Book Review

Selamat Datang di Era Kecerdasan Buatan

Selamat Datang di Era Kecerdasan Buatan

Judul : Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence

Pengarang : Max Tegmark

Penerbit : Alfred A. Knopf

Cetakan : Pertama, September, 2017

Tebal : xii + 364 halaman

Oleh: Eko Widodo, Dosen Magister Administrasi Bisnis Unika Atma Jaya, Jakarta

Buku ini bercerita tentang masa depan kita bersama. Masa depan umat manusia yang berinteraksi, tumbuh, dan berkembang bersama dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau yang lebih dikenal dengan sebutan AI. Lebih spesifik lagi, membahas arti kemunculan teknologi AI ini bagi eksistensi umat manusia di masa depan. Pertanyaan besar yang diajukan dalam buku ini adalah mampukah kita tetap dapat mempertahankan sisi kemanusiaan kita ketika berhadapan dengan teknologi yang memiliki potensi untuk dapat menggantikan peran manusia di masa depan.

Sejak awal, seluruh spesies memiliki naluri untuk selalu bersaing agar mereka dapat terus bertahan hidup dan tumbuh berkembang dengan tujuan agar kehidupannya lestari. Tidak terkecuali umat manusia. Namun pada masa sekarang ini, manusia memiliki pesaing baru, yaitu mesin ciptaannya sendiri yang semakin canggih dan sempurna. Kecanggihannya bahkan pada suatu saat diperkirakan bisa menyamai atau bahkan melebihi segala kemampuan yang dimiliki manusia. Pengembangan mesin pintar ini berpusat pada teknologi AI yang dipandang sebagai dasar perkembangan teknologi di masa mendatang. AI merupakan perkembangan tahap berikutnya dari perkembangan teknologi yang telah terjadi dengan sangat cepat di dunia. Mengingat tingkat kecanggihannya, kecerdasan buatan ini akan dapat memberi dampak yang lebih besar dan luas daripada berbagai teknologi yang telah ada di masa sebelumnya.

Judul buku ini adalah Life 3.0, yang masih merupakan terminologi baru di era teknologi saat ini. Sejak awal kehidupan, secara garis besar, kehidupan yang berlangsung di dunia ini terbagi dalam tiga tahapan besar, yaitu tahap evolusi biologis (life 1.0), evolusi budaya (life 2.0), serta evolusi teknologi (life 3.0).

Pada tahap evolusi biologis, bentuk kehidupannya masih sederhana. Misalnya, mikroba yang tidak mampu mengubah hardware ataupun software yang dimilikinya sepanjang hidupnya. Hardware (bentuk fisik) dan software (perilaku) ditentukan sejak awal oleh DNA yang dimilikinya dan hanya mampu berubah lewat proses evolusi yang berlangsung selama bergenerasi-generasi. Bentuk dan perilaku kehidupan awal ini relatif statis, tidak mampu melakukan respons yang berarti terhadap terjadinya perubahan lingkungan.

Tahap berikutnya, evolusi budaya, kehidupan mulai dapat merancang ulang software-nya. Contoh, walaupun bentuk fisik manusia tak berubah sejak zaman dulu, perilaku dan budayanya selalu berubah sesuai dengan keinginan dan perubahan lingkungan. Untuk menghadapi perubahan lingkungan, manusia dapat mempelajari berbagai keahlian baru yang cukup kompleks seperti bahasa, olah raga, dan profesi. Mereka juga dapat selalu memperbarui berbagai pandangan dan tujuan hidupnya setiap waktu.

Setelah itu, manusia memasuki tahap kehidupan yang berdasar pada evolusi teknologi yang saat ini masih berada pada tahap yang sangat awal. Yakni, bentuk kehidupannya belum sepenuhnya ada di muka bumi ini, tetapi kecenderungannya sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit. Pada tahap ini, kehidupan berlangsung lebih dramatis; manusia mampu merancang ulang software ataupun hardware-nya. Bentuk fisik dan perilaku manusia dapat diubah sesuai dengan kehendaknya dan tak perlu menunggu proses evolusi yang berlangsung sangat lama seperti pada tahap life 1.0.

Inti seluruh perkembangan teknologi di sini adalah masalah fleksibilitas dan adaptabilitas. Jika terjadi perubahan di lingkungannya, life 1.0 hanya dapat melakukan adaptasi melalui evolusi selama bergenerasi-generasi agar kehidupan yang dijalaninya dapat sesuai dengan perubahan lingkungan. Life 2.0 dapat beradaptasi lebih cepat terhadap perubahan lingkungan dengan mengubah perilakunya atau menciptakan alat dan teknologi yang membuatnya mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan. Kemampuan ini mengakibatkan manusia mampu mendominasi bumi dibandingkan spesies yang lain, tetapi kemampuan ini masih dibatasi bentuk fisiknya yang tidak begitu mudah berubah. Di masa depan, pada bentuk kehidupan life 3.0, untuk menghadapi perubahan lingkungan, bukan hanya perilaku manusia, tetapi bentuk fisiknya juga dapat turut berubah untuk menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap tuntutan perubahan lingkungan. Teknologi akan mampu mengubah atau menyempurnakan bentuk fisik manusia agar lebih mampu menghadapi tantangan perubahan lingkungan.

Bertahun-tahun terjadi perdebatan sengit atas munculnya teknologi kecerdasan buatan umum (artificial general intelligence/AGI), yakni kecerdasan dasar yang ditunjukkan kemampuan pemiliknya mengambil keputusan sendiri atas situasi yang dihadapi; di dalamnya termasuk kemampuan untuk belajar (learning). Kubu pendukung – dikenal sebagai kelompok digital utopianism – berpendapat, kehidupan digital adalah hal alami (natural) yang dialami manusia sebagai bagian dari proses evolusinya; karena itu, ide-ide kehidupan digital perlu dibiarkan berkembang bebas dan tak perlu menghentikannya karena pada dasarnya akan menuju pada kebaikan umat manusia di masa mendatang. Kubu yang pesimistis – dikenal sebagai kelompok techno-skeptics – berpendapat, kemampuan manusia sangat unik dan tak bisa digantikan makhluk lain maupun teknologi ciptaannya. Jikapun mungkin, hal itu akan terjadi dalam waktu yang sangat lama; karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang hal ini.

Adapun kelompok ketiga beranggapan bahwa kemungkinan kemunculan AGI merupakan sesuatu yang mungkin, bahkan bisa terjadi dalam waktu dekat ini. Seperti halnya bentuk teknologi yang lain, teknologi ini laksana pedang bermata dua yang bisa membawa kebaikan ataupun kehancuran umat manusia. Karena itu, perkembangan teknologi ini perlu diwaspadai dan dicermati.

Dari seluruh sejarah evolusi, hal mengagumkan dalam 13,8 miliar tahun terakhir sejak terciptanya alam semesta yakni adanya benda mati yang awalnya tidak memiliki jiwa atau pikiran menjadi benda hidup; dan benda itu akhirnya memiliki kecerdasan. Manusia memiliki kecerdasan karena mampu mewujudkan berbagai tujuan yang telah ditetapkannya. Beberapa binatang yang cerdas juga mampu mewujudkan tujuannya, tetapi dalam skala terbatas. Dalam hal ini, kedudukan manusia berada pada tingkatan paling unggul.

Melihat perkembangan saat ini, bukan mustahil kelak kemampuan berpikir mesin mampu menyamai kemampuan manusia. Saat ini AI memang masih memiliki kelemahan dalam menetapkan tujuan sendiri, intuisi, kreativitas, dan bahasa yang hingga saat ini masih dikuasai manusia semata. Namun, melihat perkembangan dalam teknologi kedokteran, beberapa robot yang saat ini berpotensi melakukan operasi pembedahan yang lebih akurat dan lebih dapat diandalkan daripada dokter bedah, keunggulan teknologi AI untuk menyamai kemampuan manusia tinggal menunggu waktu saja. Alan Turing, perintis teknologi komputer pada1951 pernah mengingatkan, jika suatu ketika mesin dapat berpikir, mesin itu mungkin akan lebih cerdas daripada manusia. Kalau hal itu terjadi, di manakah kedudukan atau eksistensi kita sebagai umat manusia?

Segala hal yang kita cintai tentang peradaban adalah produk dari kehadiran kecerdasan manusia. Jika hal itu bisa ditingkatkan lagi dengan bantuan kecerdasan buatan, kehidupan manusia berpotensi menjadi lebih baik. Sepanjang sejarah manusia, kita selalu berusaha agar teknologi yang kita hasilkan membawa keuntungan bagi kita bersama. Harus ada yang memonitor dan mengendalikan perkembangan teknologi ini agar tidak membawa kehancuran. Teknologi di masa depan harus mampu meningkatkan efisiensi, akurasi, kenyamanan, dan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi daripada teknologi sebelumnya.

Perkembangan teknologi telah menentukan arah perkembangan manusia sejak zaman dulu. Teknologi bisa membangun dan menghancurkan. Pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang unik, satu-satunya makhluk yang lebih unggul dibandingkan yang lain, makin lama makin tergerus. Saran penulis buku ini, kita perlu mulai berpikir untuk menempatkan manusia selaku makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir cerdas (homo sapience) menjadi makhluk yang memiliki kemampuan mendengar lingkungan sekitar (homo sentience). Ini karena dunia selalu berubah dan bukan hal mustahil bahwa yang terjadi di sekeliling kita kelak menjadi lebih cerdas daripada diri kita sendiri. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved