Technology Trends

Acronis: Pelaku Kejahatan Siber Manfaatkan Situasi Pandemi

Ilustrasi cyber security. (sumber foto: Gulf Business)

Pandemi COVID-19 membuktikan bahwa saat seseorang takut akan mudah dieksploitasi. Menanggapi peningkatan aktivitas tindak kejahatan siber di seluruh dunia, survei global tahunan Acronis membeberkan kerentanan utama yang dialami oleh perusahaan maupun individu.

Acronis, perusahaan security dan perlindungan siber yang berpusat di Singapura membuka World Cyber Protection Week perdananya dengan mengungkapkan bahwa 42% perusahaan mengalami insiden kehilangan data akibat downtime tahun lalu. Angka yang tinggi tersebut kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa meski 90% perusahaan mencadangkan komponen TI yang harus mereka lindungi, namun hanya 41% yang mencadangkannya secara daily. Hal ini menyebabkan banyak bisnis kehilangan data yang diperlukan pada saat pemulihan (recovery).

Angka yang diungkap dalam acara World Cyber Protection Week Survey 2020 dari Acronis menggambarkan realita baru yang menunjukkan bahwa strategi dan solusi perlindungan data tradisional tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan TI modern individu maupun perusahaan. Survei tahunan yang dilakukan kepada hampir 3.000 orang ini mengukur kebiasaan perlindungan data oleh pengguna di seluruh dunia.

Ditemukan bahwa 91% individu mencadangkan data dan perangkat mereka, tetapi 68% masih kehilangan data akibat terhapus tidak sengaja, kegagalan perangkat keras atau lunak, atau cadangan yang tidak di-update. Kemudian 85% perusahaan tidak mencadangkan data secara daily, hanya 15% yang melakukan secara daily. Lalu 26% mencadangkan secara daily, 28% mendacangkan setiap minggu, 20% mencadangkan setiap bulan, dan 10% tidak mencadangkan sama sekali. Dari semua yang tidak mencadangkan, hampir 50% beranggapan bahwa pencadangan tidak penting; sementara 42% perusahaan kehilangan data sebagai akibat dari downtime. Hanya 17% pengguna personal dan 20% profesional TI mengikuti praktik menggunakan pencadangan hibrida di media lokal dan cloud.

Meningkatnya penipuan siber terkait dengan meningkatnya virus COVID-19 yang terdeteksi di Asia dalam 2 minggu terakhir, di Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan, dan banyak lagi. Sementara itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang terpapar. Pelaku cyber crime memanfaatkan ketakutan dan kekacauan yang disebabkan oleh pandemi global ini.

“Dengan meningkatkan serangan siber, pencadangan tradisional menjadi target para pelaku kejahatan siber dimana pencadangan ini tidak lagi cukup untuk melindungi data, aplikasi, dan sistem” ujar Refany Iskandar , Managing Director PT Optima Solusindo Informatika. Survei menunjukkan bahwa hanya mengandalkan pencadangan untuk keberlanjutan bisnis seutuhnya sangatlah berbahaya.

Sebanyak 88% profesional TI mengutamakan ransomware, 86% – pembajakan kripto, 87% – serangan rekayasa social engineering seperti phishing, dan 91% – pembobolan data. Pengguna personal: hampir sama tinggi, naik 33% dibandingkan dengan survey Acronis 2019. 30% pengguna personal dan 12% profesional TI tidak akan tahu jika data mereka diubah mendadak. 30% pengguna personal dan 13% profesional TI tidak yakin apakah solusi anti malware bisa menghentikan ancaman zero-day. Serta 9% perusahaan melaporkan bahwa mereka tidak tahu apakah downtime yang mereka alami mengakibatkan kehilangan data tahun ini.

Untuk memastikan perlindungan lengkap, pencadangan yang aman harus menjadi bagian dari pendekatan perlindungan siber komprehensif dari sebuah perusahaan, termasuk alat perlindungan ransomware, disaster recovery, cyber security dan perangkat manajemen. Pendekatan terintegrasi mendalam ini juga memenuhi Lima Vektor Cyber Securiry; memberikan keselamatan, aksesibilitas, privasi, autentisitas, dan keamanan (safety, accessibility, privacy, authenticity, dan security atau SAPAS) untuk semua data, aplikasi, dan sistem.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved