Trends

5 Tren Digital yang Diprediksi Semakin Marak di 2022

5 Tren Digital yang Diprediksi Semakin Marak di 2022

Penggunaan teknologi komunikasi dan Internet of Things (IoT) telah menjadi jantung bagi aktivitas sebagian besar manusia pada saat ini. Jika tahun 2020 di mana pandemi Covid-19 merebak di penjuru dunia dan menjadi momen awal perubahan banyak sektor going digital, tahun 2021 lalu banyak lini semakin mahir beradaptasi.

Laporan terbaru e-Conomy SEA 2021 yang dikeluarkan oleh Google, Bain & Company menyebutkan nilai ekonomi digital Indonesia meroket 49% year-on-year menjadi $70 miliar pada tahun 2021.

Menatap 2022 yang masih berjalan di Q1, Nahason Jurun, Digital Marketer yang aktif memberikan private training digital, membagikan beberapa tren di dunia digital yang diprediksi akan banyak dilakukan untuk berbagai sektor bisnis.

Pertama, video berdurasi singkat. Penggunaan Facebook, Instagram dan Tiktok untuk memberikan konten video berdurasi pendek dinilai akan semakin banyak dilakukan dan dimaksimalkan untuk membuat iklan. Berkat semakin populernya konten video berdurasi pendek, Instagram dan Tiktok kemungkinan akan mengalami peningkatan belanja iklan pada tahun 2022 dan Instagram akan terus tumbuh melampaui 50% bagi hasil iklannya.

Maka tidak heran jika melihat Youtube juga mengembangkan fitur video verikal yang fiturnya kurang lebih sama dengan Facebook Story, Instagram Story dan Tiktok. Nahason mengatakan, banyak brand dan bisnis yang akan fokus pada konten yang berkualitas, terutama konten video berdurasi pendek.

“Hadirnya fitur Instagram Reels yang sedikit banyak mirip dengan TikTok akan semakin digunakan untuk menarik atensi market,” terang mantan Head of Digital Marketing Erajaya ini dalam keterangan resmi yang diterima SWA, Selasa (08/03/2022). Lebih lanjut ia memaparkan lewat video berdurasi pendek brand harus pintar-pintar meraih perhatian pasar dalam waktu sekian detik.

Kedua, Metaverse & Augmented Reality. Facebook yang mengubah nama menjadi Meta pada Oktober 2021 diyakini menjadi awal dari semakin populernya Metaverse. Sederhananya dengan metaverse kita bisa memiliki ruang bersama virtual yang dapat diakses melalui headset VR, kacamata AR, atau aplikasi smartphone. Pengguna dapat berinteraksi, bersosialisasi, menjelajahi, dan membuat konten di lingkungan virtual, dan memonetisasi transaksi virtual mereka menggunakan teknologi blockchain dan cryptocurrency.

“Keberadaan dan penggunaan metaverse juga harus didukung dari infrastruktur terutama kecepatan dan kestabilan internet,” ujar Nahason. Ia juga menegaskan pentingnya pemerataan akses internet dan peningkatan keamanan data pribadi oleh stakeholder terkait sebagai hal yang esensial. Nahason juga menambahkan jangan sampai kita terjebak pada “keren-kerenan” istilah namun minim perubahan dari sisi infrastruktur.

Ketiga, cryptocurrency & NFT. Melansir data DappRadar menunjukkan pada kuartal III 2021, penjualan uang Crypto & NFT (Non Fungible Token) mencapai 10,7 miliar dolar AS atau berkisar Rp152 triliun di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri tren Crypto dan NFT baru-baru ini mulai menjamur. Terlebih semenjak Ghozali yang “mendadak” miliarder karena menjual foto selfienya.

“Jika ingin terjun dalam dunia Crypto dan NFT, bekali dahulu dengan riset informasi yang dalam dan tidak setengah-setengah,” sarannya. Apa yang pernah dilakukan Ghozali Everyday, ia pun melihat adanya proses kreatif dan konsistensi yang sulit untuk direplikasi.

Melihat situs Open Sea yang pada beberapa waktu lalu digunakan untuk menjual foto e-ktp dan gambar yang berbau asusila, Nahason pun menekankan pentingnya pemahaman, wawasan dan proses kreatif yang unik untuk menghasilkan karya yang berkualitas.

Keempat, lowongan pekerjaan baru terkait AI. Menurut data World Economic Forum, pada 2022, akan muncul sebanyak 27% posisi-posisi baru dari lowongan kerja perusahaan besar. Sementara posisi yang ketinggalan zaman secara teknologi akan menurun dari turun 10% dari 31% menjadi 21%.

Pergeseran pembagian kerja antara manusia, komputer, dan algoritma berpotensi menghilangkan 75 juta lowongan kerja saat ini sekaligus menghasilkan 133 juta lowongan baru. Posisi seperti analis data, software engineer, digital marketer, spesialis e-commerce, dan spesialis media sosial akan sangat diminati.

“Hal tersebut adalah efek domino dari penggunaan teknologi digital yang kian marak sehingga membutuhkan tenaga ahli profesional untuk merancang aplikasi dan memasarkannya,” jelasnya.

Kelima, pola kerja hibrida. Berkembangnya teknologi Wifi 6 dan 5G, cara kerja hibrida diprediksi akan menjadi pilihan untuk menghemat operasional. Penelitian terkini dari Cisco menunjukkan bahwa 77% organisasi besar diprediksi akan meningkatkan fleksibilitas kerja.

Nahason mengemukakan, cara kerja hybrid yang umum diterapkan oleh perusahaan adalah dengan menetapkan hari-hari tertentu untuk masuk kantor. Misalnya, untuk rapat, kolaborasi antar tim, kegiatan brainstorming dan mentoring hingga kegiatan pengembangan diri.

“Ini pertanda yang sangat baik karena semakin banyak perusahaan yang menerapkan mindset kerja yang berorientasi pada hasil bukan pada hal-hal tidak penting,” tuturnya.

Lebih jauh lagi beberapa negara maju seperti Belgia, Jepang, Islandia dan Skotlandia berani melakukan ujicoba kerja 4 hari dalam satu minggu. Menurut Nahason, akan semakin banyak perusahaan yang melakukan perubahan dalam penerapan sistem kerja yang efektif dan menekankan hasil yang inovatif. Salah satunya berkat penggunaan teknologi dan kecerdasaran buatan yang membantu proses kerja manusia.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved