menyuarakannya dengan mudah, cepat dan murah. Ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa mereka sejatinya sedang menulis ulang aturan-aturan dasar kepegawaian seperti hubungan kerja. Tantangan bagi perusahaan adalah mendefinisikan kembali bagaimana hubungan tersebut harus dijalankan. Sama seperti Palang Merah yang harus mengeluarkan aturan baru untuk keterlibatan sosial. Organisasi dan pemimpinnya perlu mengeluarkan komitmen yang mereka harapkan dari hubungan baru tersebut.

Hal yang penting bagi perusahaan adalah sebaiknya mereka tidak masuk ke new open relationship ini tanpa pedoman. Buku ini menunjukkan langkah demi langkah, dengan studi kasus dan contoh-contoh dari berbagai industri dan negara-negara, bagaimana membawa ke keterbukaan baru hubungan Anda, baik di dalam maupun di luar organisasi.

Buku ini menguraikan bagaimana organisasi dan para pemimpin mereka dapat bersikap terbuka dalam menghadapi adopsi teknologi sosial. Melalui buku ini, Li menunjukkan kepada pembaca tentang bagaimana menggunakan teknologi-teknologi baru — Twitter, YouTube, Yammer, Jive, layanan mobile baru, dan banyak lagi media sosial baru, untuk meningkatkan efisiensi, komunikasi, dan pengambilan keputusan, baik untuk diri mereka sendiri maupun organisasi mereka.

Li membagi buku ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama yang terdiri atas dua bab memberikan gambaran tentang apa artinya terbuka. Bab Satu menunjukkan mengapa keterbukaan tidak bisa dihindari dalam menghadapi perkembangan teknologi sosial. Li lalu memaparkan dampak konsumen yang telah diberdayakan di perusahaan seperti United Airlines, dan masuk ke detail tentang bagaimana Barrack Obama mampu mengelola jutaan relawan dalam kampanye presiden.

Di Bab Dua, Li mendefinisikan arti terbuka, dengan studi kasus dari perusahaan yang beragam seperti Mullen Communications dan Facebook, Yum! Brand dan Cisco. Dari kasus-kasus tersebut, ia merumuskan 10 unsur keterbukaan mulai dari explaining yang merupakan bagian dari information sharing hingga demokratisasi dalam pengambilan keputusan.

Pada akhir Bab Dua, Li mengajak Anda bersimulasi seputar keterbukaan untuk memahami di mana posisi Anda, apakah Anda hari ini sudah terbuka atau belum. Poin awalnya adalah menentukan tujuan menjadi terbuka. Di bagian ini, Li menunjukkan contoh salah satu perusahaan yang dinilai gagal dalam menentukan tujuan sehingga justru malah merusak perusahaan itu karena ketiadaan koherensi antarkegiatan.

Kesimpulan dari bagian kedua buku ini adalah bahwa dalam lingkungan yang berubah seperti sekarang, perusahaan tidak cukup memiliki strategi koheren. Perusahaan memerlukan pemimpin yang terbuka untuk melaksanakannya. Kepemimpinan memerlukan pendekatan baru, pola pikir baru, dan keterampilan baru. Tidaklah cukup menjadi komunikator yang baik. Seorang pemimpin harus merasa nyaman saat dia berbagi dan membangun hubungan lebih dekat. Komentar online yang negatif tidak bisa dihindari atau diabaikan. Sebaliknya, seorang pemimpin harus datang untuk merangkul setiap keterbukaan. Ini berarti pertemuan diaktifkan sebagai kesempatan untuk belajar.

Bab terakhir buku ini menguji bagaimana seorang pemimpin mentransformasikan dirinya menjadi lebih terbuka. Transformasi itu dilakukan bukan karena dorongan keyakinan akan sesuatu yang ideal, melainkan karena kebutuhan ekonomi dan pasar. Organisasi seperti Procter & Gamble dan State Bank of India memiliki budaya yang dalam beberapa kasus telah dikembangkan menjadi sebuah kredo organisasi. Jika Anda seorang pemimpin yang menghadapi tantangan organisasi dan manajerial menakutkan, Li berharap Anda mengambil inspirasi dari studi kasus ini guna menemukan cara bagaimana Anda bisa membalik organisasi Anda.

Akhirnya, menurut Li, menjadi terbuka memang sulit. Namun jika Anda dapat memahami tidak hanya manfaat, tetapi juga prosesnya, itu bisa menjadi jauh lebih mudah. Anda mungkin berada di posisi memimpin — entah sebagai manajer atau CEO — dari sebuah bisnis yang mencoba menggunakan teknologi sosial untuk memperkenalkan produk baru atau untuk melawan sebuah serangan balik pelanggan. Anda mungkin menjadi manajer SDM atau perumus strategi perusahaan yang ingin mendapatkan ide dari tenaga kerja Anda. Atau, Anda mungkin pemimpin organisasi sosial yang mencoba menggerakkan relawan yang kini lesu, atau administrator sekolah yang bekerja dengan orang tua vokal yang gelisah untuk perubahan? “Buku ini akan memberikan bimbingan dan dukungan saat Anda memulai perjalanan Anda ke dalam dunia baru keterbukaan itu. Bon voyage!” kata Li.

*) Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah Mix-Marcom dan Dosen Stikom LSPR Jakarta.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved